Setiap kali ada pergantian tahun seperti
sekarang, saya selalu membangunkan kembali kesadaran saya tentang waktu dan
cara merasakannya. Cara setiap orang merasakan waktu berbeda karena “satuan
waktu” yang mereka gunakan juga berbeda. Itu lahir dari falsafah hidup yang
juga berbeda. Jika kita memaknai hidup sebagai pertanggungjawaban, maka waktu
adalah masa kerja. Waktu adalah kehidupan itu sendiri.
Orang-orang beriman membagi waktu – seperti
juga hidup – ke dalam waktu dunia dan waktu akhirat. Itu 2 sistem waktu yang
sama sekali berbeda. Waktu dunia adalah waktu kerja. Waktu akhirat adalah waktu
pertanggungjawaban dan pembalasan atas nilai waktu kerja di dunia. Waktu kerja
di dunia mengharuskan kita memaknai setiap satuan waktu sebagai satuan kerja. 1
unit waktu harus sama dengan 1 unit amal. Persamaan itu, 1 unit waktu sama
dengan 1 unit kerja, membuat hidup kita jadi padat sepadat-padatnya, nilai
waktu terletak pada isinya, kerja!
Tidak ada hal yang paling tidak bisa
dipertanggungjawabkan dalam hidup orang beriman selain waktu luang. Itu hidup
yang tidak terencana. Waktu luang lahir dari pikiran dan jiwa yang kosong, yang
tidak punya daftar pekerjaan yang harus dieksekusi. Hidup mereka longgar tak
bernas. Mereka yang punya daftar pekerjaan untuk dieksekusi menempatkan waktu
sebagai sumber daya tak tergantikan. Karena itu tidak boleh lewat tanpa nilai.
Efek waktu adalah
akumulasi
Menyadari waktu adalah menyadari efeknya
dan efek terpenting dari waktu adalah efek akumulasi. Sesuatu tidak terjadi
seketika tapi bertahap. Akumulasi dari tindakan yang sama yang kita lakukan
secara berulang2 akan menjadi karakter pada skala individu. Akumulasi dari
karakter individu selanjutnya menjadi budaya dalam skala masyarakat. Akumulasi
itu terjadi dalam rentang waktu tertentu. Akumulasi budaya dari berbagai
kelompok masyarakat dalam rentang waktu tertentu itulah yang berkembang menjadi
peradaban. Karena efek akumulasi sebuah peradaban tidak bisa bangkit seketika
atau runtuh seketika. Ada faktor-faktor yang mempengaruhinya secara akumlatif.
Masyarakat bangkit melalui akumulasi
kontribusi. Produktivitas individu-individu di dalamnya berupa karakter dan ide
yang membentuk budaya mereka. Begitu juga keruntuhan sebuah masyarakat, itu
akumulasi karakter dan ide destruktif individu-individunya yang membentuk
budaya keruntuhannya.
Contoh lain adalah kesehatan. Kualitas
kesehatan fisik dan mental kita di atas usia 40 tahun adalah akumulasi dari
pola hidup sehari-hari kita. Sebagian besar penyakit yang kita alami di atas
usia 40 tahun itu adalah akumulasi ketidakseimbangan pola hidup yang
berlangsung lama. Begitu juga dengan struktur pengetahuan kita, itu adalah
akumulasi ilmu yang kita peroleh sehari-hari melalui bacaan dan media belajar
lain.
Usia membuat orang lebih arif karena ia mengalami
akumulasi pengetahuan. Tehnologi hari ini adalah akumulasi tehnologi kemarin.
Karena itu Nabi Muhammad saw mengatakan “Jangan pernah meremehkan kebajikan
sekecil apa pun itu”. Itu karena sifat akumulasinya. Beliau juga mengatakan
“Amal yang paling baik dan paling dicintai Allah adalah yang berkelanjutan
walaupun hanya sedikit”. Itu akumulasi. Kebajikan kecil-kecil yang kita lakukan
secara terus-menerus menunjukkan perhatian dan konsistensi serta keterlibatan
emosi yang dalam. Nilai-nilai emosi yang menyertai amal itu hanya bisa dilihat
dalam rentang waktu. Karena itu, waktu jadi alat uji iman dan karakter yang
efektif.
Sisi negatif manusia juga akumulatif. Dosa
yang dilakukan berulang-ulang akan menjadi karakter dan selanjutnya memenuhi
ruang hati manusia. Dosa yang telah jadi karakter tidak akan menyisakan ruang
bagi dorongan kebajikan dalam diri seseorang. Allah akhirnya mengunci hatinya.
Akumulasi dosa yang menjadi karakter menutup mata hati seseorang. Ada tabir
yang menghalagi mata dan telinganya utk melihat kebenaran. Akumulasi itulah
yang sebenarnya banyak menipu manusia pendosa karena terjadi secara perlahan
dan tidak disadari oleh pelaku. Terlalu halus.
Karena efek akumulasi itu, maka sifat-sifat
terpuji yang paling banyak berhubungan dengan waktu adalah kesabaran dan
ketekunan. Tidak ada prestasi besar yang bisa kita raih dalam hidup tanpa
kesabaran dan ketekunan yang panjang, sebab semua perlu waktu yang lama.
Kecerdasan yang tidak disertai kesabaran dan ketekunan tidak akan membuahkan hasil
apa-apa. Itu ciri orang cerdas yang tidak produktif. Itu sebabnya mengapa di
antara semua sifat yang paling terulang dalam Qur’an adalah sabar. Termasuk
hubungan dengan waktu dalam surat Al ‘Ashr.
Kesabaran dan ketekunan adalah sifat utama
yang melekat pada orang-orang besar, baik dalam dunia militer, bisnis, ekademik
atau politik. Kesabaran dan ketekunan juga merupakan sifat dasar kepemimpinan,
karena mereka harus memikul beban berat dalam jangka waktu yang lama. Kesabaran
dan ketekunan adalah indikator kekuatan kepribadian seseorang. Artinya ia punya
tekad yang takkan terkalahkan oleh rintangan.
Efek akumulasi juga mengajarkan kita untuk
berpikir secara sekuensial. Berurut mengikuti deret ukur waktu. Itu strategic
thinking. Kemampuan berpikir sekuensial adalah bagian dari kemampuan berpikir
strategis yang diajarkan oleh kesadaran akan waktu. Efeknya besar! Kemampuan
berpikir sekuensial terutama diperlukan saat kita membaca sejarah dan berbagai
fenomena sosial politik. Juga dalam perencanaan.
Konsep Penggandaan
Sebagai sumber daya waktu sangat terbatas,
orang-orang produktif pasti selalu merasa bahwa waktu mereka terlalu sedikit
dibanding rencana amal mereka. Umat Muhammad saw juga mempunyai umur masa kerja
yang jauh lebih pendek dari umat-umat terdahulu, untuk sebuah hikmah Ilahiyah
yang kita tidak tahu. Jadi harus ada cara mengatasi keterbatasan itu. Untuk
itulah Islam memperkenalkan makna efesiensi melalui konsep penggandaan.
Kita menggunakan waktu yang sama untuk
sholat 5 waktu secara jamaah atau sendiri, tapi mendapatkan pahala yang
berbeda. Waktu sama pahala beda. Waktu yang sama dengan pahala yang berbeda
adalah inti dari konsep penggandaan. Ini menciptakan perbedaan mencolok dan
mengatasi keterbatasan. Konsep penggandaan ini bisa mengubah persamaan dari sblmnya
1 unit waktu sama dengan 1 unit amal menjadi 1 unit waktu sama dengan beberapa
unit amal. Ajaran tentang amal jariah, sedekah jariyah, ilmu yang diajarkan,
anak sholeh yang terus mendoakan, juga penerapan lain dari konsep penggandaan.
Konsep penggandaan bukan saja mengajarkan
bagaimana mengatasi keterbatasan sumber daya tapi juga bagaimana memaksimalkan
sumber daya yang terbatas itu. Konsep penggandaan bukan saja mengajar bagaimana
mengatasi keterbatasan sumberdaya, tapi juga bagaimana melipatgandakan hasil
dari sedikit sumber daya. Seseorang bisa hidup lebih lama dari umurnya dengan
konsep penggandaan itu. Caranya dengan menciptakan amal yang dampaknya lebih
lama dari umur kita.
Seperti individu, masyarakat juga punya
umur. Peradaban juga punya umur. Umur masyarakat ditentukan oleh akumulasi umur
individu. Umur sosial menjadi panjang jika banyak individunya melakukan
kerja-kerja penggandaan. Salah satunya adalah pewarisan ilmu pengetahuan.
Umur peradaban juga begitu. Peradaban barat
moderen dibangun pertama kali oleh spanyol dan portugis, lalu inggris dan
prancis, lalu AS. Epicentrum sebuah peradaban berpindah dari 1 masyarakat ke
yang lain, begitu umur sosial masyarakat itu habis. Walaupun secara fisik tetap
ada. Seperti Barat, peradaban Islam juga dipikul banyak suku bangsa. Mulanya
Arab, lalu Persia, lalu Afrika, lalu Turki, lalu Mongol dst. Akumulasi umur
sosial dari suku bangsa itu menentukan panjang pendeknya umur peradaban. Makin
banyak yang memikulnya makin panjang umurnya.
(HM.
Anis Matta)
Sumber:www.islamedia.co
Sumber:www.islamedia.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar