Selalu begitu. Cinta selalu membutuhkan kata. Tidak
seperti perasaan-perasaan lain, cinta lebih membutuhkan kata lebih dari apapun.
Maka ketika cinta terkembang dalam jiwa tiba-tiba kita merasakan sebuah
dorongan yang tak terbendung untuk menyatakannya. Sorot mata takkan sanggup
menyatakan semuanya.
Tidak mungkin memang. Dua bola mata kita terlalu kecil
untuk mewakili semua makna yang membuncah di laut jiwa saat badai cinta datang.
Mata yang sanggup menyampaikan sinyal pesan bahwa ada badai dilaut jiwa. Hanya
itu. Sebab cinta adalah gelombang makna-makna yang menggores langit hati, maka
jadilah pelangi; goresannya kuat, warnanya terang, paduannya rumit, tapi
semuanya nyata. Indah.
Itu sebabnya ada surat cinta. Ada cerita cinta, ada puisi
cinta, ada lagu, semuanya adalah kata. Walaupun tidak semua kata mampu mewakili
gelombang makna-makna cinta, tapi badai itu harus diberi kanal; biar dia
mengalir sampai jauh. Cinta membuat makna-makna itu jadi jauh lebih nyata dalam
rekaman jiwa kita. Bukan hanya itu. Cinta bahkan menyadarkan kita pada
wujud-wujud lain dari kita; langit, laut, gunung, padang rumput, tepi pantai,
gelombang, purnama, matahari, senja, gelap malam, cerah pagi, taman bunga,
burung-burung... tiba-tiba semua wujud itu punya arti... tiba-tiba semua wujud
itu masuk kedalam kesadaran kita... tiba-tiba semua wujud itu menjadi bagian
dalam hidup kita... tiba-tiba semua wujud itu menjadi kata yang setia
menjelaskan perasaan-perasaan kita... tiba-tiba semua wujud itu berubah menjadi
metafora-metafora yang memvisualkan makna-makna cinta. Itu sebabnya para
pecinta selalu berubah menjadi sastrawan atau penyair... atau setidaknya
menyukai karya-karya para sastrawan, menyukai puisi, atau mau belajar
melantunkan lagu. Bukan karena ia percaya bahwa ia akan benar-benar menjadi
sastrawan atau penyair yang berbakat... tapi semata-mata ia tidak kuat menahan
gelombang makna-makna cinta.
Cinta membuat jiwa kita jadi halus dan lembut... maka
semua yang lahir dari kehalusan dan kelembutan itu adalah juga makna-makna yang
halus dan lembut... hanya katalah yang dapat menguranginya, menjamahnya
perlahan-lahan sampai ia tampak terang dalam imaji kita. Puisi “Aku ingin” nya
Sapardi Djoko Damono mungkin bisa jadi sebuah contoh bagaimana kata mengurangi
dan menjamah makna-makna itu... apakah Sapardi sedang jatuh cinta atau sedang
ingin memaknai kembali cintanya? Saya tidak tahu! Tapi begini katanya:
Aku ingin mencintaimu
Dengan cara yang sederhana
Kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu
Dengan cara yang sederhana
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
(Anis Matta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar