Lelaki tua menjelang 80-an itu menatap
istrinya. Lekat-lekat. Nanar. Gadis itu masih terlalu belia. Baru saja mekar.
Ini bukan persekutuan yang mudah. Tapi ia sudah memutuskan untuk mencintainya.
Sebentar kemudian iapun berkata, “Kamu kaget melihat semua ubanku? Percayalah!
Hanya kebaikan yang akan kamu temui di sini.” Itulah kalimat pertama Utsaman
bin Affan ketika menyambut istri terakhirnya di Syam, Naila. Selanjutnya adalah
bukti
Sebab cinta adalah kata lain dari
memberi... sebab memberi adalah pekerjaan... sebab pekerjaan cinta dalam siklus
memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi itu berat... sebab pekerjaan
itu harus ditunaikan dalam waktu lama... sebab pekerjaan berat dalam waktu lama
begitu hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang memiliki kepribadian kuat dan
tangguh... maka setiap orang hendaklah berhati-hati saat ia akan mengatakan,
“Aku mencintaimu.” Kepada siapapun!
Sebab itu adalah keputusan besar. Ada
taruhan kepribadian di situ. “Aku mencintaimu,” adalah ungkapan lain dari, “Aku
ingin memberimu sesuatu.” Yang terakhir ini juga adalah ungkapan lain dari,
“Aku akan memperhatikan dirimu dan semua situasimu untuk mengetahui apa yang
kamu butuhkan untuk tumbuh menjadi lebih baik dan bahagia... aku akan bekerja
keras untuk memfasilitasi dirimu agar bisa tumbuh semaksimal mungkin... aku
akan merawat dengan segenap kasih sayangku, proses pertumbuhan dirimu melalui
kebajikan harian yang kulakukan padamu... aku juga akan melindungi dirimu dari
segala sesuatu yang dapat merusak dirimu dan proses pertumbuhan itu...”
Taruhannya adalah kepercayaan orang yang kita cintai terhadap integritas
kepribadian kita. Sekali kamu mengatakan kepada seseorang, “Aku mencintaimu,”
kamu harus membuktikan ucapan itu. Itu deklarasi jiwa bukan saja tentang rasa
suka dan ketertarikan, tapi terutama tentang kesiapan dan kemampuan memberi,
kesiapan dan kemampuan berkorban, kesiapan dan kemampuan melakukan
pekerjaan-pekerjaan cinta: memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi.
Sekali deklarasi cinta tidak terbukti,
kepercayaan hilang lenyap. Tidak ada cinta tanpa kepercayaan. Begitulah bersama
waktu suami atau istri kehilangan kepercayaan kepada pasangannya. Atau anak
kehilangan kepercayaan kepada orang tuanya. Atau sahabat kehilangan kepercayaan
kepada kawannya. Atau rakyat kehilangan kepercayaan kepada pemimpinnya. Semua
dalam satu situasi: cinta yang tidak terbukti. Ini yang menjelaskan mengapa
cinta yang terasa begitu panas membara di awal hubungan lantas jadi redup dan
padam pada tahun kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Dan tiba-tiba saja
perkawinan bubar, persahabatan berakhir, keluarga berantakan, atau pemimpin
jatuh karena tidak dipercaya rakyatnya.
Jalan hidup kita biasanya tidak linier.
Tidak juga seterusnya pendakian. Atau penurunan. Karena itu konteks di mana
pekerjaan-pekerjaan cinta dilakukan tidak selalu kondusif secara emosional.
Tapi disitulah tantangannya: membuktikan ketulusan di tengah situasi-situasi
yang sulit. Disitu konsistensi diuji. Di situ juga integritas terbukti. Sebab
mereka yang bisa mengejawantahkan cinta di tegah situasi yang sulit, jauh lebih
bisa membuktikannya dalam situasi yang longgar.
Mereka yang dicintai dengan cara begitu,
biasanya merasakan bahwa hati dan jiwanya penuh seluruh. Bahagia
sebahagia-bahagianya. Puas sepuas-puasnya. Sampai tak ada tempat lagi yang
lain. Bahkan setelah sang pencinta mati. Begitulah Naila. Utsman telah memenuhi
seluruh jiwanya dengan cinta. Maka ia memutuskan untuk tidak menikah lagi
setelah suaminya terbunuh. Ia bahkan merusak wajahnya untuk menolak semua
pelamarnya. Tak ada yang dapat mencintai sehebat lelaki tua itu.
~ Anis Matta ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar