Saya sedang berdiri menunggu angkot di
depan gang ketika laki-laki itu mendekat. Ia melambaikan tangan, sambil cengar-cengir dan mengumamkan sesuatu yang
terdengar seperti,”Mba, berangkat ke kantor?” Entahlah, tepatnya apa yang ia
ucapkan. Mungkin saya tak memperhatikan
atau ucapannya tidak jelas. Saya hanya
tersenyum tipis dan mengangguk acuh menjawab sapanya, kemudian kembali
mengarahkan pandangan ke kanan, arah angkot akan memunculkan hidungnya.
Tetapi laki-laki itu tak bergeming. Ia tetap berdiri di sisi saya. Ketika sebuah angkot mendekat, ia turut
melambaikan tangan, memberi isyarat supaya angkot berhenti. Saya menoleh sebal, sedikit merasa terganggu
oleh sikapnya, kemudian buru-buru naik.
Ketika angkot bergerak lagi, laki-laki
itu melambaikan tangan, masih cengar-cengir dan menatapi angkot yang bergerak
menjauh, bahkan sempat melakukan gerakan kiss bye. Astaghfirullah, refleks saya beristigfar. Dalam hati saya merutuk-rutuk, merasa
dipermalukan. Memangnya dia siapanya
saya? Ketemu juga baru beberapa kali.
Karena saya memang penghuni baru di kawasan tersebut.
Ceritanya sih, anak kost. Esok, esok dan esoknya, nyaris tiap hari
kejadian yang sama terulang. Karena mau
tidak mau, saya memang harus melalui jalan itu untuk mendapat angkot
terdekat. Ia terus menyapa, selalu
dengan gumamannya yang tidak jelas, dan cengirannya yang khas. Dan setiap kali, saya juga menjawab dengan
sikap seperlunya. Kadang-kadang malah
pura-pura tidak melihat. Tapi itu tak
membuatnya mundur atau marah. Dia biasa
saja, sapaan-sapaan dengan gumam itu tak berubah. Karena nyaris setiap hari bertemu, lama-lama
saya memperhatikan tingkah lakunya.
Rupanya, setiap hari dia memang ngetem di depan gang tersebut sebagai
tukang parkir. Membantu menjaga dan
mengatur mobil-mobil yang diparkir di pinggir jalan karena mobil tidak dapat
masuk gang. Dan adalah kebiasaannya
menyapa setiap orang yang melewati gang tersebut: wanita maupun laki-laki. Ibu-ibu atau bapak-bapak. Tua-muda. Besar kecil.
Semua dengan sapaan dan cengiran yang sama.
Semakin lama saya mengenalnya, saya juga
mulai menemukan kebiasaannya yang lain: membantu mencegat bajaj, mencegat
taksi, menaikkan atau menurunkan barang-barang penumpang dari atau ke dalam
angkot, taksi dan bajaj. Tanpa
diminta. Tentu saja, sekali lagi ini
alih-alih membantu- seringkali menimbulkan kejengkelan yang ditolong. Bahkan saya terkadang berpikir, orang ini
memalak orang yang ditolongnya dengan cara halus. Seperti calo angkot, taksi dan bajaj yang sering
saya jumpai di terminal Senen. Seperti
kuli angkot di Senen yang langsung mengangkat barang tanpa diminta, meski hanya
2-3 meter saja kemudian minta uang jasa dengan memaksa. Tapi, ternyata tidak. Ya, dia tidak pernah meminta uang jasa pada
orang-orang yang ditolongnya. Yang saya saksikan adalah dia ikut menunggu taksi
atau bajaj dengan setia, bahkan di waktu hujan sekalipun, menghentikannya,
kemudian menaikkan barang dan membukakan pintu penumpang dengan
sungguh-sungguh. Diberi uang jasa atau
tidak, dia kemudian tetap akan melambaikan tangan, nyengir dan melakukan
gerakan kiss bye saat taksi atau bajaj mulai bergerak.
Pernah suatu hari, saya meminta tolong
membawakan satu set PC dari pinggir jalan ke tempat tinggal saya. Sigap dia meminjam troli dari kantor di
pinggir jalan itu dan menaikkan barang-barang saya. Namun gerakannya yang “grasa-grusu” membuat
saya berteriak agar dia hati-hati.
Tetapi saya terlambat, baru beberapa langkah, CPUnya jatuh terbanting. Untung masih di dalam kardus yang ada
bantalannya, sehingga tidak mengalami kerusakkan. Andai monitornya yang jatuh, mungkin layarnya
pecah.
Saat itulah saya baru ngeh, kalau
ternyata laki-laki ini menderita keterbelakangan mental. Tidak parah memang. Belum sampai taraf idiot. Orang Jawa menyebutnya si pekok (si
bodoh). Sesuatu yang harusnya saya
sadari dan maklumi sejak awal, melihat
sikap dan perangainya yang agak aneh.
Sejak itulah saya bersimpati padanya.
Karena dalam kekurangannya dia masih bekerja meski hanya menjadi tukang
parkir untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-harinya. Karena dalam keterbelakangannya, dia memiliki
ketulusan dan kepolosan yang mungkin tidak dipunyai banyak manusia berakal
normal. Sehingga bila dia menyapa, maka
sayapun berusaha membalasnya dengan ramah.
Setiap kali ada keperluan angkat mengangkat barang, saya meminta
bantuannya dengan memberi imbalan, meski sekedarnya.
Laki-laki masih belum saya ketahui
namanya itu, sampai saat ini masih tetap dengan gumam dan cengiran khas, dan
rautnya tetap berubah menjadi sungguh-sungguh saat membantu orang-orang yang
dijumpainya di depan gang itu diminta atau tidak.
Maha
Besar ALLAH yang selalu mengkaruniakan keistimewaan di balik setiap kekurangan
MakhlukNya.
(Azimah Rahayu).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar