Rabu, 29 Agustus 2012

SENYUM


“Senyummu terhadap saudaramu merupakan sedekah.” (Riwayat al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad).
     Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) adalah pribadi yang selalu tersenyum.  Diriwayatkan dari jabir dalam Shahih Al Bukhari dan Muslim, Jabir berkata,”Sejak aku masuk Islam, Rasulullah SAW tidak pernah menghindar dariku.  Dan beliau tidak melihatku kecuali beliau pasti tersenyum padaku.”
     Makanya, Rasulullah SAW juga menganjurkan umatnya untuk tersenyum kepada saudara mereka.  Ini menunjukkan bahwa aktivitas tersenyum bukanlah hal yang remeh, apalagi sia-sia, bahkan sebaliknya, menunjukkan bahwa tersenyum itu sangat penting.
     Pendapat ini didukung oleh para ahli.  Majalah Psychology Today pernah menurunkan nasihat, dengan tersenyum orang lain yang baru mengenal bakal merasa lebih nyaman untuk melakukan komunikasi.  Dan ketika seseorang tersenyum, betapapun sedang tidak bahagianya orang tersebut, otak mereka akan mengeluarkan sejumlah zat kimia yang tak hanya meningkatkan sistem kekebalan tubuh, tapi sekaligus juga memberi daya angkat bagi kondisi psikologis seseorang.
     Seorang psikolog Universitas Michigan Prof.James V. McConnel juga mengatakan bahwa, orang yang tersenyum cenderung mampu mengatasi, mengajar, dan menjual dengan lebih efektif, serta mampu membesarkan anak-anak yang lebih bahagia.  Senyum itulah yang mendorong semangat.
     Kesimpulannya, ternyata disamping baik untuk kondisi fifik dan psikis yang bersangkutan, senyuman juga memberikan dampak positif bagi orang lain.  Pantaslah jika Rasulullah SAW menilainya sebagai bentuk sedekah. (Thoriq/Suara Hidayatullah)

MENGETUK PINTU REZEKI


Mengapa pintu rezeki kadang begitu susah di buka? Padahal, setiap anak Adam yang lahir ke dunia sudah ada jatah rezekinya.  Jangan-jangan kita salah pintu.  Atau pintu itu tersumbat.  Kita harus menemukan kuncinya.
Setiap kita mendambakan kebahagiaan.  Apapun bentuknya.  Adalah di antara kemurahan Allah ketika Dia menjadikan salah satu sumber kebahagiaan itu adalah harta.  Karenanya, ketika Allah memerintahkan untuk mengejar kehidupan akhirat, Dia mengiringi dengan perintah untuk mengambil bagian kesenangan duniawi.  Jadi, mencari atau menyongsong rezeki duniawi bukanlah sesuatu yang salah ketika tidak mengabaikan ibadah pada Allah.  Bahkan usaha tersebut bisa jadi bernilai pahala saat diniatkan pada Allah.
Tapi, mengapa rezeki kadang begitu susah didapat? Padahal, setiap anak Adam yang lahir kedunia sudah ada jatah rezekinya.  Rezeki yang diberikan Allah takkan pindah ke tangan orang lain.  Seandainya pindah, berarti rezeki itu bukan jatahnya.  Jangan-jangan kita salah pintu.  Kita mengetuk pintu rezeki yang salah.  Atau kita tak punya kunci sama sekali untuk membuka pintu rezeki.  Atau memang pintu itu masih tersumbat sehingga mesti dicari kuncinya untuk bisa dibuka.
Sebenarnya, kita tak perlu susah-susah melacak kunci itu.  Keberadaan dan ciri-cirinya sudah dipaparkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.  Sudah ada.  Kita tinggal mengambilnya atau mengamalkannya.
Di antara kunci diturunkannya rezeki adalah istigfar (memohon ampun) dan taubat kepada Allah.  Ada yang menyangka bahwa istigfar dan taubat hanya cukup dengan lisan semata.  Padahal tidak demikian.
Imam Nawawi menjelaskan taubat dengan ungkapan,”Bertaubat dari setiap dosa hukumnya wajib.  Jika maksiat (dosa) itu antara hamba dengan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia maka syaratnya ada tiga.  Pertama, hendaknya ia menjauhi maksiat tersebut.  Kedua, ia harus menyesali perbuatan (maksiat)nya.  Ketiga, ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi.  Jika salah satunya hilang, maka taubatnya tidak sah.
Jika taubat itu berkaitan dengan manusia, maka syaratnya ada empat.  Ketiga syarat di atas dan keempat, hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang tersebut.  Jika berbentuk harta benda atau sejenisnya maka ia harus mengembalikannya.  Jika berupa had (hukuman) tuduhan atau sejenisnya maka ia harus memberinya kesempatan untuk membalasnya atau meminta maaf kepadanya.  Jika berupa ghibah (mengunjing), maka ia harus meminta maaf.”
Beberapa nash al-Qur’an dan Hadist menunjukkan bahwa istigfar dan taubat termasuk sebab datangnya rezeki.  Allah berfirman,”Maka aku katakan kepada mereka,’Mohonlah ampun kepada Tuhanmu,’sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai,” (QS Nuh: 10-12).
Umar bin Khaththab juga berpegang dengan apa yang terkandung dalam ayat ini ketika memohon hujan kepada Allah.  Diriwayatkan, suatu ketika Umar keluar untuk memohon hujan bersama orang banyak.  Ia tidak lebih dari mengucapkan istigfar (memohon ampun kepada Allah) lalu pulang.  Seseorang bertanya kepadanya,”Aku tak mendengar anda memohon hujan.” Maka ia menjawab,”aku memohon diturunkannya hujan dengan menengadah ke langit yang dengannya diharapkan bakal turun air hujan.” Lalu ia membaca ayat,” Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat,”(QS Nuh: 10-11).
Hasan Bashri, seorang tabiin, juga menganjurkan istigfar (memohon ampun) kepada setiap orang yang mengadukan kepadanya tentang kegersangan, kefakiran, sedikitnya keturunan dan kekeringan kebun-kebun.  Imam al-Qurthubi mengisahkan,”Ada seorang laki-laki mengadu kepada Hasan Bashri tentang kegersangan (bumi).  Ia berkata,”Beristigfarlah kepada Allah!” Yang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan, ia juga berkata,’ Beristigfarlah kepada Allah!’ yang lain lagi berkata kepadanya,’Doakanlah (aku) kepada Allah, agar Ia memberiku anak!’ Maka, ia mengatakan kepadanya,’Beristigfarlah kepada Allah!’ Dan yang lain lagi mengadu kepadanya tentang kekeringan kebunnya.  Ia pun berkata,’Beristigfarlah kepada Allah!’
Dalam riwayat lain disebutkan, Rabi’ bin Shabih pernah bertanya pada Hasan Bashri,”banyak orang mengadukan macam-macam (perkara) dan anda memerintahkan mereka untuk beristigfar.”  Hasan Bashri menjawab,”Aku tak mengatakan hal itu dari diriku sendiri.  Tetapi sungguh Allah berfirman,’Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai,”(QS Nuh:10-12).
Dalam ayat lain Allah berfirman,”Dan (Hud berkata),’Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepadaNya, niscaya Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa’,” (QS Hud:52).
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas menyatakan,” Kemudian Hud memerintahkan kaumnya untuk beristigfar yang dengannya dosa-dosa yang lalu dapat dihapuskan.  Kemudian memerintahkan mereka bertaubat untuk masa yang akan mereka hadapi.  Barangsiapa memiliki sifat seperti ini, niscaya Allah akan memudahkan rezekinya, melancarkan urusannya dan menjaga keadaannya.  Karena itu, Allah berfirmn, ‘Niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atasmu”.
Dalam salah satu hadistnya, rasulullah saw bersabda,” Barangsiapa memperbanyak istigfar (mohon ampun kepada Allah), niscaya Allah akan menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar dan untuk setiap kesempitannya kelapangan, dan Allah akan memberinya rezeki (yang halal) dari arah yang tiada disangka-sangka,” (HR Ahmad, Abu Dawud,an-Nasa’i, Ibnu Majah dan al-Hakim).
Dalam hadist lain, Nabi saw mengabarkan tentang tiga hasil yang dapat dipetik oleh orang yang memperbanyak istigfar.  Salah satunya yaitu, bahwa Allah yang Maha Memberi Rezeki, akan memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka dan tidak diharapkan serta tak pernah terbetik dalam hatinya.  Karena itu, kepada orang yang mengharapkan rezeki hendaklah bersegera memperbanyak istigfar, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Hal lain yang bisa mengundang turunnya rezeki adalah taqwa.  Allah berfirman,”barangispa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya.  Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya,”(QS ath-Thalaq:2-3).
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan,”Maknanya, barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah dengan melakukan apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarangNya, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar serta rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari arah yang tidak pernah terlintas dalam benaknya.”Abdullah bin mas’ud berkata,”sesungguhnya ayat terbesar dalam hal pemberian janji  jalan keluar adalah,”Barangsiapa bertaqwa kepda Allah, niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya,”(Tafsir ibnu katsir, 4/400).
Dalam ayat lain Allah dengan jelas menegaskan,” Jikaulah sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka sendiri,”(QS al-A’raf: 96).
Ketika menafsirkan firman Allah,’pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi’, Abdullah bin Abbas, seorang sahabat Nabi yang dikenal dengan keluasan ilmu, mengatakan,”Niscaya Kami lapangkan kebaikan (kekayaan) untuk mereka dan kami mudahkan bagi mereka untuk mendapatkannya dari segala arah,” (Tafsir Abu As-Su’ud, 3/253).
Menurut Imam ar-Razi, maksud firman Allah,’ berbagai keberkahan dari langit dan bumi’, adalah keberkahan langit dengan turunnya hujan, keberkahan bumi dengan tumbuhnya berbagai tanaman dan buah-buahan, banyaknya hewan ternak dan gembalaan serta diperolehnya keamanan dan keselamatan.  Langit laksana ayah, dan bumi laksana ibu.  Dari keduanya diperoleh semua bentuk manfaat dan kebaikan berdasarkan penciptaan dan pengurusan Allah (Tafsir at-Tahrir wa Tanwir, 9/22).
Di antara kunci rezeki lainnya adalah beribadah pada Allah sepenuhnya.  Imam Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim dari Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda,” Sesungguhnya Allah SWT berfirman,’Wahai  anak Adam, beribadahlah sepenuhnya kepadaKu, niscaya Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan dan tidak Aku penuhi kebutuhanmu (kepada manusia)’.” (Al-Musnad, no. 8681, 16/284.  Jami’ut Tirmidzi, Abwabul Shifatil Qiyamah, bab no. 2583, 7/140).
Dalam hadist tersebut Nabi saw menjelaskan, Allah menjanjikan pada orang yang beribadah kepada-Nya sepenuhnya dengan dua hadiah. Yaitu, mengisi hati orang yang beribadah kepada-Nya sepenuhnya dengan kekayaan serta memenuhi kebutuhannya.  Sebaliknya, mengancam yang tidak beribadah kepada-Nya sepenuhnya dengan dua siksa. Yaitu, Allah memenuhi kedua tangan orang itu dengan berbagai kesibukan, dan ia tidak mampu memenuhi kebutuhannya, sehingga ia tetap membutuhkan manusia.
Selain itu, rezeki bisa juga turun melalui silaturahim.  Beberapa hadist dan atsar menunjukkan bahwa Allah SWT mejadikan silaturahim termasuk di antara sebab kelapangan rezeki.  Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,” Siapa yang senang untuk dilapangkan  rezekinya dan diakhirkan ajalnya(dipanjangkan umurnya), hendaklah ia menyambung (tali) silaturahim,”
Dalam hadist lain, Nabi saw    bersabda,”Belajarlah tentang nasab-nasab kalian sehingga kalian bisa menyambung silaturahim.  Karena sesungguhnya silaturahim adalah (sebab adanya) kecintaan terhadap keluarga (kerabat dekat), (sebab) banyaknya harta dan bertambahnya usia,” (Al-Musnad, no.8855, 17/142.  Jami’ut Tirmidzi, Abwabul Birri wash Shillsh, Bab ma Ja’a fi Ta’limin Nasab, no.2045).
(Sumber: Sabili Desember 2005)

Jumat, 24 Agustus 2012

NIKAH TANPA PACARAN


"Ada satu pertanyaan, mana yang lebih banyak, kasus perceraian saat ini, atau di zaman kakek dan nenek kita dahulu? Saya yakin, jawabannya pasti lebih banyak saat ini. Padahal, zaman kakek-nenek kita itu masih zamannya perjodohan. Jadi, apakah pacaran menjamin kelanggengan hubungan suami-istri?"
Pernah membayangkan, ketika suatu saat nanti, kita menikahi orang yang belum kita kenal, bahkan sangat asing? Dalam beberapa kasus, saya menemukan kedua mempelai baru bertemu ketika akad nikah.

Entah kenapa, Nikah tanpa Pacaran, menjadi sesuatu yang asing bagi kita saat ini. Padahal, kalau kita mau mengakui, jujur dan belajar dari sejarah, pacaran merupakan “produk” abad terakhir. Sebelumnya, pernikahan terlaksana melalui proses perjodohan, atau kalaupun tidak, ketika seorang lelaki menyukai seorang perempuan, dia langsung datang ke rumah perempuan itu untuk meminang. Wow, Gentleman, EUY! Dan proses pernikahan pun, tidak ribet, tidak berbelit-belit. Kalaupun ada proses pengenalan, tidak berlangsung terlalu lama biasanya.
Berbeda sekali dengan kebanyakan orang-orang saat ini.
“Kalau belum kenal kan, ngeri juga…”
“Emang kita hidup di zaman Firaun, pake nikah dijodoh-jodohin segala…”
“Udah nggak zaman lagi deh, nikah pake dijodohin…”
“Pacaran itu kan proses, supaya kita saling mengenal, supaya nggak nyesel dan salah pilih…”
Ya, kira-kira seperti itu lah beberapa argumen yang sempat masuk ke telinga saya, termasuk saya juga pernah berpikiran seperti itu.
Ada satu pertanyaan, mana yang lebih banyak, kasus perceraian saat ini, atau di zaman kakek dan nenek kita dahulu? Saya yakin, jawabannya pasti lebih banyak saat ini. Padahal, zaman kakek-nenek kita itu masih zamannya perjodohan. Jadi, apakah pacaran menjamin kelanggengan hubungan suami-istri? Tidak Juga!
Seorang ustadz pernah bercerita, temannya berpacaran 7 tahun sebelum menikah. Tapi, kemudian bercerai 3 bulan setelah menikah…alasannya, karena istrinya tidak bisa tidur kalau tidak ditemani kucing dan lampu yang mati, sementara dia alergi kucing dan tidak bisa tidur kalau lampu terang. Kemudian, saya juga ingat bahwa ternyata pasangan suami-istri yang terlalu lama berpacaran sebelum menikah, lebih mudah merasakan kebosanan dalam hubungan rumah tangganya. Ini merupakan fakta yang pernah saya dengar dari paman seorang teman yang psikolog.
Berapapun lama pacaran, tidak menjamin kita untuk bisa lebih mengetahui segala hal tentang pasangan kita. Ketika memasuki gerbang rumah tangga, segalanya akan jauh berbeda dengan sebelum menikah. Ada detil-detil pasangan kita yang selama berpacaran “tersembunyi” atau “disembunyikan” yang kemudian muncul. Dalam banyak hal. Faktanya, dalam pacaran memang banyak hal yang sering ditutupi terhadap pasangannya. Meskipun tidak semua orang seperti itu.
Pada dasarnya, perasaan cinta, bisa ditumbuhkan. Terhadap siapapun. Bahkan orang yang menurut kita tidak menarik sama sekali. Tidak percaya? Saya pernah mengalaminya, meskipun kemudian pikiran tersebut saya buang jauh-jauh. Toh, kita pun sering menemukan kasus cinta pada pandangan pertama. Ego kita saja yang kemudian mengalahkan perasaan cinta tersebut. Karena, menurut kita, kurang cantik, kurang cerdas…dan kurang-kurang yang lainnya.
Pada kasus saya, saya awalnya mencoba untuk mempraktikan tips dari seorang ustadz agar kita bisa menumbuhkan rasa cinta terhadap seseorang. Katanya,”Pikirkan saja nama seseorang, setiap hari…meskipun awalnya tidak ada perasaan suka, lama-lama perasaan tersebut akan muncul juga”…lebih kurang redaksinya seperti itu. Saya pun, entah kenapa, penasaran dan saya coba juga. Awalnya, memang tidak ada perasaan apa-apa. Interaksi yang sering dan melihat hal-hal positif dari orang itu yang kemudian “memunculkan” rasa itu. Sampai kemudian, saya pun menyadari, bahwa ternyata, perasaan cinta, simpati atau empati memang bisa ditumbuhkan. Tergantung bagaimana kita mengolahnya dan kemauan kita untuk membuka hati kita. Itu saja sebetulnya. Hal lain adalah kesadaran bahwa setiap orang memang memiliki kelebihan dan kekurangan. Orang lain pun ingin diperlakukan sebagaimana kita diperlakukan. Meskipun, pada kasus Lelaki dan Perempuan, berbeda cara perlakuan.
Kalau sudah begitu, saya kira, kita akan mudah untuk “jatuh cinta” kepada siapa pun.
Saya sering ngobrol dengan teman-teman yang menikah tanpa pacaran, bahkan dengan orang yang belum mereka kenal sebelumnya. Saya meminta mereka untuk bercerita tentang kesan-kesan pernikahan mereka. Ternyata, banyak hal menarik yang mereka ceritakan. Terutama, di malam pertama mereka. Heu heu heu…Kata mereka, “justru seninya adalah ketika kita berusaha untuk saling mengenal, meraba-raba perasaan pasangan kita, bagaimana kalau dia sedih, marah, senang, apa yang menyebabkan dia marah, sedih atau senang, ketika petama kali berpegangan tangan, ketika pertama kali mencium, atau pada saat sama-sama merasa malu ketika berduaan di dalam kamar, suasana hening yang tercipta karena sama-sama bingung memulai pembicaraan, sementara di kepala kita ada berjuta pertanyaan tentang pasangan kita, perasaan berdebar-debar, yang mungkin tidak dirasakan lagi oleh orang yang berpacaran, itu adalah perasaan yang sangat luar biasa bagi orang-orang yang belum pernah merasakan
semua itu”. Dan mereka melakukan itu pun, halal, tidak ada dosa. Perselisihan, pasti ada, bahkan bagi mereka yang berpacaran sekalipun. Tapi, semuanya bisa diatasi dengan saling pengertian.
Saya pun sering meminta mereka untuk berbicara tentang pasangan mereka, ada yang mengatakan, “istri saya sangat luar biasa, dia sangat sholeh..”, “istri saya sangat pengertian…”, “istri saya memang tidak cantik, tapi kebaikannya yang membuat saya semakin sayang…”…dan lain-lain.
Pada akhirnya, saya memang tidak setuju dengan dalih-dalih…
“Ini kan zaman modern, beda dengan zaman para nabi…”
“Masa di zaman seperti ini, masih ada juga yang dijodohin…”
Sebab…pada dasarnya, potensi manusia itu sama, sejak Nabi Adam diturunkan sampai nanti Kiamat pun, perangkatnya sama saja…dan kebutuhan kita pun sama saja…Ketenangan, Kebahagiaan, rasa Aman, Cinta, Kasih Sayang, Damai, Rasa Hormat…kalau kemudian kita hidup di zaman sekarang ini, tidak berarti bahwa kemudian kebutuhan kita berbeda dengan orang-orang di zaman para Nabi. Materi-materi dan kemajuan peradaban, hanya merupakan fasilitas saja, yang pada akhirnya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tadi.
Fenomena Nikah Tanpa Pacaran, memang masih bertahan di komunitas-komunitas Islam…PKS, HTI, LDK…atau di daerah-daerah. Tapi, tidak berarti bahwa Fenomena tersebut masuk kategori “Kampungan” atau “Primitif”. Menurut saya, malah Fenomena itu yang lebih “Modern”. Apalagi, belakangan, saya memang agak “muak” dengan hal-hal yang berbau pacaran dan cinta picisan yang menjadi kebanggaan di zaman sekarang ini. Kadang-kadang, cuma jadi bahan tertawaan saya. Pada akhirnya, saya menyadari bahwa aktivitas tersebut lebih banyak kesia-siaannya. Meskipun saya memang belum pernah berpacaran. Tapi, saya kira, saya tidak perlu pacaran untuk mengetahui sia-sia atau tidak, bukan begitu? Sama halnya seperti kita tidak perlu nyebur kalau cuma ingin tahu sungai itu dalam atau tidak, suruh aja orang lain, atau lihat orang lain yang udah nyebur.
Jadi, Nikah Tanpa Pacaran?? GAK TAKUT!! 

http://www.facebook.com/Muslimiliardermawan/posts/10151204147497329

Selasa, 21 Agustus 2012

PARA WISATAWAN DARI UTARA

Juga kaum burung mempunyai wisatawan yang tidak kalah jiwa petualangannya dengan kaum pelancong masyarakat.  Hanya bedanya, kalau kaum pelancong kita kebanyakan berasal dari eropa barat, Jerman Timur, Amerika Utara,  dan Afrika Selatan, maka turis kaum burung yang menegok  negeri kita hanya dari tetangga dekat saja: Jepang Er-erce, Mongolia, Siberia.
Sebagai penghuni daerah dingin itu, pada suatu waktu mereka tidak betah lagi menderita kedinginan di kampung halaman yang mulai tandus pada musim gugur dan tandus seratus persen pada musim salju.  Dan karena mereka mempunyai sayap, yaaah, apa salahnya melawat ke negeri subur makmur sebelah selatan.  Bukankah menurut berita di koran ibukota masuk desa, negeri itu selalu hangat sepanjang tahun?
Syahdan, pada bulan antara September dan April tahun berikutnya, pulau kelapa kita sibuk menerima pelancong  yang sudah mulai mengambil cuti tahunan itu.  Kalau sudah tiba di negeri ‘elok dan indah permai’ kita, maka jarak yang mereka tempuh sudah beribu-ribu kilometer jauhnya, sampai ada di antara mereka yang tinggal mengantuk-mengantuk dulu, nongkrong kecapaian,  bertualang dirantau orang.
Singing in the rain
Turis berbulu yang paling sering kita jumpai ialah para serwiti, Hirundo rustica gutturalis, dari keluarga baik-baik Hirundinidae, Ordo Passeriformes.  Sebetulnya mereka sudah lebih dulu (sejak akhir bulan Agustus) dapat kita jumpai duduk berderet di atas kawat telegrap dan telepon, di tepi jalan kereta rel (dulu, kereta ini disebut kereta api, karena dijalankan dengan air rebus).

Burung ini mungkin melihat-lihat suasana dulu.  Bukankah seharusnya ia sudah dijemput oleh Panitia Penjemputan yang anggotanya terdiri dari handai taulan dan sanak saudaranya sendiri? seperti burung kapinis, Hirundo tahitica javanica, misalnya? Atau burung kapinis rumah Hirundo striolata striolata, yang semuanya sudah lama menetap di pulau kelapa sebagai warga negara asli keturunan asing?
Barangkali anda juga sudah pernah menjumpai para serwiti ini.  Selalu licin dan rapi, jasnya.  Kemejanya putih dan jasnya hitam panjang, dengan ujung runcing seperti black and white tukang sulap, yang dibelah bagian bawahnya.
Karena datang pada musim hujan, mereka malah senang berhujan-hujanan.  Bagi mereka masih tetap hangat saja, air hujan itu.  Sawah yang mulai digarap, sungai yang mengalir lincah, dan rawa yang hangat suasananya, semuanya merupakan obyek perpelancongan yang menarik.  Tetapi semuanya itu dinikmatinya dengan mata keker sambil nongkrong di atas kawat telegrap dan telepon.
Baru setelah cukup lama melepaskan lelah, kemudian terbang leha-leha, dan menemukan danau yang airnya berlimpah-limpah, ia tidak mau nongkrong lagi, tetapi aktif ikut berolahraga dengan para pemuda burung penggemar sport air.  Di atas danau semacam itulah ia menukik, menanjak, menyikat, dan menanjak lagi, ah semua gaya terbang agaknya hendak dipamerkan kepada para wisatawan berbulu yang lain. Dan mandi pun ia tak kalah gayanya dengan para puteri mandi kita.  Mula-mula terbang menyusuri permukaan air dulu, kemudian menghempaskan seluruh tubuhnya ke dalam air, untuk diam sejenak.  Tetapi sekejap kemudian sudah menanjak lagi, sambil kirik- kirik mengibaskan bulunya yang basah. 
“Wit, wit!’ teriaknya girang, berjumpa dengan turis lain yang sudah mandi juga.
Bumbu pecel lali putu
Turis lain yang datang sesudah para serwiti, ialah burung hahayaman atau ayam-ayaman.  Ia disebut begitu, karena besarnya memang seperti ayam kampung.  Hanya kakinya saja yang lebih panjang.  Bulunya bergaris-garis coklat muda dan tua, sedang paruhnya kuning.
Ia tidak jauh asalnya.  Hanya dari Negeri Siam saja, RRC, Jepang atau paling-paling juga dari daerah pegunungan Himalaya sebelah sini.
Sebagai Gallicrex cinerea, dari famili Rallidae, ordo Gruiformes, ia masih berkerabat dengan terkuwak, Amaurornis phoenicurus, kareo, roa-roa, keruak, atau nama lain yang kedengarannya kurang lebih begitu juga.
Kalau Anda suka menembak burung, cobalah ikut menyambut hahayaman itu, yang mula-mula menyerbu daerah rawa pantai Utara Pulau Jawa kita pada bulan September-Oktober.  Para petani dan nelayan tepi rawa juga sudah biasa menangkapi mereka beramai-ramai, antara bulan itu sampai April tahun berikutnya.  Karena terdapatnya secara massal, maka harga ayam-ayaman itupun lebih murah (sedikit).
Sudah tentu, kehadiran mereka di suatu tempat hanya sebentar saja, kalau daerah itu dirasa tidak aman.  Mereka sudah meninggalkan negeri ‘elok nan indah permai’ kita lagi, setelah suasananya tidak elok.
Dalam Undang-undang Pemburuan Jawa dan Madura 1940, hahayaman ini dimasukkan ke dalam kelompok binatang liar yang berpindah-pindah.  Ia boleh diburu, kalau kita mempunyai akta (atau izin) Pemburuan B, dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan (diperoleh dengan biaya tertentu, melalui Dinas Perlindungan dan Pengawetan Alam setempat).  Akta pemburuan B ini  memberi hak berburu”binatang liar yang berpindah-pindah” dan “binatang liar kecil” dengan senjata api, mulai dari 1 Juli sesuatu tahun sampai dengan 30 juni tahun berikutnya.  Diharap jangan lupa mengembalikan akta itu dalam tempo 14 hari setelah waktu berlakunya berakhir.
Undang-undang ini memang menganggap kita baik-baik semua, dan semua juga akan jujur mengembalikan surat izin yang sudah tak berlaku lagi itu, kepada petugas pemerintah yang berwenang memberinya tempo hari.
Ukuran burung ayam-ayaman lumayan sekali untuk ditembak. Kemudian dipanggang dengan bumbu pecel lali putu.  Saking enaknya, sampai kita lupa pada anak cucu sebentar.
Anaknya yang dimakan
Burung itu bermigrasi dari tempat asalnya selalu berpasangan.  Diduga mereka hanya terbang kalau terpaksa melintasi laut saja, sedang begitu mereka tiba di daratan, mereka berjalan kaki, selama belum menemukan tempat menetap yang cocok.
Tempat yang paling mereka sukai ialah rawa yang tepiannya ditumbuhi tanaman air, pemberi perlindungan yang aman terhadap serangan musuh.  Tiap pasangan hahayaman menghendaki sepotong perairan teritorial kecil di depan rumahnya, dan tidak rela kalau wilayah kekuasaannya dilanggar perbatasannya oleh burung ayam-ayaman lain.
Kadang-kadang timbul perkelahian juga antara burung jantan yang ‘sok’ dari wilayah lain, yang datang menjenguk untuk mengoda pasangan yang belum dinyek! Hasil dari perkelahian itu selalu berupa pengusiran kembali penggoda rumah tangga yang kurangajar itu.  Sebab, istri hahayaman yang setia pada suaminya selalu membantu mengusir burung tukang ngenyek itu.
Kalau tidak ada aral yang melintang (atau pemburu yang menerjang), mereka berhasil menyusun sarang di atas semak belukar tanaman rawa tepi air, yang mengelantung daunnya di atas permukaan.  Sebagai bahan bangunan, mereka menggunakan potongan kayu, ranting, dan dahan yang mengapung.  Baik yang jantan maupun betina sama-sama sibuk, meskipun hasil karyanya hanya sarang kasar dan ceroboh saja.
Keluarga ayam-ayaman selalu mengasyikkan untuk diamati gerak-geriknya.  Anak mereka berenang di samping dan di belakang orang tuanya.  Kadang-kadang melotot, melihat serangga atau cacing yang ditangkap oleh salah satu ayam tuannya.  Setelah beberapa hari, mereka sudah mampu mencari makanan sendiri, meskipun induknya masih tut wuri handayani terus, dengan teriakan peringatan, dorongan pengarahan, dan perlindungan kalau ada bahaya.
Setelah beberapa minggu, anak-anak itu sudah dapat mencari keselamatan sendiri, sehingga induknya dapat bersiap-siap untuk menetaskan telur dan mengasuh anak lagi angkatan kedua.
Kalau adik-adiknya ini juga sudah lahir dan mulai berenang di atas permukaan air, maka kakak-kakaknya menyambut adik ini dengan penuh perhatian dan kasih sayang yang sama seperti induk mereka memperlakukan mereka dulu.  Menunjuk  jalan yang sama, misalnya, mencari makanan, atau menaruh hasil tangkapan di depan adik-adik manis itu.
Untuk menjaga kelestarian jenisnya, sebenarnya cara kita menangkapi mereka dari alam liar itu kurang cerdik.  Mestinya, rawa yang pada musim labuh diserbu burung migran itu kita pakai untuk menampung mereka.  Tidak untuk membiarkan mereka ditembak mati atau dipanggang bumbu pecel, tetapi diternakkan agar menghasilkan telur dan anak dulu.  Kemudian anak hasil perkawinan merekalah yang kita manfaatkan sebagai bahan makanan.  Persis seperti kambing yang diternakkan saja, yang bukan induknya yang kita makan, tetapi anaknya. 
Ramai-ramai
Wisatawan berbulu yang agak cerewet juga ada.  Yaitu sitilil atau trinil, yang di Kalimantan dikenal sebagai kedidi.  Sebagai Tringa hypoleucos, dari  familia Scolopacidae, Ordo Charadriiformes (burung-burungan), ia memang bukan kerabat burung ayam-ayaman, tetapi kehadirannya di Indonesia kebetulan sama-sama semusim.
Kaum trinil ini lebih kecil perawakannya daripada ayam-ayaman.  Cobalah anda jalan-jalan dekat sawah antara bulan Pebruari dan April, kalau padi sudah lumayan besarnya.  Nanti ‘kan tiba-tiba saja mereka keluar dari rumpun padi sambil membentak-bentak:”Ti-ti-ti-ti-ti-ti-ti”.
Ternyata memang luar biasa paruh yang dipakai untuk itu! Pantas saja, begitu nyaring!
Tetapi kalau anda berhasil mengintip tanpa mereka ketahui, Anda akan melihat gaya tariannya juga, kalau sedang mencari makan (cacing dan larva serangga) di lumpur sawah daerah tepian.  Tiap kali ia melangkah maju, menusukkan paruh “tusuk satenya”, pinggulnya digoyang-goyangkan.  Bukan ke kiri dan ke kanan, tapi ke atas dan ke bawah.  Wah! Sepintas lalu memang seperti tarian ndangdut yang syur.
Tetapi di duga, bahwa dengan gerakan itu, sebetunya ia ingin merasakan lembek kerasnya tanah becek yang diinjaknya.  Yang terasa keras, kalau diinjak dengan tekanan tubuh (dan pinggulnya),  tidak akan ditusuk, tentunya.
Kalau sudah mengancik ke bulan Mei, kembalilah mereka ke daerah asalnya lagi, di belahan bumi bagian utara, karena disana sudah mulai menanti musim semi yang kepenak lagi.
Tetapi wisatawan yang lebih panjang lagi paruhnya ialah para blekek, Gallinago (ata Capella), Stenura, yang bukan blekok, Ardeola speciosa.  Jauh-jauh datang dari Siberia-nya kaum komunis rusia, (konon kabarnya disana mereka hidup susah dan lapar terus di musim dingin itu), para blekek ini kerjanya hanya makan melulu, setibanya di “negeri elok nan indah permai” kita.  Ajimumpung!
Berbondong-bondong mereka menyerbu daerah persawahan kita yang sudah berair, sampai para pemburu burung senang sekali menembaknya.  Tetapi biasanya, burung itu segera juga bertiarap, di antara semak belukar dan rumput-rumputan, dan diam sediam-diamnya sampai musuh sudah lewat.  Karena mahirnya bertiarap ini, mata pemburu biasanya dapat dikelabui terang-terangan.
Begitu musuh itu pergi, dengan segera pula ada bunyi “nyet”....dan turis berbulu dari siberia itu sudah meloncat untuk terbang zig-zag, meninggalkan pemburu yang terkejut melongo (biasanya).  Kok ada, ya, burung yang pamit dengan bahasa rusia. (Slamet Soeseno).