INILAH kota berjuluk sepotong Syam yang jatuh di Hijjaz;
ialah Thaif, di tahun kesebelas kenabian.
Sungguh penduduk kota ini sama sekali tak sesejuk
cuaca negerinya, bahkan mereka lebih garang dari angin gurun Tihamah.
Inilah Sang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang
telah ditolak oleh tiga bersaudara putra ‘Amr Ats Tsaqafi, pemimpin Thaif,
tetap berupaya menyampaikan risalahnya.
Maka orang-orang yang takut kedatangan Muhammad
merusak niaga mereka dengan Makkah ini makin murka atas seruan Sang Rasul.
Mereka berkerumun, mencerca dan meneriakinya. Dari dua barisan mereka mengejar
dan melemparinya dengan batu.
Tubuh Nabi itu lebam. Kakinya luka. Darah
meleleh membasahi terompahnya. Zaid ibn Haritsah yang membentengi dengan
tubuhnya, entah berapa rajaman yang tertoreh di kepala dan badannya.
Sang Nabi dihinakan dan diusir. Dia terus dikejar dan
disakiti hingga tiga mil kemudian sampai di kebun anggur milik putra-putra
Rabi’ah. Di sinilah mereka lalu meninggalkannya dan kembali ke Thaif. Adapun
Rasulullah, tertatih beliau menghampiri sebatang pohon anggur, lalu duduk
beristirahat meredakan rasa sakit yang zhahir maupun batin. Dengan senyum yang
tertengadah ke langit namun airmata melelehi pipinya yang mulia, segala aduan
hanya tertuju pada Penciptanya.
Utbah dan Syaibah ibn Rabi’ah yang sedang ada di
kebunnya merasa iba melihat keadaan cucu ‘Abdul Muthalib itu. “Hai Addas”, panggil
salah satu di antara keduanya kepada seorang pembantu, “Ambillah setandan
anggur dan serahkan pada lelaki di sana itu.”
Addas beranjak menemui Sang Nabi. Diulurkannya anggur itu dan beliau menerimanya dengan tersenyum. “Siapakah namamu wahai saudara yang mulia?”, tanya Rasulullah. “Namaku Addas. Aku hanyalah pembantu Tuan Utbah dan Tuan Syaibah.” Addas memperhatikan, ketika memetik sebulir anggur dari tangkai, lelaki lusuh dan terluka namun berwajah seri itu menyebut nama Allah.
Addas beranjak menemui Sang Nabi. Diulurkannya anggur itu dan beliau menerimanya dengan tersenyum. “Siapakah namamu wahai saudara yang mulia?”, tanya Rasulullah. “Namaku Addas. Aku hanyalah pembantu Tuan Utbah dan Tuan Syaibah.” Addas memperhatikan, ketika memetik sebulir anggur dari tangkai, lelaki lusuh dan terluka namun berwajah seri itu menyebut nama Allah.
“Bismillaahirrahmaanirrahiim”, ucap Rasulullah sambil
mengulurkan kembali anggurnya untuk menawari Addas. Addas menggeleng dan
tersenyum.
“Kata-kata itu tak pernah diucapkan oleh orang-orang
di negeri ini”, kata Addas.
“Dari manakah asalmu hai Addas, dan apa pula agamamu?”
“Aku seorang Nasrani. Aku penduduk negeri Ninaway.”
“Oh, dari negeri seorang shalih bernama Yunus ibn
Matta?”, tanya Sang Rasul dengan penuh minat begitu Adas menyebut nama negeri
asalnya. Mata Addas mengerjap, pupilnya melebar. Lelaki ini benar-benar
membuatnya tertarik.
“Apa yang kau ketahui tentang Yunus ibn Matta?”, tanya
Addas.
Sang Utusan tersenyum. “Dia saudaraku. Dia seorang
Nabi, dan akupun seorang Nabi.”
Mendengar itu, Addas langsung merengkuh kepala
Rasulullah. Dikecupnya dahi beliau dengan penuh cinta, diciumnya tangan beliau
dengan penuh hormat, dan dikecupnya kaki beliau dengan penuh khidmat. Melihat
kejadian itu Utbah dan Syaibah saling berbisik. “Demi Allah”, kata Utbah,
“Muhammad telah merusak pembantu kita itu!”
Yang tertarik itu menarik. Maka Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam adalah pribadi yang paling menawan di langit dan bumi, sebab
cinta dan perhatiannya pada setiap insan yang dihadapi. Inilah kaidah penting
pergaulan yang harus dihayati para da’i.
Alih-alih menghabiskan waktu membuat orang-orang
menyadari pesona kita, jauh lebih bermanfaat bagi seorang pejuang untuk
tertarik pada mereka yang diserunya menuju kebenaran. Ialah ketertarikan pada
diri lawan bicara, dan segala hal yang terkait mesra dengan mereka. Addas,
Ninaway, dan Yunus ibn Matta umpamanya.
Sesungguhnya ketampanan, kepandaian, dan ketaatan pada
Allah memang pesona yang menawan mata maupun rasa. Tetapi alangkah memuakkan
sesosok insan yang gemar mengunjuk-unjukkan betapa rupawan, betapa cerdas, dan
betapa shalih dirinya. Yang dinanti para manusia dari setiap keunggulan jasmani
maupun akal, juga kemesraan kita dengan Allah; hanyalah akhlaq mulia.
Bukan yang lain.
Maka seperti Rasulullah, biarkan tangis kita
tumpah-ruah hanya pada Allah; dan izinkan sesama merasakan manisnya senyuman
langit yang merasuk ke hati mereka, sebab ia berhulu dari ketulusan dalam
dada.*
(Salim A. Fillah/Hidayatullah.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar