Sabtu, 26 Oktober 2013

KEANEKARAGAMAN HAYATI: SEJARAH DAN POLA DISTRIBUSI


Hubungan Geologi dan Ekologi Terhadap  Keanekaragaman hayati
Daratan dan lautan Indonesia membentuk kekayaan tumbuhan dan hewan yang paling beragam di dunia.  Iklim tropis, posisi geografi yang melingkar di antara Asia dan Australia telah menghasilkan area flora dan fauna yang tidak dapat dibandingkan.  Di kepulauan Indonesia terdapat lebih dari 1.500 spesies burung, 500-600 jenis mamalia, 8.500 jenis ikan, 40.000 jenis pohon dan sejumlah bentuk-bentuk kehidupan lainnya dalam jumlah yang sangat banyak.
  
      1.  Pengaruh Ukuran Pulau Pada Kekayaan Jenis
Menurut teori biogeografi pulau, jumlah spesies yang tercakup pada pulau yang diberikan akan ditentukan oleh angka imbang antara rata-rata kepunahan lokal dan rata-rata imigrasi.  Pulau yang berukuran 10 kali lebih besar akan mempunyai spesies dua kali lebih banyak.  Pulau-pulau  yang jauh  dari benua akan mempunyai spesies yang lebih sedikit.  Sedangkan pulau besar relatif mempunyai keanekaragaman yang lebih tinggi dibandingkan pulau kecil.  Hal tersebut  dapat dilihat dari kondisi Indonesia.  Pulau-pulau besar seperti Irian dan Kalimantan mempunyai lebih banyak spesies dari  pulau-pulau  kecil.  Sementara pulau-pulau  yang jauh dari benua, seperti Pulau Timor, terbukti kurang kaya akan spesies jika dibandingkan dengan pulau-pulau  yang dekat dengan benua dan jauh dari pusat penyebaran seperti  Pulau Jawa.
Pulau-pulau  dengan hujan musiman atau tanah-tanah yang lebih miskin mempunyai spesies yang lebih kecil dibanding dengan pulau-pulau  subur.  Pengaruh ukuran pulau pada tingkat endemisitas setempat juga sangat tinggi.   Pulau-pulau  besar mempunyai jumlah spesies dengan tingkat endemisitas yang jauh lebih tinggi,  tetapi korelasinya tidak begitu tampak  seperti  halnya pada kekayaan spesies.  Jika korelasi ini dibuat untuk ukuran pulau, maka spesies endemik akan berkorelasi negatif dengan kekayaan spesies dan berkorelasi positif dengan tingkat isolasi.
           Terdapat perbedaan antara tumbuhan dan kelompok hewan dalam tingkat endemisitas: bahwa banyaknya hewan endemik tidak selalu diikuti oleh tingginya tumbuhan endemik, tetapi seringkali tingginya tumbuhan endemik akan diikuti oleh banyaknya jumlah jenis hewan endemik.  Yang  jelas tumbuhan endemik lebih terpengaruh oleh ukuran pulau daripada isolasi geografis.  Sebaliknya endemisitas burung sangat tergantung pada  isolasi geografis.  Pulau-pulau  yang  jauh dan kecil dapat mempunyai tingkat  endemisitas burung  yang  tinggi, dengan tingkat endemik tumbuhannya yang  bisa tergolong rendah. 
      2.  Ketinggian dan habitat
         Faktor ketinggian dan habitat pun memiliki korelasi.  Bertambahnya ketinggian akan berakibat pada berkurangnya kelimpahan spesies.  Perubahan utama komposisi komunitas  secara vertikal tampak nyata.  Pada dataran rendah, komposisi komunitasnya  lebih kompleks dan keanekaragaman hayatinya lebih tinggi jika dibandingkan dengan dataran tinggi.  Alhasil, faktor ketinggian, bersama faktor lain seperti  iklim dan kesuburan tanah, sangat menentukan kekayaan spesies pada  tingkat habitat. Kekayaan invertebrata sangat berkorelasi dengan kekayaan tumbuhan. Kekayaan vertebrata juga sangat  memiliki korelasi dengan  struktur yang kompleks dari hutan, yang  juga berhubungan dengan kesuburan tanah dan kesamaan iklim.  
      3.  Lokasi Geografi
Indonesia mempunyai dua  biogeografi  utama:  Oriental dan Australia, yang diperkenalkan oleh  A.R. Wallacea. Tokoh yang  membuat garis pemisahan fauna.   Selama periode Pleistosen, semua pulau-pulau dihubungkan oleh daratan sampai Asia.  Sedangkan Irian dan Aru berhubungan dengan Australia.   Hal ini terlihat dari hewan-hewan  liar di pulau-pulau  sunda yang berbeda dengan yang ada di Aru dan Irian.  Pulau-pulau  yang berada di antara Paparan Sunda dan Sahul, yakni Maluku, Sulawesi, tidak  mempunyai hubungan daratan dengan benua lainnya.   Area ini merupakan  perpaduan antara biota famili Asia dan Australia.
Kawasan Biogeografi Indonesia

Proses Terbentuknya  Keanekaragaman Hayati  di Pulau-pulau Indonesia
Meletusnya Gunung Krakatau yang begitu hebat pada  tahun 1883 membuat pulau tersebut menjadi sangat terkenal dan sangat penting secara ekologis.  Letusannya yang maha dahsyat itu, tidak saja menyebabkan seluruh vegetasi dan hewan pada permukaan tanah terbakar, tetapi juga hampir dapat dipastikan bahwa seluruh permukaan tanah  menjadi steril.  Kondisi yang semacam ini merupakan kondisi yang ideal untuk melakukan pengamatan bagaimana cara tumbuhan dan hewan berkolonisasi di atas lahan perawan.
Berawal dari kondisi steril setelah meletusnya Gunung Krakatau, Pulau Krakatau mengalami suksesi. Di daerah bekas letusan gunung Krakatau mula-mula muncul pioner berupa lumut kerak (liken) serta tumbuhan lumut yang tahan terhadap penyinaran matahari dan kekeringan.  Tumbuhan pionir tersebut akhirnya melapuk dan membentuk tanah sederhana.  Kondisi tersebut  mengundang pengurai dan membuat tanah menjadi subur.  Dengan kondisi tanah yang telah subur,  biji yang datang dari luar daerah dapat tumbuh dengan subur dan tumbuh rumput yang tahan kekeringan, serta tumbuhan herba pun tumbuh menaungi tanaman pioner.  Kondisi tersebut  membuat tanaman pionir menjadi tidak subur.  Selanjutnya rumput dan belukar mengadakan pelapukan lahan yang kemudian diuraikan oleh jamur.  Proses selanjutnya  semak tumbuh dan menjadi dominan. Kemudian pohon-pohon mulai tumbuh dan  mendesak tumbuhan belukar sehingga akhirnya membentuk  hutan.
Dari proses suksesi tersebut kini, setidaknya terdapat lebih kurang 200 jenis tumbuhan di daerah tersebut.  Jumlah ini serupa dengan jumlah yang  dijumpai pada survei  terdahulu pada  tahun 1934.  Tetapi hal ini tidak menunjukkan suatu keseimbangan statik karena jumlah seluruh jenis yang pernah tercatat di pulau itu pada prinsipnya bertambah.  Artinya, tidak semua jenis yang dijumpai pada masa lampau dijumpai juga pada saat ini atau dengan kata lain terdapat pergantian jenis.  Dari kondisi tersebut telah dihitung bahwa dalam kurun waktu 50 tahun belakangan ini telah muncul jenis-jenis  baru di pulau  tersebut  dengan rata-rata  sebanyak 2,28 sampai 2,60 pertahun.  Secara kasar hal ini berarti suatu jenis baru akan masuk pada setiap dua tahun, atau sama dengan 50 jenis per seratus tahun (1 abad).
Sejarah Keanekaragaman Hayati pada Pulau-pulau  Kecil di Indonesia.
Pulau-pulau  di  Indonesia dapat dibagi menurut sejarah geologinya.  Pertama pulau laut, yaitu pulau yang belum pernah berhubungan dengan daratan lainnya, seperti  Pulau Simuelue, Enggano, Buru, Kai, Tanimbar.   Kedua pulau benua, yaitu pulau yang pada masa lampau, ketika permukaan laut lebih rendah dari sekarang, mempunyai hubungan dengan daratan atau benua lain, seperti  Pulau Nias, Bawean, Natuna, Belitung, Sumba dan Aru.  Di samping itu ada pulau yang lokasinya mengalami perubahan akibat perpindahan paparan benua, seperti  Pulau Sulawesi, yang terdiri dari dua atau tiga bagian dulunya merupakan pulau  tersendiri  yang terpisah-terpisah.   Dengan kondisi tersebut, maka flora dan fauna sulawesi  merupakan campuran dari flora dan fauna dari tiga pulau yang berlainan tersebut.
Besarnya tubuh hewan juga sering mengalami perubahan tergantung sejarah pulau.  Komodo di Pulau Komodo, misalnya.   Pertumbuhan jenis ini dimungkinkan akibat ketiadaan hewan besar lainnya di pulau itu.  Sebaliknya,  jenis hewan berukuran kerdil juga  dijumpai di pulau-pulau. Untuk menambah jumlah individu dalam populasi, memperkecil tubuh  dianggap lebih menguntungkan.  Sumber makanan yang  terbatas jumlahnya pun jelas akan mendukung lebih banyak hewan kecil daripada hewan besar.  Dengan dasar ini maka dampak penyakit atau kejadian lain yang  merugikan jenis menjadi kurang penting bila jumlah individu lebih besar dengan variasi plasma nutfah yang jauh lebih besar pula.
Sebagai kaidah umum, hewan kecil yang  sampai di pulau biasanya membesar, hewan besar yang sampai di pulau justru mengecil.  Akan tetapi pola ini tidak selalu demikian lantaran adanya faktor-faktor ekologis lainnya.  Misalnya, individu-individu dewasa yang  paling kecil dari bajing garis putih, (yang terdapat di Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan dan Sulawesi  Utara) juga dijumpai di pulau-pulau  yang terkecil.  Makin besar pulau, makin besar ukuran bajing tersebut.  Individu terbesar dijumpai pada Pulau Penyilir (seluas 280 Km²) dan Pulau Rupat (1.360 km²) di Riau.
Pola Distribusi Keanekaragaman Hayati  
Hampir pada semua kelompok organisme, keanekaragaman spesies  meningkat  jika  mendekati  daerah tropik.  Contohnya Kenya memiliki 308 spesies mamalia, sedangkan Prancis hanya 113 spesies, walaupun kedua negara kurang lebih memiliki luas yang sama.  Kontrasnya semakin terlihat untuk  pohon dan tumbuhan berbunga:  satu hektar di Amazon atau dataran rendah Malaysia memiliki lebih dari 200 spesies, sedangkan pada hutan dengan luas yang sama di Eropa atau Amerika Serikat, mungkin hanya dapat ditemukan tidak lebih dari 30 spesies per hektar.  Keanekaragaman hayati terbesar di temukan di daerah tropik.  Walaupun daerah tropik hanya mencakup 7% dari luas bumi, tapi lebih dari separuh spesies dunia dapat ditemukan disini.
Faktor sejarah juga penting dalam menentukan pola keanekaragaman  spesies.  Wilayah yang lebih tua memiliki lebih banyak keanekaragaman dari pada wilayah yang lebih muda.  Wilayah yang lebih tua memiliki banyak waktu menerima spesies yang  tersebar dari bagian lain dunia dan lebih banyak waktu bagi spesies yang ada untuk menjalani radiasi adaptif pada kondisi lokal.  Pola kekakayaan juga dipengaruhi oleh variasi lokal seperti  topografi, iklim dan lingkungan.  Pada komunitas darat, kekayaan spesies cenderung meningkat pada daerah yang lebih rendah, radiasi matahari yang lebih banyak, dan juga curah hujan.
(Dari Berbagai Sumber).
Bahan bacaan utama: Meletarikan Alam Indonesia, Jatna Supriatna 2008.
Pertemuan kedua, Kuliah Keanekaragaman Hayati.

2 komentar:

  1. Terimakasih paparannya...
    Sangat mencerdasakan dan mencerahkan tentang materi biogeografi...

    BalasHapus