Pada suatu siang yang sangat terik, Umar
berjalan menyusuri lorong-lorong kota. Ia tidak memedulikan cuaca yang begitu
panas ketika sebagian besar penduduk Madinah lebih memilih beristirahat di
rumah masing-masing. Ia hanya ingin memastikan rakyatnya damai.
Umar melewati sudut pasar Madinah dan
pandangannya tertuju pada seorang anak kecil, yang tengah asyik bermain dengan
ushfur (sejenis burung pipit). Suara cericit burung itu mengundang rasa iba dan
keingintahuan Umar. “Nak, apa yang berada di tanganmu itu?” tanya Umar.
“Paman, tidakkah Paman lihat, ini seekor
burung,” ujar si anak seraya mendongakkan wajahnya.
Burung itu terus bercericit. Umar berbisik
dalam hatinya, “Burung ini tentu sangat ingin terbang dan anak ini tidak
mengerti jika makhluk kecil ini teraniaya.”
“Boleh aku membelinya, Nak? Aku sangat ingin
memilikinya,” tanya Umar kemudian.
“Baiklah, Paman!”
ujar si anak setelah melihat kesungguhan pada wajah lelaki yang tidak
dikenalinya itu.
Dia pun menyerahkan burung itu dan menerima
uangnya, lalu segera pergi. Dalam genggaman Umar, burung kecil itu dibawa
menjauh. Dengan hati-hati, ia membuka genggamannya seraya bergumam senang,
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, terbanglah,
burung kecil!” Burung itu pun terbang di langit Madinah. [Erna Iriani ]
Sumber:
The Great of Two Umars/ Penulis: Fuad Abdurrahman/ Penerbit: Zaman, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar