Senin, 24 Desember 2012

Berpikirlah Positif dan Rasakan Keajaibannya


 
”Tak akan ada yang dapat menghentikan orang yang bermental positif untuk mencapai tujuannya” (W.W. Ziege)
PERNAHKAH Anda mendengar atau membaca kisah sukses Abdurrahman bin ’Auf. Sahabat Rasulullah yang dijamin masuk surga ini adalah cermin yang mesti kita tiru dalam hidup ini. Kesuksesannya berbisnis tak membuatnya sombong dan berbangga diri, tapi sebaliknya ia tetap menunjukkan kebersahajaan dan keikhlasannya untuk berbagi bahkan berbagi sesuatu yang paling ia cintai.
Salah satu yang menarik diri pribadi beliau adalah keyakinannya yang baik akan potensi dirinya. Kalimat yang pernah terluncur dari lisan beliau yang mashyur adalah, “Sungguh, kulihat diriku, seandainya aku mengangkat batu niscaya kutemukan di bawahnya emas dan perak……!” Abdurrahman bin Auf memberikan contoh konsep diri yang baik kepada kita. Konsep diri berupa keyakinan akan potensi  yang luar biasa yang ada pada setiap diri manusia.
Kalimat di atas adalah bukan isyarat kesombongan dari seorang Abdurrahman bin ’Auf tapi sebuah pikiran positif terhadap potensi  yang diberikan Allah kepada setiap hamba-Nya.
Karena sesungguhnya karunia Allah begitu luas di muka bumi maupun langit ini. Persoalannya tinggal bagaimana kita mampu menggali potensi lalu mengembangkan potensi dan karunia Allah tersebut. Sehingga kita mampu mendapatkan manfaat dan memberikan manfaat kepada orang lain.
Abdurrahman bin ’Auf telah membuktikan bahwa untuk mencapai kesuksesan modal awal yang harus dimiliki setiap insan adalah berpikir positif terhadap dirinya, yakni memberikan kepercayaan, keyakinan akan potensi besar yang ada pada dirinya. Setelah meyakini diri sendiri, Abdurrahman bin ’Auf mencontohkan kepada kita bagaimana bagaimana ia membangun keyakinan akan kekuasaan Allah.
Yakinlah, bahwa Allah tak pernah tidur. Allah akan memberikan apapun yang diminta hamba-Nya, selagi hambanya melakukan ikhtiar yang maksimal untuk membuktikan pikiran positifnya tersebut.
Abdurrahman bin Auf mengatakan, ”Seandainya aku mengangkat batu niscaya ketemukan di bawahnya emas dan perak ….!”
Tahukah Anda apa isyarat apa yang mau digambarkan Abdurrahman bin ’Auf tersebut? Ia sedang mengisyaratkan jika hamba-hamba Allah mau bekerja, berjuang, berikhtiar dan melakukan kreatifitas maka pasti akan menghasilkan sesuatu yang memberikan manfaat kepada dirinya.
Konsep di atas bukan isapan jempol, Kita tahu bahwa Abdurrahman bin ’Auf adalah sahabat terkaya di Mekkah. Pasti kita juga masih ingat kisah hijrah penduduk Mekkah ke Madinah.
Hijrah yang dilakukan nabi dan para sahabat muhajirin mengharuskan Abdurrahman bin ’Auf meninggalkan harta kekayaannya. Seperti juga sahabat lainnya Abdurrahman bin ’Auf hanya membawa harta secukupnya untuk di bawa ke Madinah. Ia adalah sosok manusia yang tidak menggenggam hartanya di hati, ia bisa mengikhlaskan apa yang ia tinggalkan tersebut.
Maka, ketika di sampai di Madinah sahabat anshor menawarkan kepadanya harta kekayaan karena mereka tahu bahwa Abdurahman adalah orang kaya yang telah meninggalkan hartanya untuk hijrah ke Madina mengikuti perintah nabi. Tapi, Abdurrahman bin ’Auf menolak tawaran harta sahabat Anshor tersebut. Ia lebih memilih untuk diberitahu di mana pasar berada. Ia ingin memulai bisnis baru di Madinah. Apakah yang diperdagangkan Abdurrahman bin ’Auf? Ia memulai bisnis tali pengikat kuda. Dan inilah awal bisnis Abdurrahman bin ’Auf yang selanjutnya mengembalikan hartanya yang telah ia tinggalkan. Abdurrahman bin ’Auf sukses berbisnis di Madinah.
Apa pelajaran yang perlu kita ambil dari cerita di atas adalah bahwa modal kesuksesan adalah tidak semata faktor modal materi dan pendidikan yang tinggi. Sukses selalu diawali oleh pikiran positif seseorang dalam memandang dirinya, meyakini kekuasaan Allah dan cara pandang terhadap kehidupan yang akan ia jalani. Ketika kita berpikir positif, kita pasti mampu menghasilkan sesuatu. Kita akan lebih banyak berkreasi dari pada bereaksi karena kita akan lebih fokus mencapai tujuan kita dari pada memikirkan hal-hal negatif yang mungkin saja terjadi dalam kehidupan kita.
Robert J. Hasting pernah berkata, “Tempat dan keadaan tidak menjamin kebahagiaan. Kita sendirilah yang harus memutuskan apakah kita ingin bahagia atau tidak. Dan begitu kita mengambil keputusan, maka kebahagiaan itu akan datang”.
Sekarang saatnya diri Anda memutuskan apakah Anda ingin menjadi pribadi sukses atau menjadi pecundang yang terus berpikir kalah dan gagal. Pastikan diri kita adalah pemenang!*
(Nur Jamaludin/Hidayatullah.com)

INDAHNYA CINTA JIWA


Tidak ada yang lebih indah dalam sejarah perasaan manusia seperti saat-saat ketika ia sedang jatuh cinta.  Bukan karena dunia di sekeliling kita berubah pada kenyataannya.  Tapi saat-saat jatuh cintalah yang seketika mengubah persepsi kita tentang dunia di sekeliling kita.  Tidak selalu karena wanita yang kita cintai itu memang cantik pada kenyataannya.  Tapi cinta kita kepadanya yang membuatnya cantik di mata kita.
Saat jatuh cinta adalah saat dimana persepsi kita mengalami shifting pada semua realitas yang ada di sekeliling kita.  Kadang kita mungkin mengelabui diri sendiri.  Tapi itu puncak subjektivitas yang justru mengubah kita menjadi lebih positif dalam cara kita memandang segala sesuatunya.  Dan disitulah letak keindahannya.  Seperti indahnya subjektivitas pada dunia anak-anak.  Bagi mereka realitas yang sesungguhnya adalah realitas yang mereka persepsikan.  Bukan realitas yang ada di luar sana seperti yang dilihat oleh orang dewasa.  Bangku bisa dipersepsi sebagai rumah.  Tongkat bisa dipersepsi sebagai senjata.  Dunia menjadi sangat ringan dan fleksibel di mata mereka.  Karena itu dunia anak selalu indah, selalu penuh kenangan.  Begitu juga saat kita jatuh cinta.  Shifting pada persepsi kita membuat dunia  serasa jadi realitas lain yang begitu indah.  Dan itu membawa kenyamanan pada rongga dada kita.  Karena perasaan kita seketika berbunga-bunga.  Karena, kata Ibnu Hazem, ruh kita seketika jadi ringan dan lembut, badan kita seketika menjadi wangi, senyum kita seketika mengembang lebar, benci dan dendam dan angkara murka seketika lenyap dari ruang hati kita, dan tiba-tiba saja yang bukan penyair jadi penyair, yang tidak bisa bernyanyi jadi penyanyi.
Suatu saat raja bingung menyaksikan putera mahkotanya begitu pemalas, apatis, tidak bergairah, tidak berminat pada ilmu pengetahuan, tidak bisa pidato.  Ia gundah, karena putera mahkotanya sama sekali tidak layak jadi raja.  Maka sang raja memerintahkan seorang dayang cantik di istana untuk mengoda sang putera mahkota.” Bilang padanya,” pesan raja pada dayang cantik,” aku sangat mencintaimu dan bersedia menjadi permaisurinya.”Nanti kalau hatinya sudah berbunga-bunga, bilang lagi padanya-lanjut sang raja-“tapi ada syaratnya, kamu harus lebih bersemangat, lebih rajin dan mau menyiapkan diri jadi raja, dan aku percaya kamu bisa.”
Firasat sang raja ternyata benar.  Putera mahkotanya seketika bangkit berubah: ia mengubah penampilannya jadi keren dan wangi, ia mempelajari berbagai macam ilmu, ia juga tampil berpidato, ia juga menulis.  Saat jatuh cinta telah mengubah persepsinya tentang dirinya dan dunianya, seketika membangkitkan semangat hidupnya, dan meledakkan semua potensinya.
Shifting pada persepsi mengembalikan sisi kekanakan kita saat jatuh cinta.  Itu keindahan yang mempertemukan kita dengan sisi dalam kemanusiaan kita; subjektif, melankolik, kekanakan, tapi positif.  Dan indah. (Anis Matta).

Minggu, 16 Desember 2012

OAK

Lelaki tua itu akhirnya hidup sebatang kara setelah ditinggal mati istri dan putra tunggalnya.  Ia meninggalkan rumahnya, memilih beberapa ekor domba dan pergi ke Lembah Cavennen, sebuah daerah sepi di Prancis.
Di tempat itu masih tersisa puing-puing reruntuhan yang ditinggalkan penduduknya.  Lelaki tua itu memperkirakan, seluruh daerah itu akan menjadi gurun gersang jika tak ada pohon tumbuh.  Ia lantas memutuskan bermukim di sana.
Dalam perjalanan mengembalakan domba-dombanya, lelaki tua itu memungguti biji-biji oak, memilih yang masih baik, dan merendamnya dalam seember air.  Hari-hari berikutnya, dengan sebatang besi, ia melubangi tanah yang dilaluinya dan mulai menanam biji-biji oak itu satu demi satu.
Tiga tahun berlalu.  Ternyata ia telah menanam 100.000 biji pohon oak.  Ia berharap setidaknya 10.000 biji oak akan tumbuh.  Ia juga berharap diberi umur beberapa tahun lagi untuk terus menanam.
Ketika akhirnya ia meninggal dunia pada tahun 1947 dalam usia 89 tahun, lelaki tua itu telah berhasil menumbuhkan sebuah hutan paling indah di Prancis.  Hutan itu terbentang sepanjang 11 kilometer dengan lebar tiga kilometer.
Kini, ada jutaan akar yang mampu menampung air hujan dan menyuburkan tanah.  Sungai-sungai kecil mengalir lagi.  Rerumputan dan bebungaan merekah subur.  Burung-burung pun bernyanyi kembali ke hutan itu.  Kehidupan pun kembali segar (Frank Mihalic/ 1.500 Cerita Bermakna)

Kamis, 06 Desember 2012

Ada Jalan


Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.  Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan” Alam  Nasyrah (94):5-6.  Allah menciptakan sesuatu berpasangan, kalau ada masalah tentu ada jalan keluar.  Bahkan dalam surat Alam Nasyrah disebutkan bersama kesulitan ada kemudahan.  Ingat: bersama, bukan setelah.
Jadi saudaraku, menyerah bukanlah pilihan: Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.  Seperti  yang dikutip dari Ustadz  Rahmat Abdullah: “Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.  Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu.  Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.  Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu (Eman Mulyatman/Sabili).

Bersyukur dan Berdoa: Adab Muslim Hadapi Musim Hujan!


“AWAL Musim Hujan, Waspadai Cuaca Ekstrim!” demikian salah satu judul sebuah media massa mengawali datangnya musim penghujan tiba. Judul-judul dari media lain tak kalah menyeramkan. “Waspada! Hujan Deras Disertai Petir Intai Jakarta”
Seiring datangnya musim hujan, kita semua sering dikejutkan dengan kata-kata dan nada hujatan kepada sang pemberi rizki dan penghatur hidup semua alam dan semua manusia, Allah Subhanahu Wata’ala. 
Secara tidak terasa, media massa kita mengajarkan hal yang salah,yang sesungguhnya berdampak pada tauhid dan keimanan pada kita semua. Nada-nada hujatan (maaf) bahkan menyalahkan pada Tuhan kadang juga datang dari media yang mengatasnamakan Islam. “Truk Macet 200 Km Gara-Gara Hujan Salju di Rusia”, tulis Republika Online, Senin, 03 Desember 2012
“Gara-gara Hujan, Padang Fair Tidak Capai Target”, tulis media lain.
 “Ah, gara-gara hujan, motorku kotor lagi. Sudah gitu, sepatuku satu-satunya ikut kehujanan lagi. hufffttt!!,” begitu gerutu sebagian masyarakat di sekitar kita. 
Kesalahan dalam memaknai tanda-tanda alam dan semua pemberian Allah Azza wa jalla, sesungguhnya bisa berdampak pada ketauhidan kita. Akibatnya, semua pergantian cuaca, alam dan seisinya, akan dipandang sebagai kesalahan sang Pencipta, Allah Subhanahu Wata’ala. Memang kelihatannya sederhana, namun ini sesungguhnya hal yang serius, menyangkut keimanan.
Rahmat dari Allah
Tidak ada setetes air hujan yang membasahi bumi ini kecuali atas kehendak Allah Subhanahu Wata’ala. Apa yang terjadi dari ujung kaki hingga ujung langit, dari pagi hingga malam, gumpalan awan, petir, hujar deras, banjir bandang,  tak terkecuali adalah karena kehendak Allah Subhanahu Wata’ala.  Karenanya, menyalahkan turunnya hujan, sama halnya menyalahkan apa yang telah ditakdirkan Allah kepada kita dan alam.
Sungguh tidak layak kita sewot, marah hanya karena pakaian dan baju kita basah akibat siraman air hujan. Tak perlu pula kecewa karena pertemuan kita batal gara-gara hujan. Apalagi sampai keluar umpatan dan cacian gara-gara hujan. Menyalahkan alam sama saja dengan menyalahkan Allah Allah azza wa jalla.
Sikap seorang mukmin dan Muslim atas masalah ini adalah menerima, menikmati dan bersyukur. Adalah Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam  sebaik-baik manusia yang pantas kita tiru akhlaknya. Termasuk bagaimana beliau menghormati datangnya hujan.
Di kala melihat hujan beliau langsung berdoa:  Allahumma Shayyiban Naafi’an (Ya Allah, jadikan hujan ini sebagai hujan yang membawa manfaat dan kebaikan.” (HR. Al-Buhari). 
Rasulullah bahkan mengungkap rahasia,  jika di antaraturunnya hujan, di situ ada letak dan tanda-tanda dikabulkannya sebuah doa (mustajab).
اُطْلُبُوا اسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ ثَلَاثٍ : عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ  وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ ، وَنُزُولِ الْغَيْثِ
 “Carilah pengabulan doa pada saat bertemunya dua pasukan, pada saat iqamah shalat, dan saat turun hujan.” (HR. Al-Hakim).
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Kami pernah kehujanan bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap bajunya hingga terguyur hujan. Kemudian kami mengatakan, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan demikian?” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأَنَّهُ حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ تَعَالَى
“Karena hujan ini baru saja Allah ciptakan.” Begitullah akhlak Nabi ketika turun hujan dari langit.
Soal hujan ini Allah Subhanahu Wata’ala pernah menjanjikan: 
وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُّبَارَكاً فَأَنبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ
وَالنَّخْلَ بَاسِقَاتٍ لَّهَا طَلْعٌ نَّضِيدٌ
رِزْقاً لِّلْعِبَادِ وَأَحْيَيْنَا بِهِ بَلْدَةً مَّيْتاً كَذَلِكَ الْخُرُوجُ
“Dan Kami turunkan dari langit air yang penuh berkah lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam, dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun, untuk menjadi rezeki bagi hamba-hamba (Kami), dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan.” (QS: Qaaf [50]: 9-11)
Dan hujan itu dibutuhkan bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri. (Lihat QS [32]: 27).  
Allah Ta’ala telah mengatakan yang demikian dalam firman-Nya,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الأرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ إِنَّ الَّذِي أَحْيَاهَا لَمُحْيِي الْمَوْتَى إِنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau lihat bumi kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya, Pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fushshilat [41] : 39).  
Lantas bagaimana kita menyikapi hujan yang di sebagian tempat justru membawa musibah? Nah, jika soal ini, bukan Allah nya yang keliru, tapi manusialah yang bersalah. 
Allah telah menurunkan penjelasannya dalam al-Quran bagaimana seharusnya kita memperlakukan alam dan seisinya dengan baik. Faktanya, kita (manusia) yang mengingkarinya. Kita salah mengelolanya dengan baik dan benar. 
Realitas menunjukkan, para penguasa memotong pohon dan menghabiskan lahan-lahan resapan air, membangun bangunan-bangunan yang tidak memperhatikan dampaknya pada lingkungan. Para penguasa memberinya ijin serampangan tanpa memikirkan akibat dari kebijakan yang dikeluarkannya, dan juga masyarakat yang membuang sampah seenaknya ke sungai-sungai dan saluran air. 
Sebuah contoh kecil, negeri-negeri yang saat ini memimpin dunia dengan teknologi, ekonomi, politik dan militernya rata-rata berada di belahan bumi utara, negeri subtropis. Jarang mendapat sinar matahari sebanyak yang kita punya, malam dan siang mereka sering tidak seimbang.
Negeri lain di Afrika yang berada sama dengan kita di jalur katulistiwa, mereka rata-rata sangat sedikit menerima hujan, sehingga sedikit pula jenis-jenis tanaman yang tumbuh di negerinya.  Pemandangan ini berbeda dengan di tempat kita, di mana curah hujan dan keaneka ragaman hayatinya  luar biasa dikaruniakan Allah. Tapi apa yangterjadi? Kita salah mengelolanya.
Karunia ini tidak kita syukuri dan kita kelola dengan benar. 
Di negeri yang siang dan malamnya seimbang ini, musim kering dan musim hujannya-pun (dulunya) seimbang –  kita malah tidak bisa mencukupi kebutuhan kita sendiri. Semua kebutuhan justru impor! Dari beras, gandum, susu, daging, telur dan masih banyak lagi.
Hujan yang harusnya jadi anugrah para petani dan menghidupkan semua jenis tumbuh-tumbuhan untuk kebutuhan kita, justru menjadi mala petaka dan musibah.
Allah ta’ala telah berfirman, artinya:
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS: as-Syura (42): 30)
Ummu Salamah ra menceritakan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jika timbul maksiat pada umatku, maka Allah akan menyebarkan adzab kepada mereka. Aku (Ummu Salamah) berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah tidak ada waktu itu orang-orang shaleh?” Beliau menjawab, “Ada.” Aku bertanya lagi, “Apa yang Allah akan perbuat kepada mereka?”
Beliau menjawab, “Allah akan menimpakan kepada mereka adzab sebagaimana ditimpakan kepada orang-orang yang melakukan maksiat, kemudian mereka akan mendapatkan ampunan dan keridhaan dari Rabb-nya.” (HR Ahmad).*/Abdullah/Republika