"Cepat
kembalikan nak! Kita memang miskin. Tapi kemiskinan bukan alasan kita untuk
mencuri", perintah si ayah.
"Tapi
yah. Keluarga si Fulan bin Fulan sudah pergi. Mereka tidak lagi bersatu. Tak
mampu lagi sekedar membayar iuran sekolah!", rengek si anak.
"Pegang
kata-kataku nak. Sebagai ayah, kalian tidak akan pernah ayah
terlantarkan", tegas si ayah sembari memeluk anaknya yang masih kelas 4
SD.
Di
rumah. Istrinya menangis. Tak bisa berbuat apa-apa. Saat pegawai PLN mencabut
aliran listrik.
"Tuan.
Tolong saya. Ada 3 anak kecil-kecil. Musim salju tak mungkin kami bisa bertahan
tanpa listrik dan pemanas. Tolong Tuan ...", perih si ibu. Tangan kanan
menggendong putrinya yang masih 8 bulan. Tangan kirinya mengapit putrinya umur
4 tahun.
"Maaf
bu. Jika kami tidak mencabut listrik ibu. Saya yang dipecat. Tolong. Sudah 4
bulan saya kasih waktu. Saya pun punya 2 anak kecil-kecil di rumah...."
4
hari berlalu. Anak yang kedua panas. Sang ayah yang bekerja serabutan di
pelabuhan, tak kuasa berbuat apapun. Melihat anaknya sakit, sang ibu menitipkan
anak-anaknya kepada bibi dan pamannya di kota. Secara ekonomi mereka lebih
beruntung.
Sang
istri, sudah berkali-kali minta izin. Tapi selalu ditolak dan tidak
diperkenankan. Ketika si ayah pulang, nampak rumah sepi. Ia murka.
"Mengapa dirimu berani menitipkan anak-anak tanpa seizinku?"
"Kamu
tidak tahu pah! Anak kedua sakit panas. Tak ada makanan. Suhu udara membeku.
Aku tak tega pah...!"
"Tidaaaak!
Aku punya harga diri!" Si ayah keluar. Ternyata ia menjual barang-barang
tersisa ke tempat rongsokan. Ia gunakan untuk mengunjungi relasi. Ia dulu
dikenal sebagai petinju amatir. Lalu ia keluhkesahkan kondisinya saat ini.
Berharap derma dan belas kasihan. Dengan topi lusuhya, ia menerima sumbangan
teman-temannya. Terkumpul 43 dollar 25 sen.
Hasilnya cukup untuk membayar tagihan listrik. Ia pun menarik pulang anak-anaknya.
Hasilnya cukup untuk membayar tagihan listrik. Ia pun menarik pulang anak-anaknya.
Di
tengah badai salju. Si ayah terus memutar otak. Apa yang bisa dilakukan untuk
meningkatkan taraf hidup keluarganya. Kala itu, 1908, AS krisis moneter.
Pilihannya kembali ke ring tinju. Singkat cerita, ia sukses mengalahkan 5
lawannya dengan TKO. Bahkan di puncak pertandingan yang disiarkan NBC, ia
berhasil mengalahkan si Destroyer! Sang juara bertahan.
Kisah
nyata di atas sungguh menginspirasi. Sebuah keluarga yang normal, adalah ketika
Ayah memosisikan diri sebagai tulang punggung keluarga. Berjibaku dalam peluh.
Tak kenal keluh. Apapun cara halal ditempuh. Demi mengantarkan anggota keluarga
meraih cita-cita yang harus ditempuh.
Kisah
di atas bukan kisah keluarga Muslim. Tapi sang suami berprinsip, posisi istri
adalah ribbatul bait (mengurus rumah dan anak-anak). Sesekali membantu,
insyaALlah jadi shadaqah. Sang suami teguh dalam prinsip. Masalah apapun yang
dihadapi. Keluarga besar dari kedua belah pihak tidak boleh ikut campur.
Pun
demikian. Sesusah apapun, ayah dan ibu di atas selalu menekankan karakter
positif. Tidak mencuri. Tidak menghinakan diri. Tidak tergerus gaya hidup yang
justru mencedrai kearifan universal.
So.
Bagaimana dengan keluarga aktivis dakwah? Masihkan galau menggali potensi diri,
yang bisa jadi Allah bukakan pintu rezeki berlimpah setelah Allah uji dengan
kondisi susah payah hingga seluruh barang yang ada dijual murah? Allah tidak
akan membebani, jika kita tidak mampu. Tugas kita hanya mengokohkan bahu!
(Nandang
Burhanudin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar