Selasa, 21 Agustus 2012

PARA WISATAWAN DARI UTARA

Juga kaum burung mempunyai wisatawan yang tidak kalah jiwa petualangannya dengan kaum pelancong masyarakat.  Hanya bedanya, kalau kaum pelancong kita kebanyakan berasal dari eropa barat, Jerman Timur, Amerika Utara,  dan Afrika Selatan, maka turis kaum burung yang menegok  negeri kita hanya dari tetangga dekat saja: Jepang Er-erce, Mongolia, Siberia.
Sebagai penghuni daerah dingin itu, pada suatu waktu mereka tidak betah lagi menderita kedinginan di kampung halaman yang mulai tandus pada musim gugur dan tandus seratus persen pada musim salju.  Dan karena mereka mempunyai sayap, yaaah, apa salahnya melawat ke negeri subur makmur sebelah selatan.  Bukankah menurut berita di koran ibukota masuk desa, negeri itu selalu hangat sepanjang tahun?
Syahdan, pada bulan antara September dan April tahun berikutnya, pulau kelapa kita sibuk menerima pelancong  yang sudah mulai mengambil cuti tahunan itu.  Kalau sudah tiba di negeri ‘elok dan indah permai’ kita, maka jarak yang mereka tempuh sudah beribu-ribu kilometer jauhnya, sampai ada di antara mereka yang tinggal mengantuk-mengantuk dulu, nongkrong kecapaian,  bertualang dirantau orang.
Singing in the rain
Turis berbulu yang paling sering kita jumpai ialah para serwiti, Hirundo rustica gutturalis, dari keluarga baik-baik Hirundinidae, Ordo Passeriformes.  Sebetulnya mereka sudah lebih dulu (sejak akhir bulan Agustus) dapat kita jumpai duduk berderet di atas kawat telegrap dan telepon, di tepi jalan kereta rel (dulu, kereta ini disebut kereta api, karena dijalankan dengan air rebus).

Burung ini mungkin melihat-lihat suasana dulu.  Bukankah seharusnya ia sudah dijemput oleh Panitia Penjemputan yang anggotanya terdiri dari handai taulan dan sanak saudaranya sendiri? seperti burung kapinis, Hirundo tahitica javanica, misalnya? Atau burung kapinis rumah Hirundo striolata striolata, yang semuanya sudah lama menetap di pulau kelapa sebagai warga negara asli keturunan asing?
Barangkali anda juga sudah pernah menjumpai para serwiti ini.  Selalu licin dan rapi, jasnya.  Kemejanya putih dan jasnya hitam panjang, dengan ujung runcing seperti black and white tukang sulap, yang dibelah bagian bawahnya.
Karena datang pada musim hujan, mereka malah senang berhujan-hujanan.  Bagi mereka masih tetap hangat saja, air hujan itu.  Sawah yang mulai digarap, sungai yang mengalir lincah, dan rawa yang hangat suasananya, semuanya merupakan obyek perpelancongan yang menarik.  Tetapi semuanya itu dinikmatinya dengan mata keker sambil nongkrong di atas kawat telegrap dan telepon.
Baru setelah cukup lama melepaskan lelah, kemudian terbang leha-leha, dan menemukan danau yang airnya berlimpah-limpah, ia tidak mau nongkrong lagi, tetapi aktif ikut berolahraga dengan para pemuda burung penggemar sport air.  Di atas danau semacam itulah ia menukik, menanjak, menyikat, dan menanjak lagi, ah semua gaya terbang agaknya hendak dipamerkan kepada para wisatawan berbulu yang lain. Dan mandi pun ia tak kalah gayanya dengan para puteri mandi kita.  Mula-mula terbang menyusuri permukaan air dulu, kemudian menghempaskan seluruh tubuhnya ke dalam air, untuk diam sejenak.  Tetapi sekejap kemudian sudah menanjak lagi, sambil kirik- kirik mengibaskan bulunya yang basah. 
“Wit, wit!’ teriaknya girang, berjumpa dengan turis lain yang sudah mandi juga.
Bumbu pecel lali putu
Turis lain yang datang sesudah para serwiti, ialah burung hahayaman atau ayam-ayaman.  Ia disebut begitu, karena besarnya memang seperti ayam kampung.  Hanya kakinya saja yang lebih panjang.  Bulunya bergaris-garis coklat muda dan tua, sedang paruhnya kuning.
Ia tidak jauh asalnya.  Hanya dari Negeri Siam saja, RRC, Jepang atau paling-paling juga dari daerah pegunungan Himalaya sebelah sini.
Sebagai Gallicrex cinerea, dari famili Rallidae, ordo Gruiformes, ia masih berkerabat dengan terkuwak, Amaurornis phoenicurus, kareo, roa-roa, keruak, atau nama lain yang kedengarannya kurang lebih begitu juga.
Kalau Anda suka menembak burung, cobalah ikut menyambut hahayaman itu, yang mula-mula menyerbu daerah rawa pantai Utara Pulau Jawa kita pada bulan September-Oktober.  Para petani dan nelayan tepi rawa juga sudah biasa menangkapi mereka beramai-ramai, antara bulan itu sampai April tahun berikutnya.  Karena terdapatnya secara massal, maka harga ayam-ayaman itupun lebih murah (sedikit).
Sudah tentu, kehadiran mereka di suatu tempat hanya sebentar saja, kalau daerah itu dirasa tidak aman.  Mereka sudah meninggalkan negeri ‘elok nan indah permai’ kita lagi, setelah suasananya tidak elok.
Dalam Undang-undang Pemburuan Jawa dan Madura 1940, hahayaman ini dimasukkan ke dalam kelompok binatang liar yang berpindah-pindah.  Ia boleh diburu, kalau kita mempunyai akta (atau izin) Pemburuan B, dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan (diperoleh dengan biaya tertentu, melalui Dinas Perlindungan dan Pengawetan Alam setempat).  Akta pemburuan B ini  memberi hak berburu”binatang liar yang berpindah-pindah” dan “binatang liar kecil” dengan senjata api, mulai dari 1 Juli sesuatu tahun sampai dengan 30 juni tahun berikutnya.  Diharap jangan lupa mengembalikan akta itu dalam tempo 14 hari setelah waktu berlakunya berakhir.
Undang-undang ini memang menganggap kita baik-baik semua, dan semua juga akan jujur mengembalikan surat izin yang sudah tak berlaku lagi itu, kepada petugas pemerintah yang berwenang memberinya tempo hari.
Ukuran burung ayam-ayaman lumayan sekali untuk ditembak. Kemudian dipanggang dengan bumbu pecel lali putu.  Saking enaknya, sampai kita lupa pada anak cucu sebentar.
Anaknya yang dimakan
Burung itu bermigrasi dari tempat asalnya selalu berpasangan.  Diduga mereka hanya terbang kalau terpaksa melintasi laut saja, sedang begitu mereka tiba di daratan, mereka berjalan kaki, selama belum menemukan tempat menetap yang cocok.
Tempat yang paling mereka sukai ialah rawa yang tepiannya ditumbuhi tanaman air, pemberi perlindungan yang aman terhadap serangan musuh.  Tiap pasangan hahayaman menghendaki sepotong perairan teritorial kecil di depan rumahnya, dan tidak rela kalau wilayah kekuasaannya dilanggar perbatasannya oleh burung ayam-ayaman lain.
Kadang-kadang timbul perkelahian juga antara burung jantan yang ‘sok’ dari wilayah lain, yang datang menjenguk untuk mengoda pasangan yang belum dinyek! Hasil dari perkelahian itu selalu berupa pengusiran kembali penggoda rumah tangga yang kurangajar itu.  Sebab, istri hahayaman yang setia pada suaminya selalu membantu mengusir burung tukang ngenyek itu.
Kalau tidak ada aral yang melintang (atau pemburu yang menerjang), mereka berhasil menyusun sarang di atas semak belukar tanaman rawa tepi air, yang mengelantung daunnya di atas permukaan.  Sebagai bahan bangunan, mereka menggunakan potongan kayu, ranting, dan dahan yang mengapung.  Baik yang jantan maupun betina sama-sama sibuk, meskipun hasil karyanya hanya sarang kasar dan ceroboh saja.
Keluarga ayam-ayaman selalu mengasyikkan untuk diamati gerak-geriknya.  Anak mereka berenang di samping dan di belakang orang tuanya.  Kadang-kadang melotot, melihat serangga atau cacing yang ditangkap oleh salah satu ayam tuannya.  Setelah beberapa hari, mereka sudah mampu mencari makanan sendiri, meskipun induknya masih tut wuri handayani terus, dengan teriakan peringatan, dorongan pengarahan, dan perlindungan kalau ada bahaya.
Setelah beberapa minggu, anak-anak itu sudah dapat mencari keselamatan sendiri, sehingga induknya dapat bersiap-siap untuk menetaskan telur dan mengasuh anak lagi angkatan kedua.
Kalau adik-adiknya ini juga sudah lahir dan mulai berenang di atas permukaan air, maka kakak-kakaknya menyambut adik ini dengan penuh perhatian dan kasih sayang yang sama seperti induk mereka memperlakukan mereka dulu.  Menunjuk  jalan yang sama, misalnya, mencari makanan, atau menaruh hasil tangkapan di depan adik-adik manis itu.
Untuk menjaga kelestarian jenisnya, sebenarnya cara kita menangkapi mereka dari alam liar itu kurang cerdik.  Mestinya, rawa yang pada musim labuh diserbu burung migran itu kita pakai untuk menampung mereka.  Tidak untuk membiarkan mereka ditembak mati atau dipanggang bumbu pecel, tetapi diternakkan agar menghasilkan telur dan anak dulu.  Kemudian anak hasil perkawinan merekalah yang kita manfaatkan sebagai bahan makanan.  Persis seperti kambing yang diternakkan saja, yang bukan induknya yang kita makan, tetapi anaknya. 
Ramai-ramai
Wisatawan berbulu yang agak cerewet juga ada.  Yaitu sitilil atau trinil, yang di Kalimantan dikenal sebagai kedidi.  Sebagai Tringa hypoleucos, dari  familia Scolopacidae, Ordo Charadriiformes (burung-burungan), ia memang bukan kerabat burung ayam-ayaman, tetapi kehadirannya di Indonesia kebetulan sama-sama semusim.
Kaum trinil ini lebih kecil perawakannya daripada ayam-ayaman.  Cobalah anda jalan-jalan dekat sawah antara bulan Pebruari dan April, kalau padi sudah lumayan besarnya.  Nanti ‘kan tiba-tiba saja mereka keluar dari rumpun padi sambil membentak-bentak:”Ti-ti-ti-ti-ti-ti-ti”.
Ternyata memang luar biasa paruh yang dipakai untuk itu! Pantas saja, begitu nyaring!
Tetapi kalau anda berhasil mengintip tanpa mereka ketahui, Anda akan melihat gaya tariannya juga, kalau sedang mencari makan (cacing dan larva serangga) di lumpur sawah daerah tepian.  Tiap kali ia melangkah maju, menusukkan paruh “tusuk satenya”, pinggulnya digoyang-goyangkan.  Bukan ke kiri dan ke kanan, tapi ke atas dan ke bawah.  Wah! Sepintas lalu memang seperti tarian ndangdut yang syur.
Tetapi di duga, bahwa dengan gerakan itu, sebetunya ia ingin merasakan lembek kerasnya tanah becek yang diinjaknya.  Yang terasa keras, kalau diinjak dengan tekanan tubuh (dan pinggulnya),  tidak akan ditusuk, tentunya.
Kalau sudah mengancik ke bulan Mei, kembalilah mereka ke daerah asalnya lagi, di belahan bumi bagian utara, karena disana sudah mulai menanti musim semi yang kepenak lagi.
Tetapi wisatawan yang lebih panjang lagi paruhnya ialah para blekek, Gallinago (ata Capella), Stenura, yang bukan blekok, Ardeola speciosa.  Jauh-jauh datang dari Siberia-nya kaum komunis rusia, (konon kabarnya disana mereka hidup susah dan lapar terus di musim dingin itu), para blekek ini kerjanya hanya makan melulu, setibanya di “negeri elok nan indah permai” kita.  Ajimumpung!
Berbondong-bondong mereka menyerbu daerah persawahan kita yang sudah berair, sampai para pemburu burung senang sekali menembaknya.  Tetapi biasanya, burung itu segera juga bertiarap, di antara semak belukar dan rumput-rumputan, dan diam sediam-diamnya sampai musuh sudah lewat.  Karena mahirnya bertiarap ini, mata pemburu biasanya dapat dikelabui terang-terangan.
Begitu musuh itu pergi, dengan segera pula ada bunyi “nyet”....dan turis berbulu dari siberia itu sudah meloncat untuk terbang zig-zag, meninggalkan pemburu yang terkejut melongo (biasanya).  Kok ada, ya, burung yang pamit dengan bahasa rusia. (Slamet Soeseno).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar