Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) telah resmi mencabut dan menyatakan Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor
7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa tidak berlaku.
Lampiran tersebut kemudian digantikan dengan Peraturan Menteri LHK Nomor
P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Penetapan Jenis Tumbuhan dan Satwa yang
Dilindungi.
Dalam lampiran terbaru, terdapat perubahan
status dari jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi menjadi tidak dilindungi
dan sebaliknya, setelah mendapat rekomendasi dari LIPI sebagai otoritas
keilmuan.
Berdasarkan lampiran tersebut, burung
adalah jenis satwa yang paling banyak masuk dalam daftar dilindungi. Sebanyak
562 jenis burung masuk dalam daftar tersebut atau sekitar 31,73% dari total
1771 jenis burung yang ada di Indonesia—dalam daftar jenis sebelumnya hanya 437
jenis burung saja yang berstatus dilindungi.
Selain itu, sebanyak 27 jenis atau 98% dari
total 28 jenis burung di Indonesia yang berstatus kritis (Critically
Endangered, CR) berdasarkan Daftar Merah International Union for Conservation
of Nature (IUCN) telah masuk juga ke dalam daftar tersebut—dalam daftar
sebelumnya hanya mengakomodir 64% burung berstatus kritis.
Menurut Mainstreaming Biodiversity Officer
Burung Indonesia, Jihad, peraturan baru ini lebih aktual menampilkan kondisi
jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang mengalami penurunan tajam pada jumlah
individu di alam, karena perubahan ancaman, penurunan populasi, dan juga
mengakomodir jenis-jenis endemis yang baru ditemukan.
“Peraturan ini telah mencakup jenis-jenis
burung yang saat ini mengalami tren penurunan populasi di alam yang sangat cepat,
seperti yang terjadi pada semua jenis burung cica-daun (Chloropseidae) dan
beberapa jenis burung kacamata (Zosterops flavus dan Heleia wallacei) akibat
banyak diperdagangkan. Sedangkan pada lampiran peraturan sebelumnya, sebagian
jenis sudah tidak mencerminkan perkembangan terbaru segi populasi, ancaman,
maupun perkembangan ilmu pengetahuan,” kata Jihad di Bogor, Jumat (10/8).
Selain karena mengalami tren penurunan yang
sangat cepat, jenis yang memiliki populasi kecil (terancam punah)—seperti
kakatua putih (Cacatua alba) dan kasturi ternate (Lorius garrulus)—pun menjadi
salah satu kriteria perlindungan. Jenis-jenis yang mempunyai persebaran
terbatas (endemis) juga masuk dalam kriteria penetapan. Paok morotai (Pitta
morotaiensis), kehicap buano (Symposiachrus boanensis), serta beberapa jenis
baru yang berasal dari proses pemisahan dari jenis lain diketahui memiliki
wilayah persebaran yang sangat kecil.
Sementara itu, pemanfaatan jenis tumbuhan
dan satwa di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999
tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa yang mencakup di dalamnya mengenai
mekanisme pemanfaatan termasuk dalam hal penangkaran.
Perlu dipahami bahwa perubahan populasi
suatu jenis di habitat alaminya dapat menyebabkan ketidakseimbangan ekologis.
Sebagai contoh, kasus ledakan populasi belalang kembara pada 1997-1998 di
Sumatera bagian selatan, terutama di Provinsi Lampung yang mengalami serangan paling
hebat (Sudarsono, 2003).
Kejadian tersebut disinyalir disebabkan
karena hilangnya habitat bagi burung kuntul kerbau (Bubulcus ibis) yang dibuka
untuk pendirian tambak besar di Lampung. Seperti yang diketahui bahwa burung
kuntul kerbau adalah predator alami bagi belalang kembara, menurunnya populasi
burung ini berimplikasi pada meledaknya populasi belalang kembara.
(Hidayat
Adhiningrat P.)
https://www.gatra.com/rubrik/teknologi/ilmu-pengetahuan/337512-Aturan-Baru-KLHK-Tempatkan-Burung-sebagai-Jenis-Satwa-yang-Paling-Banyak-Dilindungi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar