Kamis, 04 April 2019

HUBUNGAN BURUNG DENGAN MASYARAKAT SULAWESI


Diantara semua burung Sulawesi, Macrocephalon maleo paling menonjol dalam budaya dan kehidupan masyarakat. Budaya yang terkenal adalah adat ”Tumpe” di Luwuk dan Pulau Banggai. Adat Tumpe dilaksanakan masyarakat Kota Banggai (di Kep. Banggai) dan Batui (dekat Luwuk), merupakan peninggalan adat istiadat Kerajaan Banggai. Tumpe adalah upacara adat pengiriman telur Macrocephalon maleo dari Batui ke Banggai yang bertelur pada musim pertama di Cagar Alam Bangkiriang dilakukan di setiap bulan September. Pentingnya acara ini, sehingga prosesi upacara adat ini dihadiri Bupati Banggai dan Raja Banggai. Masyarakat Desa Tuva juga mempunyai adat berkaitan dengan Macrocephalon maleo, yaitu ”Sampole Sangu”. Adat ini merupakan upacara dengan memberikan sesajian pada yang ghaib untuk meningkatkan populasi Macrocephalon maleo datang bertelur di tempat bertelur Macrocephalon maleo Saluki. Dalam kepercayaan masyarakat Desa Tuva, Macrocephalon maleo dipercaya merupakan hewan peliharaan mereka, yang didatangkan dari Desa Sarudu. 

Di beberapa tempat di Sulawesi, sejak dulu terdapat sistem pengelolaan pemanenan telur antara kepala desa dan lembaga adat, dalam sistem tersebut diatur telur yang dipanen dibagi tiga; satu bagian untuk dana desa, pengelola dan sebagian dibiarkan menetas. Terbukti sistem tersebut sangat efektif melestarikan Macrocephalon maleo, karena mereka mengetahui kelestarian Maleo Senkawor. Mereka sadar bila jumlah telur dipanen dengan memperhatikan kesimbangan terjaga, maka jumlah telur yang didapatkan akan stabil.  Sistem tersebut masih berjalan di beberapa tempat, salah satunya di Desa Wosu (Morowali).
Selain Macrocephalon maleo, Collocalia fuciphaga juga dipelihara masyarakat di banyak tempat, baik di kota maupun  pedesaan, dengan membuat bangunan-bangunan tempat bersarang. Sarang-sarang tersebut dipanen dan dijual dengan harga sangat mahal, untuk kebutuhan makanan mewah.   
Masyarakat di Sulawesi Tengah sangat takut pada Tyto rosenbergii dan Rhamphocococyx calyorhynchus, karena dipercaya kehadiran kedua burung tersebut membawa kabar buruk dan merupakan penjelmaan dari makhluk halus bersifat jahat. Di Lembah Palu, Rhamphocococyx calyorhynchus dipercaya merupakan penjelmaan dari ”Tepeule”, manusia yang menjelma menjadi makhluk jahat. Tapi kepercayaan tersebut saat ini berangsur-angsur mulai memudar. 
Suku Ta’a yang hidup di rimba Cagar Alam Morowali, sangat tergantung pada burung sebagai sumber pakan. Mereka menangkap burung dengan cara menyumpitnya. Pola berburu demikian juga menjadi tradisi pada suka terasing lain di Sulawesi Tengah; diantaranya Suku Tajio di Parigi Moutong dan Suku Da’a di Pegunungan Gawalise. Sebenarnya berburu burung sudah menjadi kebiasaan masyarakat di Sulawesi. Di Pedesaan maupun perkotaan sudah menjadi pemandangan umum masyarakat berburu burung untuk dikonsumsi menggunakan senjata angin (senjata burung), umumnya yang diburu adalah anggota Columbidae, Rallidae dan Ardeidae berukuran besar.
Selain di konsumsi, sudah menjadi pemandangan umum beberapa jenis burung ditangkap untuk dipelihara, terutama di pedesaan, burung yang umum dipelihara adalah anggota Columbidae, Accipitridae, Rhyticeros cassidix, anggota Psittaciformes, terutama Saxicola caprata, Zosterops spp., anggota Strunidae, Oriolus chinensis, Corvus enca dan Corvus typicus.  Saat ini kebiasaan menangkap burung ini bergeser menjadi sumber komoditi  menguntungkan. Maka tak heran di kota dan beberapa tempat terpencil dijumpai banyak penjual burung. Hal ini menyebabkan Cacatua sulphurea hampir punah dari kawasan Sulawesi dan beberapa jenis sangat jarang dijumpai seperti Eos histrio di Kepulauan Sangihe-Talaud. Umumnya yang favorit diperdagangkan selain kedua jenis burung tersebut adalah Gallus gallus, Streptopelia tranquebarica, Spilopelia chinensis, Prioniturus platurus, Trichoglossus ornatus, Trichoglossus meyeri, Pycnonotus aurigaster, Saxicola caprata, Scissirostrum dubium, Acridotheres cinereus, Basilornis celebensis dan Oriolus chinensis.
Di lahan persawahan, para petani sangat akrab dengan Lonchura spp., yang selalu membuat mereka stres karena hama utama buah padi sudah berisi.  Mereka sering gagal panen atau mengalami kerugian, karena buah padi telah habis atau berkurang banyak dimakan burung tersebut. Mereka melakukan berbagai upaya untuk mengusir burung tersebut.  Salah satunya adalah membuat alat pengusir orang-orangan di lahan persawahan atau menjulurkan tali memasang bahan pengusir seperti bunyi-bunyian, kain dan plastik. Alat-alat ini merupakan pemandangan umum pada lahan persawahan di desa-desa Sulawesi. Selain merugikan, beberapa jenis burung juga menguntungkan para petani, salah satunya adalah Elanus caeuruleus dan Tyto rosenbergii.  Kehadiran burung ini di lahan perkebunan, terutama perkebunan sawit, lahan budidaya sekitar pemukiman, perkebunan kakao sangat dirasakan manfaatnya mengendalikan populasi tikus. Begitu juga Zosterops chloris dan Zosterops atrifrons, berjasa mengendalikan populasi serangga pada lahan perkebunan.       
(Fachry Nur Mallo) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar