Sosoknya
amat sederhana. Tinggi rata-rata, berat rata-rata, penampilan rata-rata, kulit
sawo matang layaknya orang Jawa, bahkan lebih hitam sebab setiap hari
terpanggang matahari, di atas lautan lagi. Prestasi rata-rata, aktifitasnya pun
biasa saja. Jelas bukan selebritis, bahkan di taraf RT sekalipun. Dia hanyalah
seorang hamba Allah sederhana, nan mencoba menjalani hayati buat berbakti
kepada TuhanNya dengan jalan amat sederhana: beribadah makhdhah dengan baik,
bekerja dengan baik, berbakti kepada ibu bapak serta menjalin silaturahmi
dengan baik kepada saudara seiman, saudara sedarah, dan sesama manusia.
Dia,
pemuda kampung dari wilayah Karesidenan Surakarta nan telah berjuang merenda
hayati di Jakarta empat tahun ini. Sama seperti saya, gadis kampung dari
selatan kota Solo nan tengah mencoba memaknai hayati di ibukota sepuluh tahun
terakhir. Dia pernah menjadi murid sebuah SMU negeri di Solo, sebagaimana aku
pun pernah menimba ilmu di salah satu SMU negeri nan lain di Solo juga. Dia
ialah sepupu dari teman kuliah dan teman kos aku beberapa tahun lalu, namun aku
dan dia tidak pernah saling berjumpa sebelumnya.
Memandanginya,
sungguh hanya satu rasa nan terungkap di hati saya: Betapa Allah Maha Besar dan
Maha Berkehendak. Memandanginya, tidak lain dan tidak bukan hanya menumbuhkan
pengakuan dan ketertundukan aku atas Kuasa Kehendak Allah nan berpadu dengan
Kemenangan Doa. Bagaimana tidak? Dua setengah bulan nan lalu, aku masih -sama
sekali- tak mengenalnya. Bukan hanya sekedar tak mengenal, bahkan terbayang pun
tidak. Terlintas di benak pun tak tentang orang seperti dia. Karena aku dan dia
hayati dalam global nan teramat berbeda. Amat sangat berbeda malah. Tak satu
pun hal nan saling beririsan di antara kami berdua: baik pekerjaan, pendidikan,
maupun aktitifitas sosial & organisasi.
Maka
sungguh kehadirannya nan begitu tiba-tiba dan dari arah tidak disangka-sangka
sempat membuat aku limbung dan tidak mengerti. Saya nyaris tidak siap menerima
kejutan seperti ini. Saya ingin menutup mata dan telinga saja atas kehadirannya.
Saya bahkan sempat menolaknya. Bahwa proses kemudian akhirnya tersambung
kembali dan berakhir dengan status suami istri bagi kami berdua, itu semua
ialah semata sebab Kebesaran Allah SWT.
Memandanginya,
selalu mengingatkan aku atas obrolan dengan ibu, wanita luar biasa nan selalu
aku kagumi, lebih dari dua tahun lalu. Obrolan nan aku rekam dalam sebuah
catatan berjudul “Menjadi Ibu” dan kemudian terpublikasi dalam buku pertama
saya, Pagi Ini Aku Cantik Sekali terbitan PT Syaamil Cipta Media. Dalam buku
tersebut masih tertera konkret paragraf-paragraf itu:
[Suatu
hari, ibu aku berkata, “Nduk, ibu selalu berdo’a dan meminta pada Allah tiap
habis sholat, semoga kamu mendapat jodoh nan sholeh dan sepadan denganmu. Dan
ibu juga minta, semoga jodohmu orang dekat sini saja, agar kalau ibu pengin
menengok kalian, ibu tidak harus jauh-jauh ke Jakarta. Agar ibu cukup dibonceng
bapak, sebab ibu niscaya mabok kalau naik bis atau mobil”.
“Ah,
ibu nan realistis dong. Saya kan sudah tujuh tahun tinggal di Jakarta. Darimana
jalannya aku mendapat jodoh orang sini?” jawab saya.
Ibu
aku menjawab kalem, “Lho, jodoh itu khan urusan Alloh. Kita hamba-Nya boleh
minta apa saja. Kalau Alloh menghendaki, ora kurang jalaran (tidak kurang
sebab)”.]
Maka
kini, memandangi laki-laki nan memiliki predikat baru sebagai suami aku itu,
hanya menumbuhkan takjub nan tidak henti melantun mengiringi tasbih. Takjub
atas begitu mudah dan tidak terduga Allah menjadikan semuanya. Takjub atas
pengabulan doa ibu nan begitu tiba-tiba setelah sekian tahun berlalu. Takjub
atas jalan nan ditempuh ibu aku buat mendapatkan einginan hatinya: Doa nan
tiada henti kepada Sang Pencipta, tanpa bosan, bertahun-tahun lamanya.
Beberapa
waktu lalu, sesaat sebelum aku resmi menjadi istri laki-laki ini, Ibu bercerita
kepada saya, bahwa sesungguhnya selama ini selalu ada rasa berat di hati Ibu
saat aku mengajukan calon orang jauh, apalagi dari pulau seberang. Tapi Ibu
tidak pernah mengungkapkan ketidakrelaannya pada saya. Ibu memilih menyampaikan
langsung keinginannya pada Dia Sang Maha Pencipta melalui doa nan tidak pernah
putus.
Pengakuan
itu membuat aku terpana. Tak bisa berkata apa-apa. Karena, sungguh, ibu aku
memang bukanlah tipe orang tua dengan banyak baku dan kriteria buat calon
menantunya. Ibu ialah sosok sederhana nan menerima setiap manusia lain dengan
sederhana. Tak pernah Ibu meminta aku syarat macam-macam apalagi memaksakan
kehendak dengan pemberian kriteria tentang calon menantu harus begini atau
begitu. Tak pernah ibu menolak calon-calon nan aku ajukan. Bahkan selama ini,
Ibu nan selalu mendorong aku buat menerima setiap lamaran.
Tujuh
tahun berlalu sejak aku berusia 23 tahun dan selama itu pula telah datang
berbagai sosok silih berganti. Dari segi suku, ibu tidak pernah
mempermasalahkan ketika nan datang bersuku Padang, Sulawesi, Betawi, Sunda
ataupun Jawa sendiri dengan berbagai kota di pelosoknya. Dari sisi pekerjaan,
ibu juga tak pernah mempermasalahkan meski ia hanya seorang satpam, pekerja
bangunan atau guru TPA saja, sedang di waktu nan lain pernah datang seorang
eksekutif muda, dosen maupun wira usahawan. Dari sisi pendidikan ibu juga tidak
keberatan meski calon nan aku ajukan hanya lulusan SMA padahal pernah datang
kandidat doktor dan sarjana dari perguruan tinggi paling bergengsi di negeri
ini. Sedang masalah rizki, ibu hanya selalu berkata: Allah nan akan
mengaturnya. Masalah loka hidup, ibu bilang, semua loka di global ini ialah
bumi Allah saja. Hanya satu nan ibu gariskan: ia hendaklah pemuda shaleh dan
bertanggungjawab. Tak lebih.
Hanya
saja, selama tujuh tahun itu, aku harus berulangkali tertunduk ketika empiris
berkata lain: cinta dan kerinduan aku tidak jua menemui muaranya. Berulang
kali, proses menuju nikah nan aku jalani berakhir di tengah jalan dengan karena
nan kadang tidak aku mengerti. Berulang kali, perjalanan cinta aku harus
berakhir dengan senyum getir, bahkan beberapa di antaranya menyisakan luka,
hati nan berkeping, menyerpih dan berdarah-darah. Berulangkali, sepanjang tujuh
tahun itu aku merunduk dan menghiba: Allah, di manakah ia teman mengarungi
hayati itu?
Dan
dia, laki-laki sederhana itu datang, saat perasaan tidak lagi bisa dijadikan
panduan. Saat empiris tidak lagi dalam jangkauan pikiran. Dia datang di puncak
kegalauan saya. Dia datang dibatas ketidakmengertian aku atas garis kehidupan.
Dia datang, saat komitmen nan telah empat bulan aku bangun dengan sosok
sederhana lain, lagi-lagi membentur sebuah kenyataan: ketidakyakinan,
ketidaknyamanan dan ketidakridhoan dari banyak pihak jika proses kami
diteruskan. Maka apakah lagi nan bisa aku lakukan selain luruh di hadapanNya?
Menghela sebuah kepasrahan, menyerahkan semua takdir pada Dia Sang Maha
Pencipta.
Maka
terpilihlah oleh nurani, laki-laki ini. Dia nan datang sepenuh keyakinan. Dia
nan datang membawa perbekalan sederhana: kesiapan pribadi dan restu
orangtuanya. Dia nan datang bagai pangeran berkuda hitam: tegak, kokoh, teguh
menatap ke depan tanpa gamang.
“Engkau
sudah istikharah?” begitu tanya aku waktu itu.
“Sudah”
jawabnya mantap. “Keputusanmu buat memilihku final?”
“Final!”
“Yakin?”
“Yakin
sekali”
“Mengapa
memilihku?”
“Satu,
sebab engkau kupercaya merupakan muslimah berakhlak baik dari karesidenan
Surakarta. Kedua, sebab engkau insyaAllah tepat untukku. Engkau ialah perempuan
andal nan kupercaya sanggup hayati bersama seseorang nan bekerja di atas lautan
sepertiku. Aku percaya engkau akan bisa menjaga kehormatan suami saat ditinggal
pergi dengan menjaga kehormatan diri dan harta suaminya.”
Kata-katanya
membuatku tertegun-tegun. Allah, ini buat pertama kalinya Engkau
mempertemukanku dengan sesosok laki-laki nan memilihku bukan sebab alasan
‘menginginkanku’, ‘keunggulanku’, ‘sebentuk emosi jiwa nan telah bersemi’, pun
juga bukan sebab ‘terserah kepada guru semata’ atau ‘tidak ada pilihan lain’.
Ia datang dengan alasan mencari pasangan nan tepat, namun dengan kriteria amat sangat
sederhana. Seperti nan dikatakan Anis Matta dalam bukunya “Sebelum Engkau
Mengambil Keputusan Besar Itu”, bahwa seseorang semestinya mencari pasangan nan
tepat buat dirinya, bukan seseorang nan semata dikaguminya atau sosok unggul
nan diinginkannya, nan disukainya, namun juga bukan sekedar mencari pasangan
seadanya.
Maka
ya Allah, ketika dia hadir begitu tiba-tiba, apalagi nan bisa kulakukan selain
tunduk di hadapanMu? Selain pengakuan atas kebesaranMu dan ke-Maha
kehendakanMu? Maka apalagi nan bisa kuungkap selain tasbih dan tahmid, serta
takbir dan tahlil atas pengabulanMu pada doa panjang nan selalu dipanjatkan ibu
aku bertahun-tahun lamanya?
Inilah
laki-laki itu. Belahan jiwaku. Maka ya Allah, bantu aku menjaga amanahMu. Beri
pertolongan padaku buat menetapi mitsaqon ghalidza dan qaulan syadiidan nan
telah kuikrarkan kepadanya, sosok nan hadir sebagai bukti perpaduan antara
kehendakMu dan kemenangan doa Ibu. Bimbing aku buat berbakti pada laki-laki nan
membebankan amanah kepercayaan besar di pundakku, dan kini kupanggil: Suamiku!
Kamal Fikri namanya.
#Azimah
Rahayu, ditulis sebagai prasasti, atas periode hayati baru,
Sumber:
https://www.eramuslim.com/oase-iman/kemenangan-doa.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar