A. Permasalahan dalam Pengurusan Hutan
Dari berbagai isu-isu penting dalam
pengurusan hutan di Indonesia, pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam dua
kelompok permasalahan, yaitu:
1.
Kelompok
permasalahan yang bersifat mendasar dan berhubungan dengan peraturan
perundangan serta sistem pengurusan hutan yang seyogyanya dikembangkan di Indonesia.
2.
Kelompok
permasalahan yang lebih bersifat kasuistik (kasus-kasus) yang keberadaannya
sangat berhubungan dengan dimensi tempat dan waktu. Kelompok permasalahan ini dalam penyelesaiannya
berhubungan dengan prioritas penanganan dalam rangka pengurusan hutan di Indonesia.
Termasuk ke dalam kelompok permasalahan
pertama adalah beberapa permasalahan mendasar sebagai berikut:
a.
Adanya
rasa ketidakadilan dikalangan masyarakat, baik yang berkenaan dengan distribusi
(penyebaran) manfaat yang diperoleh dari sumberdaya hutan maupun dalam hal hak
dan kewenangan untuk terlibat secara lansgung, sebagai pelaku, dalam
pengelolaan hutan.
b.
Pendekatan
pengurusan hutan yang terlalu tertumpu pada manfaat ekonomis sumberdaya hutan
yang bersifat sempit dan sesaat, sebagai akibat dari kebijakan pembangunan ekonomi
nasional yang terlalu tertumpu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.
c.
Pendekatan
pengurusan hutan yang bersifat parsial, tidak menyeluruh, sebagai akibat
langsung dari kekeliruan pendekatan yang terlalu tertumpu pada manfaat ekonomis
sumberdaya hutan yang bersifat sempit (butir b)
d.
Sistem
pengurusan hutan yang bersifat terpusat (centalistic),
baik dalam pembuatan kebijakan, dari hal yang bersifat umum sampai operasional;
maupun dalam praktek kegiatan pengurusan hutan secara keseluruhan.
e.
Praktek
pengurusan hutan, terutama dalam proses pembuatan kebijakan yang dilaksanakan
oleh pemerintah, yang cenderung tertutup (tidak transparan); tanpa melalui proses
yang bersifat partisipatif dari berbagai pihak yang berkepentingan. Akibatnya, kebijakan yang diambil cenderung
kurang akomodatif (dapat menyesuaikan) terhadap berbagai permasalahan dan
harapan yang berkembang dalam masyarakat.
Berbagai permasalahan yang bersifat
mendasar inilah yang kemudian menyebabkan mencuatnya permasalahan-permsalahan
dari kelompok kedua, yaitu:
a.
Kepedulian
dan rasa memiliki masyarakat terhadap hutan dan berbagai kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah dalam rangka pengurusan hutan sangat rendah.
b.
Pengawasan
yang dilakukan oleh pemerintah terhadap praktek pengusahaan hutan yang
dilaksanakan oleh swasta (HPH) dan penyelengaraan berbagai proyek bidang
kehutanan dalam rangka pengurusan hutan tidak efektif.
c.
Terjadinya
berbagai praktek penyimpangan dalam pengurusan hutan di Indonesia yang pada
akhirnya mengakibatkan kerusakan hutan.
Beberapa bentuk penyimpangan ini, antara lain:
1.
Praktek
pengelolaan hutan pada areal HPH tidak sejalan dengan syarat-syarat pengelolaan
hutan yang benar.
2.
Merebaknya
penebangan liar
3.
Berdirinya
industri kehutanan, terutama industri perkayuan, secara tidak rasional, baik
yang bersifat resmi (legal) maupun
tidak resmi (illegal)
4.
Kebakaran
hutan yang tidak terkendali
5.
Konversi
lahan hutan alam secara sembarangan tanpa diikuti dengan upaya-upaya konservasi
yang memadai.
Keseluruhan permasalahan tersebut di
atas secara bersama-sama telah mengakibatkan kerusakan hutan, baik hutan alam
maupun hutan tanaman, di Indonesia.
Kerusakan ini terjadi, baik pada hutan produksi maupun hutan lindung dan
hutan konservasi.
B. Upaya Pembenahan Sistem Pengurusan Hutan, Prinsip
Pengelolaan Hutan, dan Pembenahan Hutan.
Sistem
kepemilikan Lahan Hutan
Pengaturan sistem kepemilikan lahan
hutan pada saat ini berstatus sebagai hutan negara perlu disempurnakan melalui
proses yang transparan dan akomodatif terhadap kepentingan rakyat dan
kelestarian hutan dengan mempertimbangkan aspek-aspek politik, ekonomi, dan
sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan negara dalam rangka menjaga keutuhan
bangsa dan negara Indonesia. Untuk itu
diperlukan pembahasan yang berlandaskan kepada pengetahuan dan pemahaman
konsepsi ilmiah sangat kuat serta kearifan yang tinggi, dengan melibatkan
seluruh komponen yang berkepentingan dan memiliki kompetensi tinggi dalam
bidang ini.
Desentralisasi
dalam Pengurusan Hutan
Pada dasarnya, desentralisasi dalam
pengurusan hutan mutlak diperlukan untuk dapat mencapai pengelolaan hutan
secara lestari dan distribusi manfaatnya secara berkeadilan kepada seluruh
rakyat Indonesia. Tetapi, desentralisasi
dalam pengurusan hutan tidak cukup hanya berlandaskan kepada pertimbangan dan
kepentingan politik semata. Jika hanya
berlandaskan kepda pertimbangan ini, maka yang akan terjadi hanyalah perdebatan
dan yang tidak kunjung selesai mengenai letak kewenangan dalam pengurusan
hutan, apakah tetap berada pada pemerintah pusat atau propinsi, atau kabupaten.
Mekanisme dalam
Pengurusan Hutan.
Keseluruhan kegiatan pengurusan hutan,
mencakup: perumusan kebijakan, pelaksanaan pengurusan hutan, serta proses
monitoring dan pengawasannya. Untuk itu,
sangat diperlukan adanya ketegasan aturan mengenai:
1.
Peran,
kewenangan, serta hak dan kewajiban masing-masing pihak (pemerintah, pelaku
usaha, masyarakat) dalam keseluruhan kegiatan pengurusan hutan.
2.
Mekanisme
konsultasi publik seyogyanya dikembangkan dalam rangka merumuskan berbagai
kebijakan pengurusan hutan.
3.
Sistem
dan pola-pola yang seyogyanya dikembangkan dalam pelaksanaan pengurusan hutan,
baik melalui proses kemitraan atau dalam bentuk kerjasama diantara pihak-pihak
tersebut.
4.
Sistem
dan mekanisme pengawasan terhadap pelaksanaan pengurusan hutan dengan
melibatkan masyarakat.
Prinsip
Pengelolaan Hutan
Mulai saat ini dan selanjutnya,
pengurusan hutan di Indoenesia harus berlandaskan kepada prinsip pengelolaan hutan
secara lestari, atau PHL (Sustainable
forest Management, SFM). Untuk kerpeluan ini, maka diperlukan kriteria
mengenai PHL, baik untuk pengurusan hutan pada tingkat nasional maupun
pengelolaan hutan pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan.
Kriteria PHL yang dibuat dalam setiap
negara, selain harus berlandaskan kepada nilai-nilai universal yang dihasilkan
dari berbagai konvensi internasional, seyogyanya disesuaikan pula dengan
keadaan khusus biofisik hutan, serta keadaan ekonomi, dan sosial budaya
masyarakatnya. Tentu saja kriteria ini
dalam jangka panjang akan bersifat dinamis, sehingga memerlukan penyempurnaan
dari waktu kewaktu. Akan tetapi kriteria
yang telah ada seyogyanya diterapkan secara konsisten.
Pada saat ini Indonesia telah memiliki
kriteria PHL untuk pengelolaan hutan produksi alam pada tingkat kesatuan
pengelolaan hutan yang disusun dengan mengacu kepada (LEI, 2000):
1.
ITTO Criteria
and Indicators for Sustainable Management of Natural Tropical Forest.
2.
The
international organization for Stnadardization (ISO) Standard 14.000 Series.
3.
The principles
and criteria for forest management of forest stewardship council (FSC).
Standar pengelolaan hutan produksi
lestari (PHPL) dan pedoman pelaksanaan sertifikasi PHPL untuk Indonesia telah
ditetapkan oleh Badan Standariasi Nasional (BSN) pada tahun 1998, terdiri dari
dokumen-dokumen:
1.
SNI
(standar nasional Indonesia) 19-5000-1998: kerangka sistem pengelolaan hutan
produksi lestari
2.
SNI
19-5000-1-1998: sistem pengelolaan hutan alam produksi lestari
3.
SNI
19-5005-1998: istilah dan pengertian yang berhubungan dengan sertifikasi
pengelolaan hutan produksi lestari
4.
Pedoman
BSN 99: sistem sertifikasi pengelolaan
hutan produksi lestari
Pembenahan Hutan
Upaya pembenahan hutan tidaklah mungkin dilakuan
secara mandiri, terlepas dari upaya-upaya kegiatan lain yang berhubungan dan
memerlukan hasil, manfaat dan jasa hutan, serta lahan hutan. Upaya-upaya secara langsung yang dilakukan
dalam pembenahan hutan.
1.
Pembenahan
hutan alam, dilakukan melalui penghutanan kembali (regenerasi), pembinaan,
pemanfaatan terbatas, dan konservasi alam dengan tujuan utama untuk
mengembalikan keadaan hutan kepada keadaaan semula atau menedekatinya. Pada hutan produksi, jika kandungan potensi
kayunya tidak memenuhi syarat-syarat untuk tujuan menghasilkan kayu secara
lestari, maka dari hutan ini tidak harus dituntut untuk menghasilkan kayu
secara lestari. Dari hutan ini boleh
diambil kayunya dari hasil pemeliharaan yang diperlukan dalam rangka
mengembalikan tegakan hutan kepada keadaan asalnya.
2.
Pembangunan
hutan tanaman pada lahan bekas hutan alam yang kosong (terbuka), atau keadaan
tegakan hutannya sudah sangat rusak, sehingga tidak memungkinkan lagi untuk
dikembalikan kepada keadaan asal hutan tersebut
3.
Penghutanan
kembali dan pemeliharaan tegakan hutan pada kawasan hutan lindung dan kawasan
hutan konservasi, baik pada lahan hutan yang berhutan dengan tegakan hutan yang
rusak maupun pada lahan hutan terbuka atau kosong. Tujuannya adalah untuk mengembalikan lahan
hutan ini menjadi berhutan kembali dengan kualitas tegakan yang sesuai dengan
fungsi utamanya.
4.
Pengembangan
proses pengolahan hasil hutan, kayu dan bukan kayu, yang mengarah kepada
bentuk-bentuk pemanfaatan hasil hutan yang efisien dan ramah lingkungan.
5.
Rehabilitasi
hutan, terutama yang dilakukan melalui pembangunan hutan tanaman, dapat
ditempuh melalui pola pengelolaan hutan dalam rangka program Clean Development Mechanism (CDM)
sebagaimana diatur dalam protokol kyoto. Hanya saja, untuk mengikuti program ini
Indonesia masih memerlukan berbagai upaya persiapan, baik yang bersifat teknis
dan metodologi, maupun untuk meningkatkan pemahaman terhadap berbagai konvensi
internasional yang berhubungan dengan program ini.
6.
Kegiatan
konservasi sumberdaya hutan dapat dilakukan melalui pola Debt for Nature sawps (DNS), dalam rangka mengurangi utang-utang
pemerintah Indonesia kepada negara-negara kreditor. Untuk keperluan ini diperlukan kemahiran dan
upaya negosiasi dan melobi dengan kuat kepada negara-negara kreditor.
(sumber:
Endang Suhendang. 2002)
Tugas Individu
Buat
makalah sesuai dengan artikel tersebut, makalah maksimal 5 lembar. Makalah
dikirim ke email mallo.junior27@gmail.com
paling lambat 2 hari sebelum final test PIK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar