Ummat
ini bagaikan daun-daun yang berguguran, mudah sekali diterpa angin. Tiada
kekuatan yang mampu menghimpunnya kembali, menata seperti ia masih bergayut
pada pohonnya. Begitulah kenyataan! Banyak orang saleh, orang hebat, tapi
semuanya seperti daun-daun yang berhamburan. Oleh karena itu, jalan panjang
untuk menuju kebangkitan ummat ini haruslah dimulai dari menghimpun daun-daun
tersebut dalam wadah yang bernama jama’ah, merajut kembali jalinan cinta,
satukan potensi dan kekuatan, sehingga ia menjadi pohon peradaban yang teduh,
menaungi kemanusiaan.
Walaupun
satu keluarga kami tak saling mengenal
Himpunlah
daun-daun yang berhamburan ini
Hidupkan
lagi ajaran saling mencinta
Ajari
lagi kami berkhidmat seperti dulu
Itulah
beberapa bait dari sajak doa Iqbal. Mungkin batinnya menjerit pada setiap
kesaksiannya atas zamannya; ummat ini seperti daun-daun yang berhamburan.
Seperti daun-daun yang gugur diterpa angin, tak ada lagi kekuatan yang dapat
menghimpunnya kembali, menatanya seperti ketika ia masih menggayut pada
pohonnya.
Begitulah
kenyataan ummat ini; mungkin banyak orang saleh diantara mereka, tapi semuanya
seperti daun-daun yang berhamburan, tidak terhimpun dalam sebuah wadah yang
bernama jama’ah. Mungkin banyak orang hebat diantara mereka, tapi kehebatan mereka
hilang diterpa angin zaman. Mungkin banyak potensi yang tersimpan pada
individu-individu diantara mereka, tapi semuanya berserakan di sana sini, tak
terhimpun.
Maka
jama’ah adalah alat yang diberikan Islam bagi umatnya untuk menghimpun
daun-daun yang berhamburan itu; supaya kekuatan setiap satu orang saleh, atau
orang hebat, atau satu potensi, bertemu padu dengan kekuatan saudaranya yang
lain, yang sama salehnya, yang sama hebatnya, yang sama potensialnya.
Jama’ah
juga merupakan cara yang paling tepat untuk menyederhanakan perbedaan-perbedaan
pada individu. Di dalam satu jama’ah, individu-individu yang memiliki kemiripan
disatukan dalam sebuah simpul. Maka meskipun ada banyak jama’ah, itu tetap jauh
lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Sebab jauh lebih mudah memetakan
orang banyak melalui pengelompokan atau simpul-simpulnya, ketimbang memetakan
mereka sebagai individu
Maka
jalan panjang menuju kebangkitan kembali ummat ini, harus dimulai dari
menghimpun daun-daun yang berhamburan itu, merajut kembali jalinan cinta
diantara mereka, menyatukan potensi dan kekuatan mereka, kemudian
`meledakkannya’ pada momentum sejarahnya, menjadi pohon peradaban yang teduh,
yang menaungi kemanusiaan.
Tapi
itulah masalahnya. Ternyata itu bukan pekerjaan yang mudah. Ternyata cinta
tidak mudah ditumbuhkan diantara mereka. Ternyata orang saleh tidak mudah
disatukan. Ternyata orang hebat tidak selalu bersedia menyatu dengan orang
hebat yang lain. Mungkin itu sebabnya, ada ungkapan di kalangan gangster mafia;
seorang prajurit yang bodoh, kadang-kadang lebih berguna dari pada dua orang
jenderal yang hebat. Tapi tidak ada jalan lain; Nabi ummat ini tidak akan
pernah memaafkan setiap orang diantara kita untuk meninggalkan jamaah semata-mata
karena ia tidak menemukan kecocokan bersama orang lain dalam jamaahnya. Sebab,
kekeruhan jama’ah, kata Imam Ali Bin Abi Thalib Ra, jauh lebih baik daripada
kejernihan individu.
DARI
INDIVIDU KE JAMA’AH
Orang-orang
saleh diantara kita harus menyadari, bahwa tidak banyak yang dapat ia berikan
atau sumbangkan untuk Islam kecuali kalau ia bekerja di dalam dan melalui
jama’ah. Mereka tidak dapat menolak fakta bahwa tidak ada orang yang dapat
mempertahankan hidupnya tanpa bantuan orang lain, bahwa tidak pernah ada orang
yang dapat melakukan segalanya atau menjadi segalanya, bahwa kecerdasan individual
tidak pernah dapat mengalahkan kecerdasan kolektif. Bekerja di dalam dan melalui jama’ah tidak
hanya terkait dengan fitrah sosial kita, tapi terutama terkait dengan kebutuhan
kita untuk menjadi lebih efisien, efektif dan produktif.
Ada
juga alasan lain. Kita hidup dalam sebuah zaman yang oleh ahli-ahlinya
dicirikan sebagai masyarakat jaringan, masyarakat organisasi. Semua aktivitas
manusia dilakukan di dalam dan melalui organisasi; pemerintahan, politik,
militer, bisnis, kegiatan sosial kemanusiaan, rumah tangga, hiburan dan
lainnya. Itu merupakan kata kunci yang menjelaskan, mengapa masyarakat moderen
menjadi sangat efektif dan efisien serta produktif.
Masyarakat
modern bekerja dengan kesadaran bahwa keterbatasan-keterbatasan yang ada pada
setiap individu sesungguhnya dapat dihilangkan dengan mengisi keterbatasan
mereka itu dengan kekuatan-kekuatan yang ada pada individu-individu yang lain.
Jadi kebutuhan setiap individu Muslim untuk bekerja, atau beramal Islami di
dalam dan melalui jama’ah, bukan saja lahir dari kebutuhan untuk meningkatkan
efektivitas, efesiensi dan produktivitasnya, tapi juga lahir dari kebutuhan
untuk bekerja dan beramal Islami pada level yang setara dengan tantangan zaman kita.
Musuh-musuh
kita mengelola dan mengorganisasi pekerjaan-pekerjaan mereka dengan rapi,
sementara kita bekerja sendiri-sendiri, tanpa organisasi, dan kalau ada,
biasanya tanpa manajemen.
Pilihan
untuk bekerja dan beramal Islami di dalam dan melalui jama’ah hanya lahir dari
kesadaran mendalam seperti ini. Tapi kesadaran ini saja tidak cukup. Ada
persyaratan psikologis lain yang harus kita miliki untuk dapat bekerja lebih
efektif, efisien dan produktif dalam kehidupan berjama’ah.
1.
KESADARAN BAHWA KITA HANYALAH BAGIAN DARI FUNGSI PENCAPAIAN TUJUAN
Jama’ah
didirikan untuk mencapai tujuan-tujuan besar. Untuk jama’ah bekerja dengan
sebuah perencanaan dan strategi yang komprehensif dan integral. Di dalam
strategi besar itu, individu harus ditempatkan sebagai bagian dari keseluruhan
elemen yang diperlukan untuk mencapainya. Jadi sehebat apa pun seorang
individu, bahkan sebesar apa pun kontribusinya, dia tidak boleh merasa lebih
besar daripada strategi dimana ia merupakan salah satu bagiannya. Begitu ada
individu yang merasa lebih besar dari strategi jama’ah, maka strategi itu akan
berantakan. Untuk itu setiap indvidu harus memiliki kerendahan hati yang tulus.
2.
SEMANGAT MEMBERI YANG MENGALAHKAN SEMANGAT MENERIMA
Dalam
kehidupan berjama’ah terjadi proses memberi dan menerima. Tapi jika pada
sebagian besar proses kita selalu berada pada posisi menerima, maka secara
perlahan kita `mengkonsumsi’ kebaikan-kebaikan orang lain hingga habis. Itu
tidak akan pernah mampu melanggengkan hubungan individu dalam sebuah jama’ah.
Betapa bijak nasihat KH Ahmad Dahlan kepada warga Muhammadiyah;
“Hidup-hidupkanlah Muhammadiyah, dan jangan mencari hidup dalam Muhammadiyah”.
3.
KESIAPAN UNTUK MENJADI TENTARA YANG KREATIF
Pusat
stabilitas dalam jama’ah adalah kepemimpinan yang kuat. Tapi seorang pemimpin
hanya akan menjadi efektif apabila ia memiliki prajurit-prajurit yang taat dan
setia. Ketaatan dan kesetiaan adalah inti keprajuritan. Begitu kita bergabung
dalam sebuah jama’ah, kita harus bersiap untuk menjadi taat dan setia. Tapi ruang
lingkup amal Islami yang sangat luas membutuhkan manusia-manusia kreatif. Dan
kreativitas tidak bertentangan dengan ketaatan dan kesetiaan. Jadi
kita
harus menggabungkan antara ketaatan dan kreativitas; ketaatan lahir dari
kedisiplinan dan komitmen, sementara kreativitas lahir dari kecerdasan dan
kelincahan. Dan itu merupakan perpaduan yang indah.
4.
BERORIENTASI PADA KARYA, BUKAN PADA POSISI
Jebakan
terbesar yang dapat menjerumuskan kita dalam kehidupan berjama’ah adalah posisi
struktural. Jama’ah hanyalah wadah bagi kita untuk beramal. Maka kita harus
selalu berorientasi pada amal dan karya yang menjadi tujuan utama kita
berjama’ah, dan memandang posisi structural sebagai perkara sampingan saja.
Dengan begitu kita akan selalu bekerja dan berkarya ada atau tanpa posisi
struktural.
5.
BEKERJASAMA WALAUPUN BERBEDA
Perbedaan
adalah tabiat kehidupan yang tidak dapat dimatikan oleh jama’ah. Maka adalah
salah jika berharap untuk hidup dalam sebuah jama’ah yang bebas dari perbedaan.
Yang harus kita tumbuhkan adalah kemampuan jiwa dan kelapangan dada untuk tetap
bekerjasama di tengah berbagai perbedaan. Perbedaan tidaklah sama dengan
perpecahan, dan karena itu kita tetap dapat bersatu walaupun kita berbeda.
JAMAAH
YANG EFEKTIF
Mungkin
jauh lebih realistis untuk mencari jama’ah yang efektif ketimbang mencari
jama’ah yang ideal. Kita adalah ummat yang sakit. Setiap kita mewarisi kadar
tertentu dari penyakit tersebut. Jika orang-orang sakit itu saling bertemu
dalam sebuah jama’ah, pada dasarnya jama’ah itu juga merupakan jama’ah yang
sakit. Itulah faktanya. Tapi tugas kita menyalakan lilin, bukan mencela
kegelapan.
Jama’ah
yang efektif adalah jamaah yang dapat mengeksekusi atau merealisasikan
rencana-rencananya. Kemampuan eksekusi itu lahir dari integrasi antara berbagai
elemen; ada sasaran dan target yang jelas, strategi yang tepat, sarana
pendukung yang memadai, pelaku yang bekerja dengan penuh semangat, lingkungan
strategi yang kondusif.
Jama’ah
yang didirikan untuk kepentingan menegakkan syariat Allah Swt di muka bumi,
akan menjadi efektif apabila ia memiliki syarat-syarat berikut ini;
1.
IKATANNYA AQIDAH, BUKAN KEPENTINGAN
Orang-orang
yang bergabung dalam jama’ah itu disatukan oleh ikatan aqidah, dipersaudarakan
oleh iman, dan bekerja untuk kepentingan Islam. Mereka tidak disatukan oleh
kepentingan duniawi yang biasanya lahir dari dua kekuatan syahwat; keserakahan
(hubbud dunya) dan ketakutan (karahiatul maut).
2.
JAMA’AH ITU SARANA, BUKAN TUJUAN
Jama’ah
itu tetap diposisikan sebagai sarana, bukan tujuan. Sehingga tidak ada alasan
untuk memupuk dan memelihara fanatisme sekadar untuk menunjukkan kesetiaan pada
grup. Hilangnya fanatisme juga memungkinkan jama’ah-jama’ah itu saling bekerja
sama diantara mereka, membangun jaringan yang kuat, dan tidak terjebak dalam
pertarungan yang saling mematikan.
3.
SISTEM, BUKAN TOKOH
Jama’ah
itu akan menjadi efektif jika orang-orang yang ada di dalamnya bekerja dengan
sebuah sistem yang jelas, bukan bekerja dengan seseorang yang berfungsi sebagai
sistem. Pemimpin dan prajurit hanyalah bagian dari strategi, sistem adalah
sesuatu yang terpisah. Dengan cara ini kita mencegah munculnya diktatorisme
dimana selera sang Pemimpin menjelma menjadi sistem.
4.
PENUMBUHAN, BUKAN PEMANFAATAN
Sebuah
jama’ah akan menjadi efektif jika ia memandang dan menempatkan orang-orang yang
bergabung ke dalamnya sebagai pelaku-pelaku, yang karenanya perlu
ditumbuh-kembangkan secara terus menerus, untuk fungsi pencapaian tujuan
jama’ah itu. Jama’ah itu akan menempatkan dirinya sebagai fasilitator bagi
perkembangan kreativitas individunya, dan tidak memandang mereka sebagai
pembantu-pembantu yang harus dipaksa bekerja keras, atau sapi-sapi yang dungu yang
harus diperah setiap saat.
5.
MENGELOLA PERBEDAAN, BUKAN MEMATIKANNYA
Jama’ah
yang efektif selalu mampu mengubah keragaman menjadi sumber kreativitas
kolektifnya. Dan itu dilakukan melalui mekanisme syuro yang dapat memfasilitasi
setiap perbedaan untuk diubah menjadi konsensus.
Anis
matta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar