Sabtu, 29 September 2012

KARUNIA KETULUSAN

Saya sedang berdiri menunggu angkot di depan gang ketika laki-laki itu mendekat.  Ia melambaikan tangan, sambil cengar-cengir dan mengumamkan sesuatu yang terdengar seperti,”Mba, berangkat ke kantor?” Entahlah, tepatnya apa yang ia ucapkan.  Mungkin saya tak memperhatikan atau ucapannya tidak jelas.  Saya hanya tersenyum tipis dan mengangguk acuh menjawab sapanya, kemudian kembali mengarahkan pandangan ke kanan, arah angkot akan memunculkan hidungnya.
Tetapi laki-laki itu tak bergeming.  Ia tetap berdiri di sisi saya.  Ketika sebuah angkot mendekat, ia turut melambaikan tangan, memberi isyarat supaya angkot berhenti.  Saya menoleh sebal, sedikit merasa terganggu oleh sikapnya, kemudian buru-buru naik.
Ketika angkot bergerak lagi, laki-laki itu melambaikan tangan, masih cengar-cengir dan menatapi angkot yang bergerak menjauh, bahkan sempat melakukan gerakan kiss bye.  Astaghfirullah, refleks saya beristigfar.  Dalam hati saya merutuk-rutuk, merasa dipermalukan.  Memangnya dia siapanya saya? Ketemu juga baru beberapa kali.  Karena saya memang penghuni baru di kawasan tersebut.
Ceritanya sih, anak kost.  Esok, esok dan esoknya, nyaris tiap hari kejadian yang sama terulang.  Karena mau tidak mau, saya memang harus melalui jalan itu untuk mendapat angkot terdekat.  Ia terus menyapa, selalu dengan gumamannya yang tidak jelas, dan cengirannya yang khas.  Dan setiap kali, saya juga menjawab dengan sikap seperlunya.  Kadang-kadang malah pura-pura tidak melihat.  Tapi itu tak membuatnya mundur atau marah.  Dia biasa saja, sapaan-sapaan dengan gumam itu tak berubah.  Karena nyaris setiap hari bertemu, lama-lama saya memperhatikan tingkah lakunya.  Rupanya, setiap hari dia memang ngetem di depan gang tersebut sebagai tukang parkir.  Membantu menjaga dan mengatur mobil-mobil yang diparkir di pinggir jalan karena mobil tidak dapat masuk gang.  Dan adalah kebiasaannya menyapa setiap orang yang melewati gang tersebut: wanita maupun laki-laki.  Ibu-ibu atau bapak-bapak. Tua-muda.  Besar kecil.  Semua dengan sapaan dan cengiran yang sama.
Semakin lama saya mengenalnya, saya juga mulai menemukan kebiasaannya yang lain: membantu mencegat bajaj, mencegat taksi, menaikkan atau menurunkan barang-barang penumpang dari atau ke dalam angkot, taksi dan bajaj.  Tanpa diminta.  Tentu saja, sekali lagi ini alih-alih membantu- seringkali menimbulkan kejengkelan yang ditolong.  Bahkan saya terkadang berpikir, orang ini memalak orang yang ditolongnya dengan cara halus.  Seperti calo angkot, taksi dan bajaj yang sering saya jumpai di terminal Senen.  Seperti kuli angkot di Senen yang langsung mengangkat barang tanpa diminta, meski hanya 2-3 meter saja kemudian minta uang jasa dengan memaksa.  Tapi, ternyata tidak.  Ya, dia tidak pernah meminta uang jasa pada orang-orang yang ditolongnya. Yang saya saksikan adalah dia ikut menunggu taksi atau bajaj dengan setia, bahkan di waktu hujan sekalipun, menghentikannya, kemudian menaikkan barang dan membukakan pintu penumpang dengan sungguh-sungguh.  Diberi uang jasa atau tidak, dia kemudian tetap akan melambaikan tangan, nyengir dan melakukan gerakan kiss bye saat taksi atau bajaj mulai bergerak.
Pernah suatu hari, saya meminta tolong membawakan satu set PC dari pinggir jalan ke tempat tinggal saya.  Sigap dia meminjam troli dari kantor di pinggir jalan itu dan menaikkan barang-barang saya.  Namun gerakannya yang “grasa-grusu” membuat saya berteriak agar dia hati-hati.  Tetapi saya terlambat, baru beberapa langkah, CPUnya jatuh terbanting.  Untung masih di dalam kardus yang ada bantalannya, sehingga tidak mengalami kerusakkan.  Andai monitornya yang jatuh, mungkin layarnya pecah.
Saat itulah saya baru ngeh, kalau ternyata laki-laki ini menderita keterbelakangan mental.  Tidak parah memang.  Belum sampai taraf idiot.  Orang Jawa menyebutnya si pekok (si bodoh).  Sesuatu yang harusnya saya sadari dan maklumi sejak  awal, melihat sikap dan perangainya yang agak aneh.  Sejak itulah saya bersimpati padanya.  Karena dalam kekurangannya dia masih bekerja meski hanya menjadi tukang parkir untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-harinya.  Karena dalam keterbelakangannya, dia memiliki ketulusan dan kepolosan yang mungkin tidak dipunyai banyak manusia berakal normal.  Sehingga bila dia menyapa, maka sayapun berusaha membalasnya dengan ramah.  Setiap kali ada keperluan angkat mengangkat barang, saya meminta bantuannya dengan memberi imbalan, meski sekedarnya.
Laki-laki masih belum saya ketahui namanya itu, sampai saat ini masih tetap dengan gumam dan cengiran khas, dan rautnya tetap berubah menjadi sungguh-sungguh saat membantu orang-orang yang dijumpainya di depan gang itu diminta atau tidak.
Maha Besar ALLAH yang selalu mengkaruniakan keistimewaan di balik setiap kekurangan MakhlukNya.
(Azimah Rahayu).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar