BETAPA dekat kebahagiaan bagi mereka yang menetapi do’a ini:
“اَللَّهُمَّ
قَنِّعْــنِيْ بِـمَا رَزَقْــــتَــنِيْ، وَبَارِكْ لِيْ فِيْهِ، وَاخْلُفْ عَلَى
كُـلِّ غَائِـبَةٍ لِيْ بِـخَيْرٍ”
“Ya Allah,
jadikanlah aku merasa qana’ah (merasa cukup, puas, rela) terhadap apa yang
telah engkau rezeqikan kepadaku, dan berikanlah barakah kepadaku di dalamnya,
dan jadikanlah bagiku semua yang hilang dariku dengan yang lebih baik.” (HR Al Hakim)
Mengingat sejenak sabda Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa
sallam,
“قَدْ
أفْلَحَ مَنْ أسْلَمَ وَرُزِقُ كَفَا فًا، وَ قَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ
“Beruntunglah
orang yang memasrahkan diri, dilimpahi rezeqi yang sekedar mencukupi dan diberi
kepuasan oleh Allah terhadap apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim, At-Tirmidzi, Ahmad dan
Al-Baghawi).
Betapa sederhanya kebahagiaan. Ingatlah sejenak
bagaimana Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bergurat pipinya karena alas
tidur kasar. Hari ini betapa banyak yang memiliki tempat tidur mewah, tapi
hampir-hampir tak pernah ia rasai tidur yang nikmat. Betapa berbeda.
Tengoklah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Betapa
sederhana makannya. Tak menuntut syarat yang berat, justru jadikan makan lebih
nikmat. Sungguh, ketika engkau tak meninggikan syarat terhadap apa yang engkau
reguk dari dunia ini, semakin mudah engkau rasai kebahagiaan. Dan apakah yang
lebih berharga daripada ganti yang lebih baik; ganti yang lebih membawa
kebaikan atas apa-apa yang terlepas dari kita?
Maka do’a riwayat Al-Hakim (beliau menshahihkannya)
yang dicontohkan oleh Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam ini merupakan
kunci agar kita mampu bersikap secara tepat terhadap dunia: qana’ah terhadap
rezeqi dari-Nya, barakah atas rezeqi yang kita terima dan ganti yang lebih baik
(bukan lebih banyak) atas apa-apa yang terlepas dari kita. Sungguh, rezeki yang
tak barakah, amat jauh dari kebaikan.
Jika tiga hal ini ada pada kita, maka semoga lisan
kita mampu memanjatkan do’a yang menyempurnakan pembersihan jiwa kita. Semoga.
Do’a itu (semoga kita dapat menghayati sepenuh
kesungguhan.) adalah:
اَللَّهُمَّ
إنِّي أعُوْذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَ الْحَزَنِ،وَ الْعَجْزِ وَ
الْكَسَلِ،وَالْبُخْلِ وَ الْجُبْنِ،وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَ غَلبَةِالرِّجَالِ
“Ya Allah,
aku berlindung kepada-Mu dari (bahaya) rasa gundah gulana dan kesedihan, (rasa)
lemah dan malas, (rasa) bakhil dan penakut, lilitan hutang dan penguasaan orang
lain.”
Inilah do’a yang memohon pertolongan Allah Ta’ala agar
kita mampu mengalahkan hasrat untuk mengistirahatkan badan di saat ada kebaikan
yang seharusnya kita kerjakan; memohon kekuatan untuk TIDAK berpelit dalam
mengulurkan rezeki kepada orang lain; serta kelapangan hati untuk memberi kan
jasa kita yang membawa kebaikan.
Maka, jika engkau berkeinginan untuk berkelimpahan
rezeki agar waktu istirahatmu lebih banyak dan engkau dapat bersantai-santai
kapan pun engkau mau, sesungguhnya engkau telah mengingkari do’a yang
dituntunkan oleh Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam ini. Dan jika engkau pergi
ke sana kemari untuk menyeru manusia agar bersegera perkaya diri sehingga dapat
bermalas-malasan, sadarilah bahwa mereka sedang mengajak manusia untuk menjauh
dari sunnah dan menghindar dari kebaikan. Padahal bersama sunnah ada barakah.
Semoga kita terhindar dari ghurur (terkelabui)
disebabkan angan-angan kita sendiri. Marilah kita memanjatkan do’a kepada Allah
Ta’ala:
“اللهُمَّ
أَرِنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا التِبَاعَةَ وَأَرِنَا البَاطِلَ بَاطِلاً
وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ”
“Ya Allah,
tunjukilah kami bahwa yang benar itu benar dan berilah kami rezeki kemampuan
untuk mengikutinya. Dan tunjukilah kami bahwa yang batil itu batil, serta
limpahilah kami rezeki untuk mampu menjauhinya.”
Semoga kita tak terpedaya oleh persepsi kita sendiri.
Sungguh, kebenaran itu bukan bergantung pada persepsi kita. Baik dan buruk juga
bukan bergantung kepada persepsi kita. Bukan bergantung pada cara pandang kita.
Hari ini, ketika banyak manusia menyerukan bahwa yang paling penting adalah
persepsi kita tentang sesuatu, marilah kita ingat kembali do’a ini. Di masa
yang semakin jauh dari kehidupan Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam ini, semoga
Allah Ta’ala limpahi kita hidayah agar tidak mudah takjub pada kebanyakan
perkataan manusia yang terlepas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah.
Lisan kita berdo’a. Hati kita berharap. Tapi, apakah
kita pun merenungkan maknanya?
(Mohammad
Fauzil Adhim/Hidayatullah.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar