Kamis, 31 Januari 2019

HASAN AL-BANNA: SANG DAI DI KEDAI-KEDAI KOPI

Berikut ini adalah petikan dari memoir (catatan harian) sang ulama kharismatik dari Mesir tersebut.
Tibalah saatnya untuk praktik, setelah sekian lama menggeluti dunia keilmuan. Saya menawarkan kepada teman-teman agar keluar untuk menyampaikan khotbah di kedai-kedai kopi. Teman-teman merasa heran seraya berkomentar: “Para pemilik kedai kopi tentu tidak akan mengizinkan hal ini. Mereka pasti akan menolaknya, karena dapat mengganggu pekerjaan mereka. Di samping itu, kebanyakan dari para pengunjung kedai kopi adalah orang-orang yang hanya memikirkan apa yang sedang mereka nikmati.  Bagaimana kita mesti berbicara tentang agama dan ahlak di hadapan orang-orang yang hanya memikirkan kesenangan duniawi seperti yang sedang mereka nikmati itu?”
Bagaimana Hasan Al-Banna menghadapi sikap skeptic (ragu-ragu) dari teman-temannya? Apakah akhirnya ia mundur ?
Saya berbeda pendapat dengan teman-teman ini.  Saya meyakini bahwa kebanyakan dari orang yang berada di kedai kopi, siap mendengarkan nasihat dari pihak lain, termasuk dari kalangan aktivis masjid, sebab kegiatan ini merupakan sesuatu yang unik, langka, dan baru bagi mereka. Kita tidak perlu menyampaikan sesuatu yang dapat melukai perasaan mereka.  Kita harus menyampaikannya dengan metode yang tepat, dengan gaya bahasa yang menarik dan dalam waktu yang singkat.
Akhirnya, segala sesuatu harus dibuktikan dengan amal.
Hasan Al-Banna dan teman-temannya mengunjungi beberapa kedai yang terletak di kompleks Shalahuddin, kemudian di kedai-kedai kopi yang tersebar di wilayah Thulun hingga melalui berbukit sampai di jalan Salamah dan jalan Sayidah Zainab. Hasan Al-Banna memperkirakan ia dapat menyampaikan ceramahnya lebih 20 kali, setiap ceramah menghabiskan waktu antara 5 hingga 10 menit.
Wah betapa indah, mental kompetitif beliau.
Ternyata para pendengar sangat takjub, mereka semua terdiam mendengarkan ceramah dengan saksama. Para pemilik kedai yang mulanya kurang berkenan, setelah itu justru agar ceramah dilakukan lagi. Bahkan meminta saya untuk tinggal barang sejenak dan minum-minum terlebih dahulu. Namun dengan halus saya menolaknya. Saya meminta maaf kepada mereka karena tidak bisa memenuhi kemauaannya dengan alas an sempitnya waktu. Kami memang telah berjanji kepada diri sendiri untuk mengoptimalkan penggunaan waktu untuk Allah. Oleh karenanya kami tidak ingin memanfaatkannya untuk hal yang lain, sikap kami ini ternyata memberi pengaruh yang cukup besar bagi jiwa mereka. Tidak perlu heran sebab Allah Swt. tidak pernah mengutus seorang rasul atau nabi, kecuali moto pertamanya adalah, “Katakanlah saya tidak akan meminta upah dari kalian atas dakwah ini.” Kesucian niat inilah yang memberikan pengaruh yang positif dalam jiwa objek dakwah.
Tantangan, keraguan bahkan intimidasi, selalu ada di jalan menuju kemenangan, sebab itu adalah sifat dari kemenangan itu sendiri. Maka tengoklah sosok Hasan Al-Banna yang memberi inspirasi kepada para mujahid dakwah agar menanamkan mental kompetitif dalam pribadinya, selalu selamanya.
Sumber: Memoar Hasan Al-Banna, hlm. 84
 (The Winner or The Looser, Izzatul Jannah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar