Senin, 26 Maret 2018

KEMENANGAN DOA


Sosoknya amat sederhana. Tinggi rata-rata, berat rata-rata, penampilan rata-rata, kulit sawo matang layaknya orang Jawa, bahkan lebih hitam sebab setiap hari terpanggang matahari, di atas lautan lagi. Prestasi rata-rata, aktifitasnya pun biasa saja. Jelas bukan selebritis, bahkan di taraf RT sekalipun. Dia hanyalah seorang hamba Allah sederhana, nan mencoba menjalani hayati buat berbakti kepada TuhanNya dengan jalan amat sederhana: beribadah makhdhah dengan baik, bekerja dengan baik, berbakti kepada ibu bapak serta menjalin silaturahmi dengan baik kepada saudara seiman, saudara sedarah, dan sesama manusia.

Dia, pemuda kampung dari wilayah Karesidenan Surakarta nan telah berjuang merenda hayati di Jakarta empat tahun ini. Sama seperti saya, gadis kampung dari selatan kota Solo nan tengah mencoba memaknai hayati di ibukota sepuluh tahun terakhir. Dia pernah menjadi murid sebuah SMU negeri di Solo, sebagaimana aku pun pernah menimba ilmu di salah satu SMU negeri nan lain di Solo juga. Dia ialah sepupu dari teman kuliah dan teman kos aku beberapa tahun lalu, namun aku dan dia tidak pernah saling berjumpa sebelumnya.
Memandanginya, sungguh hanya satu rasa nan terungkap di hati saya: Betapa Allah Maha Besar dan Maha Berkehendak. Memandanginya, tidak lain dan tidak bukan hanya menumbuhkan pengakuan dan ketertundukan aku atas Kuasa Kehendak Allah nan berpadu dengan Kemenangan Doa. Bagaimana tidak? Dua setengah bulan nan lalu, aku masih -sama sekali- tak mengenalnya. Bukan hanya sekedar tak mengenal, bahkan terbayang pun tidak. Terlintas di benak pun tak tentang orang seperti dia. Karena aku dan dia hayati dalam global nan teramat berbeda. Amat sangat berbeda malah. Tak satu pun hal nan saling beririsan di antara kami berdua: baik pekerjaan, pendidikan, maupun aktitifitas sosial & organisasi.
Maka sungguh kehadirannya nan begitu tiba-tiba dan dari arah tidak disangka-sangka sempat membuat aku limbung dan tidak mengerti. Saya nyaris tidak siap menerima kejutan seperti ini. Saya ingin menutup mata dan telinga saja atas kehadirannya. Saya bahkan sempat menolaknya. Bahwa proses kemudian akhirnya tersambung kembali dan berakhir dengan status suami istri bagi kami berdua, itu semua ialah semata sebab Kebesaran Allah SWT.
Memandanginya, selalu mengingatkan aku atas obrolan dengan ibu, wanita luar biasa nan selalu aku kagumi, lebih dari dua tahun lalu. Obrolan nan aku rekam dalam sebuah catatan berjudul “Menjadi Ibu” dan kemudian terpublikasi dalam buku pertama saya, Pagi Ini Aku Cantik Sekali terbitan PT Syaamil Cipta Media. Dalam buku tersebut masih tertera konkret paragraf-paragraf itu:
[Suatu hari, ibu aku berkata, “Nduk, ibu selalu berdo’a dan meminta pada Allah tiap habis sholat, semoga kamu mendapat jodoh nan sholeh dan sepadan denganmu. Dan ibu juga minta, semoga jodohmu orang dekat sini saja, agar kalau ibu pengin menengok kalian, ibu tidak harus jauh-jauh ke Jakarta. Agar ibu cukup dibonceng bapak, sebab ibu niscaya mabok kalau naik bis atau mobil”.
“Ah, ibu nan realistis dong. Saya kan sudah tujuh tahun tinggal di Jakarta. Darimana jalannya aku mendapat jodoh orang sini?” jawab saya.
Ibu aku menjawab kalem, “Lho, jodoh itu khan urusan Alloh. Kita hamba-Nya boleh minta apa saja. Kalau Alloh menghendaki, ora kurang jalaran (tidak kurang sebab)”.]
Maka kini, memandangi laki-laki nan memiliki predikat baru sebagai suami aku itu, hanya menumbuhkan takjub nan tidak henti melantun mengiringi tasbih. Takjub atas begitu mudah dan tidak terduga Allah menjadikan semuanya. Takjub atas pengabulan doa ibu nan begitu tiba-tiba setelah sekian tahun berlalu. Takjub atas jalan nan ditempuh ibu aku buat mendapatkan einginan hatinya: Doa nan tiada henti kepada Sang Pencipta, tanpa bosan, bertahun-tahun lamanya.
Beberapa waktu lalu, sesaat sebelum aku resmi menjadi istri laki-laki ini, Ibu bercerita kepada saya, bahwa sesungguhnya selama ini selalu ada rasa berat di hati Ibu saat aku mengajukan calon orang jauh, apalagi dari pulau seberang. Tapi Ibu tidak pernah mengungkapkan ketidakrelaannya pada saya. Ibu memilih menyampaikan langsung keinginannya pada Dia Sang Maha Pencipta melalui doa nan tidak pernah putus.
Pengakuan itu membuat aku terpana. Tak bisa berkata apa-apa. Karena, sungguh, ibu aku memang bukanlah tipe orang tua dengan banyak baku dan kriteria buat calon menantunya. Ibu ialah sosok sederhana nan menerima setiap manusia lain dengan sederhana. Tak pernah Ibu meminta aku syarat macam-macam apalagi memaksakan kehendak dengan pemberian kriteria tentang calon menantu harus begini atau begitu. Tak pernah ibu menolak calon-calon nan aku ajukan. Bahkan selama ini, Ibu nan selalu mendorong aku buat menerima setiap lamaran.
Tujuh tahun berlalu sejak aku berusia 23 tahun dan selama itu pula telah datang berbagai sosok silih berganti. Dari segi suku, ibu tidak pernah mempermasalahkan ketika nan datang bersuku Padang, Sulawesi, Betawi, Sunda ataupun Jawa sendiri dengan berbagai kota di pelosoknya. Dari sisi pekerjaan, ibu juga tak pernah mempermasalahkan meski ia hanya seorang satpam, pekerja bangunan atau guru TPA saja, sedang di waktu nan lain pernah datang seorang eksekutif muda, dosen maupun wira usahawan. Dari sisi pendidikan ibu juga tidak keberatan meski calon nan aku ajukan hanya lulusan SMA padahal pernah datang kandidat doktor dan sarjana dari perguruan tinggi paling bergengsi di negeri ini. Sedang masalah rizki, ibu hanya selalu berkata: Allah nan akan mengaturnya. Masalah loka hidup, ibu bilang, semua loka di global ini ialah bumi Allah saja. Hanya satu nan ibu gariskan: ia hendaklah pemuda shaleh dan bertanggungjawab. Tak lebih.
Hanya saja, selama tujuh tahun itu, aku harus berulangkali tertunduk ketika empiris berkata lain: cinta dan kerinduan aku tidak jua menemui muaranya. Berulang kali, proses menuju nikah nan aku jalani berakhir di tengah jalan dengan karena nan kadang tidak aku mengerti. Berulang kali, perjalanan cinta aku harus berakhir dengan senyum getir, bahkan beberapa di antaranya menyisakan luka, hati nan berkeping, menyerpih dan berdarah-darah. Berulangkali, sepanjang tujuh tahun itu aku merunduk dan menghiba: Allah, di manakah ia teman mengarungi hayati itu?
Dan dia, laki-laki sederhana itu datang, saat perasaan tidak lagi bisa dijadikan panduan. Saat empiris tidak lagi dalam jangkauan pikiran. Dia datang di puncak kegalauan saya. Dia datang dibatas ketidakmengertian aku atas garis kehidupan. Dia datang, saat komitmen nan telah empat bulan aku bangun dengan sosok sederhana lain, lagi-lagi membentur sebuah kenyataan: ketidakyakinan, ketidaknyamanan dan ketidakridhoan dari banyak pihak jika proses kami diteruskan. Maka apakah lagi nan bisa aku lakukan selain luruh di hadapanNya? Menghela sebuah kepasrahan, menyerahkan semua takdir pada Dia Sang Maha Pencipta.
Maka terpilihlah oleh nurani, laki-laki ini. Dia nan datang sepenuh keyakinan. Dia nan datang membawa perbekalan sederhana: kesiapan pribadi dan restu orangtuanya. Dia nan datang bagai pangeran berkuda hitam: tegak, kokoh, teguh menatap ke depan tanpa gamang.
“Engkau sudah istikharah?” begitu tanya aku waktu itu.
“Sudah” jawabnya mantap. “Keputusanmu buat memilihku final?”
“Final!”
“Yakin?”
“Yakin sekali”
“Mengapa memilihku?”
“Satu, sebab engkau kupercaya merupakan muslimah berakhlak baik dari karesidenan Surakarta. Kedua, sebab engkau insyaAllah tepat untukku. Engkau ialah perempuan andal nan kupercaya sanggup hayati bersama seseorang nan bekerja di atas lautan sepertiku. Aku percaya engkau akan bisa menjaga kehormatan suami saat ditinggal pergi dengan menjaga kehormatan diri dan harta suaminya.”
Kata-katanya membuatku tertegun-tegun. Allah, ini buat pertama kalinya Engkau mempertemukanku dengan sesosok laki-laki nan memilihku bukan sebab alasan ‘menginginkanku’, ‘keunggulanku’, ‘sebentuk emosi jiwa nan telah bersemi’, pun juga bukan sebab ‘terserah kepada guru semata’ atau ‘tidak ada pilihan lain’. Ia datang dengan alasan mencari pasangan nan tepat, namun dengan kriteria amat sangat sederhana. Seperti nan dikatakan Anis Matta dalam bukunya “Sebelum Engkau Mengambil Keputusan Besar Itu”, bahwa seseorang semestinya mencari pasangan nan tepat buat dirinya, bukan seseorang nan semata dikaguminya atau sosok unggul nan diinginkannya, nan disukainya, namun juga bukan sekedar mencari pasangan seadanya.
Maka ya Allah, ketika dia hadir begitu tiba-tiba, apalagi nan bisa kulakukan selain tunduk di hadapanMu? Selain pengakuan atas kebesaranMu dan ke-Maha kehendakanMu? Maka apalagi nan bisa kuungkap selain tasbih dan tahmid, serta takbir dan tahlil atas pengabulanMu pada doa panjang nan selalu dipanjatkan ibu aku bertahun-tahun lamanya?
Inilah laki-laki itu. Belahan jiwaku. Maka ya Allah, bantu aku menjaga amanahMu. Beri pertolongan padaku buat menetapi mitsaqon ghalidza dan qaulan syadiidan nan telah kuikrarkan kepadanya, sosok nan hadir sebagai bukti perpaduan antara kehendakMu dan kemenangan doa Ibu. Bimbing aku buat berbakti pada laki-laki nan membebankan amanah kepercayaan besar di pundakku, dan kini kupanggil: Suamiku! Kamal Fikri namanya.
#Azimah Rahayu, ditulis sebagai prasasti, atas periode hayati baru,
Sumber: https://www.eramuslim.com/oase-iman/kemenangan-doa.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar