Minggu, 29 Mei 2016

Great Depression



"Cepat kembalikan nak! Kita memang miskin. Tapi kemiskinan bukan alasan kita untuk mencuri", perintah si ayah.
"Tapi yah. Keluarga si Fulan bin Fulan sudah pergi. Mereka tidak lagi bersatu. Tak mampu lagi sekedar membayar iuran sekolah!", rengek si anak.
"Pegang kata-kataku nak. Sebagai ayah, kalian tidak akan pernah ayah terlantarkan", tegas si ayah sembari memeluk anaknya yang masih kelas 4 SD.
Di rumah. Istrinya menangis. Tak bisa berbuat apa-apa. Saat pegawai PLN mencabut aliran listrik.
"Tuan. Tolong saya. Ada 3 anak kecil-kecil. Musim salju tak mungkin kami bisa bertahan tanpa listrik dan pemanas. Tolong Tuan ...", perih si ibu. Tangan kanan menggendong putrinya yang masih 8 bulan. Tangan kirinya mengapit putrinya umur 4 tahun.

"Maaf bu. Jika kami tidak mencabut listrik ibu. Saya yang dipecat. Tolong. Sudah 4 bulan saya kasih waktu. Saya pun punya 2 anak kecil-kecil di rumah...."
4 hari berlalu. Anak yang kedua panas. Sang ayah yang bekerja serabutan di pelabuhan, tak kuasa berbuat apapun. Melihat anaknya sakit, sang ibu menitipkan anak-anaknya kepada bibi dan pamannya di kota. Secara ekonomi mereka lebih beruntung.
Sang istri, sudah berkali-kali minta izin. Tapi selalu ditolak dan tidak diperkenankan. Ketika si ayah pulang, nampak rumah sepi. Ia murka. "Mengapa dirimu berani menitipkan anak-anak tanpa seizinku?"
"Kamu tidak tahu pah! Anak kedua sakit panas. Tak ada makanan. Suhu udara membeku. Aku tak tega pah...!"
"Tidaaaak! Aku punya harga diri!" Si ayah keluar. Ternyata ia menjual barang-barang tersisa ke tempat rongsokan. Ia gunakan untuk mengunjungi relasi. Ia dulu dikenal sebagai petinju amatir. Lalu ia keluhkesahkan kondisinya saat ini. Berharap derma dan belas kasihan. Dengan topi lusuhya, ia menerima sumbangan teman-temannya. Terkumpul 43 dollar 25 sen.
Hasilnya cukup untuk membayar tagihan listrik. Ia pun menarik pulang anak-anaknya.
Di tengah badai salju. Si ayah terus memutar otak. Apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup keluarganya. Kala itu, 1908, AS krisis moneter. Pilihannya kembali ke ring tinju. Singkat cerita, ia sukses mengalahkan 5 lawannya dengan TKO. Bahkan di puncak pertandingan yang disiarkan NBC, ia berhasil mengalahkan si Destroyer! Sang juara bertahan.
Kisah nyata di atas sungguh menginspirasi. Sebuah keluarga yang normal, adalah ketika Ayah memosisikan diri sebagai tulang punggung keluarga. Berjibaku dalam peluh. Tak kenal keluh. Apapun cara halal ditempuh. Demi mengantarkan anggota keluarga meraih cita-cita yang harus ditempuh.
Kisah di atas bukan kisah keluarga Muslim. Tapi sang suami berprinsip, posisi istri adalah ribbatul bait (mengurus rumah dan anak-anak). Sesekali membantu, insyaALlah jadi shadaqah. Sang suami teguh dalam prinsip. Masalah apapun yang dihadapi. Keluarga besar dari kedua belah pihak tidak boleh ikut campur.
Pun demikian. Sesusah apapun, ayah dan ibu di atas selalu menekankan karakter positif. Tidak mencuri. Tidak menghinakan diri. Tidak tergerus gaya hidup yang justru mencedrai kearifan universal.
So. Bagaimana dengan keluarga aktivis dakwah? Masihkan galau menggali potensi diri, yang bisa jadi Allah bukakan pintu rezeki berlimpah setelah Allah uji dengan kondisi susah payah hingga seluruh barang yang ada dijual murah? Allah tidak akan membebani, jika kita tidak mampu. Tugas kita hanya mengokohkan bahu!
(Nandang Burhanudin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar