Juga kaum burung mempunyai wisatawan yang tidak
kalah jiwa petualangannya dengan kaum pelancong masyarakat. Hanya bedanya, kalau kaum pelancong kita
kebanyakan berasal dari eropa barat, Jerman Timur, Amerika Utara, dan Afrika Selatan, maka turis kaum burung
yang menegok negeri kita hanya dari
tetangga dekat saja: Jepang Er-erce, Mongolia, Siberia.
Sebagai penghuni daerah dingin itu, pada suatu waktu mereka tidak
betah lagi menderita kedinginan di kampung halaman yang mulai tandus pada musim
gugur dan tandus seratus persen pada musim salju. Dan karena mereka mempunyai sayap, yaaah, apa
salahnya melawat ke negeri subur makmur sebelah selatan. Bukankah menurut berita di koran ibukota
masuk desa, negeri itu selalu hangat sepanjang tahun?
Syahdan, pada bulan antara September dan April
tahun berikutnya, pulau kelapa kita sibuk menerima pelancong yang sudah mulai mengambil cuti tahunan
itu. Kalau sudah tiba di negeri ‘elok
dan indah permai’ kita, maka jarak yang mereka tempuh sudah beribu-ribu
kilometer jauhnya, sampai ada di antara mereka yang tinggal mengantuk-mengantuk
dulu, nongkrong kecapaian, bertualang
dirantau orang.
Singing in the rain
Turis berbulu yang paling sering kita jumpai ialah
para serwiti, Hirundo rustica gutturalis,
dari keluarga baik-baik Hirundinidae, Ordo Passeriformes. Sebetulnya mereka sudah lebih dulu (sejak
akhir bulan Agustus) dapat kita jumpai duduk berderet di atas kawat telegrap
dan telepon, di tepi jalan kereta rel (dulu, kereta ini disebut kereta api, karena
dijalankan dengan air rebus).
Burung ini mungkin melihat-lihat suasana dulu. Bukankah seharusnya ia sudah dijemput oleh
Panitia Penjemputan yang anggotanya terdiri dari handai taulan dan sanak
saudaranya sendiri? seperti burung kapinis, Hirundo
tahitica javanica, misalnya? Atau burung kapinis rumah Hirundo striolata striolata, yang semuanya sudah lama menetap di
pulau kelapa sebagai warga negara asli keturunan asing?
Barangkali anda juga sudah pernah menjumpai para
serwiti ini. Selalu licin dan rapi,
jasnya. Kemejanya putih dan jasnya hitam
panjang, dengan ujung runcing seperti black and white tukang sulap, yang
dibelah bagian bawahnya.
Karena datang pada musim hujan, mereka malah senang
berhujan-hujanan. Bagi mereka masih
tetap hangat saja, air hujan itu. Sawah
yang mulai digarap, sungai yang mengalir lincah, dan rawa yang hangat
suasananya, semuanya merupakan obyek perpelancongan yang menarik. Tetapi semuanya itu dinikmatinya dengan mata
keker sambil nongkrong di atas kawat telegrap dan telepon.
Baru setelah cukup lama melepaskan lelah, kemudian
terbang leha-leha, dan menemukan danau yang airnya berlimpah-limpah, ia tidak
mau nongkrong lagi, tetapi aktif ikut berolahraga dengan para pemuda burung
penggemar sport air. Di atas danau
semacam itulah ia menukik, menanjak, menyikat, dan menanjak lagi, ah semua gaya
terbang agaknya hendak dipamerkan kepada para wisatawan berbulu yang lain. Dan
mandi pun ia tak kalah gayanya dengan para puteri mandi kita. Mula-mula terbang menyusuri permukaan air
dulu, kemudian menghempaskan seluruh tubuhnya ke dalam air, untuk diam
sejenak. Tetapi sekejap kemudian sudah
menanjak lagi, sambil kirik- kirik mengibaskan bulunya yang basah.
“Wit, wit!’ teriaknya girang, berjumpa dengan turis lain yang sudah
mandi juga.
Bumbu pecel lali putu
Turis lain yang datang sesudah para serwiti, ialah
burung hahayaman atau ayam-ayaman. Ia
disebut begitu, karena besarnya memang seperti ayam kampung. Hanya kakinya saja yang lebih panjang. Bulunya bergaris-garis coklat muda dan tua, sedang
paruhnya kuning.
Ia tidak jauh asalnya. Hanya
dari Negeri Siam saja, RRC, Jepang atau paling-paling juga dari daerah
pegunungan Himalaya sebelah sini.
Sebagai Gallicrex
cinerea, dari famili Rallidae, ordo Gruiformes, ia masih berkerabat dengan
terkuwak, Amaurornis phoenicurus,
kareo, roa-roa, keruak, atau nama lain yang kedengarannya kurang lebih begitu
juga.
Kalau Anda suka menembak burung, cobalah ikut
menyambut hahayaman itu, yang mula-mula menyerbu daerah rawa pantai Utara Pulau
Jawa kita pada bulan September-Oktober.
Para petani dan nelayan tepi rawa juga sudah biasa menangkapi mereka
beramai-ramai, antara bulan itu sampai April tahun berikutnya. Karena terdapatnya secara massal, maka harga
ayam-ayaman itupun lebih murah (sedikit).
Sudah tentu, kehadiran mereka di suatu tempat hanya
sebentar saja, kalau daerah itu dirasa tidak aman. Mereka sudah meninggalkan negeri ‘elok nan
indah permai’ kita lagi, setelah suasananya tidak elok.
Dalam Undang-undang Pemburuan Jawa dan Madura 1940,
hahayaman ini dimasukkan ke dalam kelompok binatang liar yang
berpindah-pindah. Ia boleh diburu, kalau
kita mempunyai akta (atau izin) Pemburuan B, dari Pemerintah Daerah yang
bersangkutan (diperoleh dengan biaya tertentu, melalui Dinas Perlindungan dan
Pengawetan Alam setempat). Akta
pemburuan B ini memberi hak
berburu”binatang liar yang berpindah-pindah” dan “binatang liar kecil” dengan
senjata api, mulai dari 1 Juli sesuatu tahun sampai dengan 30 juni tahun
berikutnya. Diharap jangan lupa
mengembalikan akta itu dalam tempo 14 hari setelah waktu berlakunya berakhir.
Undang-undang ini memang menganggap kita baik-baik
semua, dan semua juga akan jujur mengembalikan surat izin yang sudah tak
berlaku lagi itu, kepada petugas pemerintah yang berwenang memberinya tempo hari.
Ukuran burung ayam-ayaman lumayan sekali untuk
ditembak. Kemudian dipanggang dengan bumbu pecel lali putu. Saking enaknya, sampai kita lupa pada anak
cucu sebentar.
Anaknya yang dimakan
Burung itu bermigrasi dari tempat asalnya selalu
berpasangan. Diduga mereka hanya terbang
kalau terpaksa melintasi laut saja, sedang begitu mereka tiba di daratan,
mereka berjalan kaki, selama belum menemukan tempat menetap yang cocok.
Tempat yang paling mereka sukai ialah rawa yang
tepiannya ditumbuhi tanaman air, pemberi perlindungan yang aman terhadap
serangan musuh. Tiap pasangan hahayaman
menghendaki sepotong perairan teritorial kecil di depan rumahnya, dan tidak
rela kalau wilayah kekuasaannya dilanggar perbatasannya oleh burung ayam-ayaman
lain.
Kadang-kadang timbul perkelahian juga antara burung
jantan yang ‘sok’ dari wilayah lain, yang datang menjenguk untuk mengoda
pasangan yang belum dinyek! Hasil dari perkelahian itu selalu berupa pengusiran
kembali penggoda rumah tangga yang kurangajar itu. Sebab, istri hahayaman yang setia pada
suaminya selalu membantu mengusir burung tukang ngenyek itu.
Kalau tidak ada aral yang melintang (atau pemburu
yang menerjang), mereka berhasil menyusun sarang di atas semak belukar tanaman
rawa tepi air, yang mengelantung daunnya di atas permukaan. Sebagai bahan bangunan, mereka menggunakan
potongan kayu, ranting, dan dahan yang mengapung. Baik yang jantan maupun betina sama-sama
sibuk, meskipun hasil karyanya hanya sarang kasar dan ceroboh saja.
Keluarga ayam-ayaman selalu mengasyikkan untuk
diamati gerak-geriknya. Anak mereka
berenang di samping dan di belakang orang tuanya. Kadang-kadang melotot, melihat serangga atau
cacing yang ditangkap oleh salah satu ayam tuannya. Setelah beberapa hari, mereka sudah mampu
mencari makanan sendiri, meskipun induknya masih tut wuri handayani terus,
dengan teriakan peringatan, dorongan pengarahan, dan perlindungan kalau ada
bahaya.
Setelah beberapa minggu, anak-anak itu sudah dapat
mencari keselamatan sendiri, sehingga induknya dapat bersiap-siap untuk
menetaskan telur dan mengasuh anak lagi angkatan kedua.
Kalau adik-adiknya ini juga sudah lahir dan mulai
berenang di atas permukaan air, maka kakak-kakaknya menyambut adik ini dengan
penuh perhatian dan kasih sayang yang sama seperti induk mereka memperlakukan
mereka dulu. Menunjuk jalan yang sama, misalnya, mencari makanan,
atau menaruh hasil tangkapan di depan adik-adik manis itu.
Untuk menjaga kelestarian jenisnya, sebenarnya cara
kita menangkapi mereka dari alam liar itu kurang cerdik. Mestinya, rawa yang pada musim labuh diserbu
burung migran itu kita pakai untuk menampung mereka. Tidak untuk membiarkan mereka ditembak mati
atau dipanggang bumbu pecel, tetapi diternakkan agar menghasilkan telur dan
anak dulu. Kemudian anak hasil perkawinan
merekalah yang kita manfaatkan sebagai bahan makanan. Persis seperti kambing yang diternakkan saja,
yang bukan induknya yang kita makan, tetapi anaknya.
Ramai-ramai
Wisatawan berbulu yang agak cerewet juga ada. Yaitu sitilil atau trinil, yang di Kalimantan
dikenal sebagai kedidi. Sebagai Tringa hypoleucos, dari familia Scolopacidae, Ordo Charadriiformes
(burung-burungan), ia memang bukan kerabat burung ayam-ayaman, tetapi
kehadirannya di Indonesia kebetulan sama-sama semusim.
Kaum trinil ini lebih kecil perawakannya daripada
ayam-ayaman. Cobalah anda jalan-jalan
dekat sawah antara bulan Pebruari dan April, kalau padi sudah lumayan
besarnya. Nanti ‘kan tiba-tiba saja
mereka keluar dari rumpun padi sambil membentak-bentak:”Ti-ti-ti-ti-ti-ti-ti”.
Ternyata memang luar biasa paruh yang dipakai untuk itu! Pantas saja,
begitu nyaring!
Tetapi kalau anda berhasil mengintip tanpa mereka
ketahui, Anda akan melihat gaya tariannya juga, kalau sedang mencari makan
(cacing dan larva serangga) di lumpur sawah daerah tepian. Tiap kali ia melangkah maju, menusukkan paruh
“tusuk satenya”, pinggulnya digoyang-goyangkan.
Bukan ke kiri dan ke kanan, tapi ke atas dan ke bawah. Wah! Sepintas lalu memang seperti tarian
ndangdut yang syur.
Tetapi di duga, bahwa dengan gerakan itu, sebetunya
ia ingin merasakan lembek kerasnya tanah becek yang diinjaknya. Yang terasa keras, kalau diinjak dengan
tekanan tubuh (dan pinggulnya), tidak
akan ditusuk, tentunya.
Kalau sudah mengancik ke bulan Mei, kembalilah
mereka ke daerah asalnya lagi, di belahan bumi bagian utara, karena disana
sudah mulai menanti musim semi yang kepenak lagi.
Tetapi wisatawan yang lebih panjang lagi paruhnya
ialah para blekek, Gallinago (ata Capella), Stenura, yang bukan blekok, Ardeola speciosa. Jauh-jauh datang dari Siberia-nya kaum
komunis rusia, (konon kabarnya disana mereka hidup susah dan lapar terus di
musim dingin itu), para blekek ini kerjanya hanya makan melulu, setibanya di
“negeri elok nan indah permai” kita.
Ajimumpung!
Berbondong-bondong mereka menyerbu daerah
persawahan kita yang sudah berair, sampai para pemburu burung senang sekali
menembaknya. Tetapi biasanya, burung itu
segera juga bertiarap, di antara semak belukar dan rumput-rumputan, dan diam
sediam-diamnya sampai musuh sudah lewat.
Karena mahirnya bertiarap ini, mata pemburu biasanya dapat dikelabui
terang-terangan.
Begitu musuh itu pergi, dengan segera pula ada
bunyi “nyet”....dan turis berbulu dari siberia itu sudah meloncat untuk terbang
zig-zag, meninggalkan pemburu yang terkejut melongo (biasanya). Kok ada, ya, burung yang pamit dengan bahasa
rusia. (Slamet Soeseno).