Kamis, 06 Desember 2012

Bersyukur dan Berdoa: Adab Muslim Hadapi Musim Hujan!


“AWAL Musim Hujan, Waspadai Cuaca Ekstrim!” demikian salah satu judul sebuah media massa mengawali datangnya musim penghujan tiba. Judul-judul dari media lain tak kalah menyeramkan. “Waspada! Hujan Deras Disertai Petir Intai Jakarta”
Seiring datangnya musim hujan, kita semua sering dikejutkan dengan kata-kata dan nada hujatan kepada sang pemberi rizki dan penghatur hidup semua alam dan semua manusia, Allah Subhanahu Wata’ala. 
Secara tidak terasa, media massa kita mengajarkan hal yang salah,yang sesungguhnya berdampak pada tauhid dan keimanan pada kita semua. Nada-nada hujatan (maaf) bahkan menyalahkan pada Tuhan kadang juga datang dari media yang mengatasnamakan Islam. “Truk Macet 200 Km Gara-Gara Hujan Salju di Rusia”, tulis Republika Online, Senin, 03 Desember 2012
“Gara-gara Hujan, Padang Fair Tidak Capai Target”, tulis media lain.
 “Ah, gara-gara hujan, motorku kotor lagi. Sudah gitu, sepatuku satu-satunya ikut kehujanan lagi. hufffttt!!,” begitu gerutu sebagian masyarakat di sekitar kita. 
Kesalahan dalam memaknai tanda-tanda alam dan semua pemberian Allah Azza wa jalla, sesungguhnya bisa berdampak pada ketauhidan kita. Akibatnya, semua pergantian cuaca, alam dan seisinya, akan dipandang sebagai kesalahan sang Pencipta, Allah Subhanahu Wata’ala. Memang kelihatannya sederhana, namun ini sesungguhnya hal yang serius, menyangkut keimanan.
Rahmat dari Allah
Tidak ada setetes air hujan yang membasahi bumi ini kecuali atas kehendak Allah Subhanahu Wata’ala. Apa yang terjadi dari ujung kaki hingga ujung langit, dari pagi hingga malam, gumpalan awan, petir, hujar deras, banjir bandang,  tak terkecuali adalah karena kehendak Allah Subhanahu Wata’ala.  Karenanya, menyalahkan turunnya hujan, sama halnya menyalahkan apa yang telah ditakdirkan Allah kepada kita dan alam.
Sungguh tidak layak kita sewot, marah hanya karena pakaian dan baju kita basah akibat siraman air hujan. Tak perlu pula kecewa karena pertemuan kita batal gara-gara hujan. Apalagi sampai keluar umpatan dan cacian gara-gara hujan. Menyalahkan alam sama saja dengan menyalahkan Allah Allah azza wa jalla.
Sikap seorang mukmin dan Muslim atas masalah ini adalah menerima, menikmati dan bersyukur. Adalah Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam  sebaik-baik manusia yang pantas kita tiru akhlaknya. Termasuk bagaimana beliau menghormati datangnya hujan.
Di kala melihat hujan beliau langsung berdoa:  Allahumma Shayyiban Naafi’an (Ya Allah, jadikan hujan ini sebagai hujan yang membawa manfaat dan kebaikan.” (HR. Al-Buhari). 
Rasulullah bahkan mengungkap rahasia,  jika di antaraturunnya hujan, di situ ada letak dan tanda-tanda dikabulkannya sebuah doa (mustajab).
اُطْلُبُوا اسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ ثَلَاثٍ : عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ  وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ ، وَنُزُولِ الْغَيْثِ
 “Carilah pengabulan doa pada saat bertemunya dua pasukan, pada saat iqamah shalat, dan saat turun hujan.” (HR. Al-Hakim).
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Kami pernah kehujanan bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap bajunya hingga terguyur hujan. Kemudian kami mengatakan, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan demikian?” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأَنَّهُ حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ تَعَالَى
“Karena hujan ini baru saja Allah ciptakan.” Begitullah akhlak Nabi ketika turun hujan dari langit.
Soal hujan ini Allah Subhanahu Wata’ala pernah menjanjikan: 
وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُّبَارَكاً فَأَنبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ
وَالنَّخْلَ بَاسِقَاتٍ لَّهَا طَلْعٌ نَّضِيدٌ
رِزْقاً لِّلْعِبَادِ وَأَحْيَيْنَا بِهِ بَلْدَةً مَّيْتاً كَذَلِكَ الْخُرُوجُ
“Dan Kami turunkan dari langit air yang penuh berkah lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam, dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun, untuk menjadi rezeki bagi hamba-hamba (Kami), dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan.” (QS: Qaaf [50]: 9-11)
Dan hujan itu dibutuhkan bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri. (Lihat QS [32]: 27).  
Allah Ta’ala telah mengatakan yang demikian dalam firman-Nya,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الأرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ إِنَّ الَّذِي أَحْيَاهَا لَمُحْيِي الْمَوْتَى إِنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Dan di antara tanda-tanda-Nya (ialah) bahwa kau lihat bumi kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya, Pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fushshilat [41] : 39).  
Lantas bagaimana kita menyikapi hujan yang di sebagian tempat justru membawa musibah? Nah, jika soal ini, bukan Allah nya yang keliru, tapi manusialah yang bersalah. 
Allah telah menurunkan penjelasannya dalam al-Quran bagaimana seharusnya kita memperlakukan alam dan seisinya dengan baik. Faktanya, kita (manusia) yang mengingkarinya. Kita salah mengelolanya dengan baik dan benar. 
Realitas menunjukkan, para penguasa memotong pohon dan menghabiskan lahan-lahan resapan air, membangun bangunan-bangunan yang tidak memperhatikan dampaknya pada lingkungan. Para penguasa memberinya ijin serampangan tanpa memikirkan akibat dari kebijakan yang dikeluarkannya, dan juga masyarakat yang membuang sampah seenaknya ke sungai-sungai dan saluran air. 
Sebuah contoh kecil, negeri-negeri yang saat ini memimpin dunia dengan teknologi, ekonomi, politik dan militernya rata-rata berada di belahan bumi utara, negeri subtropis. Jarang mendapat sinar matahari sebanyak yang kita punya, malam dan siang mereka sering tidak seimbang.
Negeri lain di Afrika yang berada sama dengan kita di jalur katulistiwa, mereka rata-rata sangat sedikit menerima hujan, sehingga sedikit pula jenis-jenis tanaman yang tumbuh di negerinya.  Pemandangan ini berbeda dengan di tempat kita, di mana curah hujan dan keaneka ragaman hayatinya  luar biasa dikaruniakan Allah. Tapi apa yangterjadi? Kita salah mengelolanya.
Karunia ini tidak kita syukuri dan kita kelola dengan benar. 
Di negeri yang siang dan malamnya seimbang ini, musim kering dan musim hujannya-pun (dulunya) seimbang –  kita malah tidak bisa mencukupi kebutuhan kita sendiri. Semua kebutuhan justru impor! Dari beras, gandum, susu, daging, telur dan masih banyak lagi.
Hujan yang harusnya jadi anugrah para petani dan menghidupkan semua jenis tumbuh-tumbuhan untuk kebutuhan kita, justru menjadi mala petaka dan musibah.
Allah ta’ala telah berfirman, artinya:
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS: as-Syura (42): 30)
Ummu Salamah ra menceritakan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Jika timbul maksiat pada umatku, maka Allah akan menyebarkan adzab kepada mereka. Aku (Ummu Salamah) berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah tidak ada waktu itu orang-orang shaleh?” Beliau menjawab, “Ada.” Aku bertanya lagi, “Apa yang Allah akan perbuat kepada mereka?”
Beliau menjawab, “Allah akan menimpakan kepada mereka adzab sebagaimana ditimpakan kepada orang-orang yang melakukan maksiat, kemudian mereka akan mendapatkan ampunan dan keridhaan dari Rabb-nya.” (HR Ahmad).*/Abdullah/Republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar