Shalatnya
panjang dan khusuk. Keluh dan resah mengalir dalam doa-doa. Hasrat dan rindu
merangkak bersama malam yang kian kelam. Usai shalat perempuan itu akhirnya
rebah di pembaringan. Cemasnya belum lunas. Lama sudah suaminya pergi. Untuk
jihad, memang. Tapi cinta tetaplah cinta. Walaupun jihad, perpisahan selalu
membakar jiwa dengan rindu. Maka ia pun rebah dengan doa-doa; “Ya Allah, yang
memperjalankan unta-unta, menurunkan kitab-kitab, memberi para pemohon, aku
memohon pada-Mu agar Engkau mengembalikan suamiku yang telah pergi lama, agar
dengan itu Engkau lepaskan resahku. Engkau gembirakan mataku. Ya Allah,
tetapkanlah hukum-Mu di antara aku dan khalifah Abdul Malik bin Marwan yang
telah memisahkan kami”.
Untungnya malam
itu Khalifah Abdul Malik bin Marwan memang sedang menyamar di tengah pemukiman
warga. Tujuannya, ya, itu tadi; mencari tahu opini warga soal pengiriman
mujahidin ke medan jihad, khususnya istri-istri mereka. Dan suara perempuanlah
itulah yang ia dengar.
Ini tabiat yang
membedakan cinta jiwa dari cinta misi; pertemuan jiwa dalam cinta jiwa hanya
akan menjadi semacam penyakit jika tidak berujung dengan sentuhan fisik. Disini
rumus bahwa cinta tidak harus memiliki tidak berlaku.
Cinta jiwa
bukan sekedar kecenderungan spritiual seperti yang ada dalam cinta misi. Cinta
jiwa mengandung kadar sahwat yang besar. Dari situ akar tuntutan sentuhan fisik
berasal. Mereka menyebutnya passionate love. Tanpa membawa semua penyakit.
Sebagaimana hanya akan berujung kegilaan. Seperti yang dialami Qais dan Laila.
Ini mengapa
kita diperintahkan mengasihi para pecinta; supaya mereka terhindar dari cinta
yang seharusnya menjadi energi, lantas berubah jadi sumber penyakit. Maka
sentuhan fisik dalam semua bentuknya adalah obat paling mujarab bagi rindu yang
tak pernah selesai. Ini juga penjelasan mengapa hubungan badan antara suami
istri merupakan ibadah besar, tradisi kenabian dan kegemaran orang shalih.
Sebab, kata Ibnu Qayyim dan Imam Ghazali, ia mewariskan kesehatan dan jiwa
raga, mencerahkan pikiran, meremajakan perasaan, menghilangkan pikiran dan
perasaan buruk, membuat kita lebih awet muda dan memperkuat hubungan cinta
kasih. Makna sakinah dan mawaddah adalah ketenangan jiwa yang tercipta setelah
gelora hasrat terpenuhi,
Makna itu dapat
dipahami Abdul Malik bin Marwan. Maka ia pun bertanya, “Berapa lama wanita bisa
bertahan sabar?” “Enam bulan” jawab mereka. Kisah itu sebenarnya mengikuti pada
temuan yang sama dimasa Umar bin Khattab. Dan di kedua kisah itu, kedua
perempuan itu sama-sama melantunkan syair rindu dan hasrat, dan Abdul Malik bin
Marwan mendengar bait ini; air mata mengalir bersama larut malam sedih mengiris
hati dan merampas tidur bergulat aku lawan malam terawangi bintang hasrat rindu
mendera-dera
melukai jiwa
Memang
hanya puisi tempat jiwanya berlari. Melepas hasrat yang tak mau dilepas. Sebab
rindu tetap saja rindu. Puisi tak akan pernah sanggup menyelesaikannya. Sebab
memang begitulah hukumnya; hanya sentuhan fisik yang bisa mengobati hasrat
jiwa.melukai jiwa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar