Bersembunyi di balik slogan ‘Ikhlas
Beramal’ agar bisa seenaknya membayar murah jasa guru tanpa memikirkan
bagaimana kesejahteraan keluarganya di rumah, adalah ciri manusia bermental
pecundang.
Lagipula sejak kapan keikhlasan guru
dalam mengajar diukur dari besar kecilnya gaji yang diterima? Makin kecil gaji
makin ikhlas gurunya, makin besar gaji artinya dia tidak ikhlas saat mengajar.
Aneh!
***
Aku adalah istri guru penghafal
Al-Quran. Tiga bulan setelah terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
besar-besaran dari kantornya empat tahun lalu, suami mendapat tawaran dari
kerabat untuk mengajar tahfidz di suatu sekolah menengah pertama Islam. Berbekal
ilmu yang didapatkan saat mengikuti kursus menghafal Quran sebelum menikah
dahulu, suami mengiyakan ajakan tersebut.
“Supaya, hafalan ayah tetap terjaga.
Lagipula tidak enak lama-lama menganggur di rumah.” Begitu ucap suami ketika
aku tanya alasan ia langsung menerima tawaran itu? Sebab gaji yang diberikan
sekolah jauh dari kata pantas. Tujuh ratus ribu per bulan, dengan jam kerja
dari jam tujuh pagi sampai setengah empat sore.
“Tidak tertarik mencari pekerjaan
dengan bayaran yang lebih pantas kah, Mas?” tanyaku.
Suami menggangguk, “Iya, nanti coba
Mas cari kerjaan yang lain.”
Demi melihat binar mata suami yang
penuh semangat, aku pun mendukung keputusannya.
Dan dari sinilah kisah kami dimulai …
Esoknya, setelah sarapan bersama,
suami berangkat ke sekolah dengan pakaian rapi, mirip saat ia masih mengantor
di perusahaan lama. Bedanya sekarang ia membawa peci hitam.
“Minta doanya ya, Dek,” suami
mengulurkan tangannya. Aku menyambut dan mencium punggung tangannya.
“Hati-hati di jalan, Mas.”
Lalu, Supra X keluaran tahun 2008
tersebut meluncur menyibak padatnya jalan raya.
Aku mengembuskan nafas panjang.
Sungguh, bagi siapapun yang menjadi seorang istri, ia akan berfikir keras
bagaimana caranya memutar otak agar bisa mengelola uang tujuh ratus ribu dalam
sebulan. Belum lagi ada buah hati yang sudah mulai memasuki usia sekolah TK.
Dan itulah yang aku pikirkan saat ini. Tapi baiklah, aku akan pikir nanti-nanti
saja. Setidaknya meski tidak banyak, tapi kami masih memiliki tabungan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga.
Hari pertama menjadi guru, suami
pulang dengan wajah berbinar.
“Bagaimana kerja hari ini, Mas?
Lancar?”
Suami meletakkan tas di atas lantai.
“Alhamdulillah lancar, Dek. Ternyata seru jadi guru itu, ya? Seperti ada
kebanggaan gitu bisa melihat siswa bisa menghafal Quran setelah Mas ajarin.”
Aku mengucap hamdalah. Bersyukur suami
bisa menikmati pekerjaannya.
Hari bergulir menjadi pekan, pekan melesat menjadi bulan. Pada hari pertama bulan selanjutnya, suami pulang dengan menyerahkan amplop gaji kepadaku. Saat kurobek ujung amplop, tampak tujuh lembar uang seratus ribuan.
“Terimakasih ya, Mas,” ucapku yang
disambut senyum oleh suami.
Namun uang tersebut tidak lama
utuhnya, sebab setelah itu aku belikan kebutuhan harian keluarga. Beras,
elpiji, listrik, air, bayar kosan, susu untuk si kecil dan lainnya. Persis di
hari yang sama, uang itu sisa dua ratus ribu di tangan. Sayangnya, uang itu
berkurang lagi di keesokan hari ketika suami meminta beli bensin. Ini masih
awal bulan tapi kondisi keuangan rasanya seperti akhir bulan. Maka, mau tidak
mau aku harus ‘membobol’ lagi uang simpanan.
Hal seperti ini terjadi terus menerus
pada bulan-bulan berikutnya. Sebelumnya aku berusaha untuk menyimpan perasaan
bingung mengatur keuangan di hadapan suami agar ia tidak tertekan. Namun
pertahanan itu pun akhirnya luruh juga.
“Mas, tidak berminat cari pekerjaan
lain, kah?”
Suami yang sedang menggendong si
kecil, menjawab, “Mas suka mengajar Al-Quran buat anak-anak, Dek. Kasihan
mereka sudah bagus perkembangannya. Sekarang sudah ada yang mau satu juz loh
hafalannya. Masa’ harus ditinggal begitu saja.”
“Tapi jujur, aku bingung ngelola uang
gaji Mas. Gak cukup, Mas.”
Suami meletakkan si kecil di kursi,
lalu ia mendekat dan memegang tanganku. “Sabar ya, Dek. Nanti Mas coba cari
penghasilan tambahan lain.”
Penghasilan tambahan lain itu akhirnya
diwujudkan dengan membuka kelas menghafal Quran di kampung. Karena luas kosan
kami tidak memadai untuk menampung siswa, jadi suami coba izin ketua RT untuk
menggunakan mushola yang ada di ujung gang untuk tempat belajar. Syukur, izin
didapatkan. Bahkan ketua RT membantu mempromosikan kelas Tahfidz ini ke warga
sekitar.
Sebagai perkenalan, suami membuat
Kelas Trial Gratis selama dua pekan. Kegiatan belajar menghafal Al-Quran ini
dilaksanakan setiap sore pukul setengah 5, break saat sholat maghrib, kelas
dilanjut lagi sesudah sholat maghrib dan berakhir lima menit sebelum adzan
Isya’. Ada sekitar 25 anak yang mendaftar dan mereka cukup antusias mengikuti
kelas tahfidz. Pada pekan kedua rata-rata siswa sudah bisa menghafal surat
Al-Fajr, suami mengundang wali murid untuk rapat di musholla.
Pada pertemuan itu, suami
menyampaikan, “Ibu, Bapak. Anak-anak sudah dua pekan belajar menghafal Quran.
Dan Alhamdulillah mereka kini sudah bisa menghafal surat Al-Fajr, 30 ayat.
Seneng tidak Ibu Bapak lihat anaknya seperti itu?”
“Seneng,” jawab wali murid.
Suami tersenyum, “Jadi, selama dua
pekan lalu itu belajarnya masih trial, mencoba dan gratis. Nah, seumpama Ibu
Bapak ingin anak-anaknya bisa menghafal sampai satu juz atau lebih, bisa
didaftarkan di kelas reguler. Biayanya 60 ribu per bulan. Ya, kalau dihitung
hanya dua ribu sehari. Bila berminat, besok bisa daftar ulang ke saya.”
Malam itu, aku ada di sana, melihat
wali murid mengangguk-anggukkan kepala. Aku menganggapnya itu tanda setuju.
Tapi aku salah. Salah besar. Sebab, keesokan harinya yang mendaftar ulang hanya
empat anak. Sisanya tidak kembali.
Kecewa? Iya. Tapi ada yang jauh lebih
membuat hati sakit. Yakni omongan warga di belakang punggung kami.
“Guru ngaji kok minta bayaran. Gak
Ikhlas itu namanya.”
“Ternyata Al-Quran dijadiin ladang
bisnis.”
“Guru ngaji itu harusnya ngarepin pahala, bukan duit.”
Aku mencoba bersabar meski telinga
memerah karena ucapan-ucapan tersebut.
Meski hanya empat anak yang ikut kelas
tahfidz, tapi suami tetap mau mengajari mereka. Hari demi hari, banyak
perkembangan yang mereka dapat. Suami sering cerita tentang perkembangan anak
didiknya.
“Dek, salah satu muridku di musholla
ada yang pinter banget. Cepet gitu ngafalin Qurannya,” tutur suami dengan
antusias. Aku berusaha memperhatikan, meski tak dapat dipungkiri pikiranku
masih terganggu oleh ucapan warga.
***
Bila ditotal, pendapatan suami dari
mengajar, tidak lebih dari satu juta per bulan. Tentu bukan jumlah yang cukup
untuk menambal segala kebutuhan. Apalagi ketika ada pengeluaran tak terduga,
seperti periksa gigi si kecil atau tiba-tiba motor suami harus diservis,
mengganti spare part ini dan itu.
Keputusan lain akhirnya diambil, aku
meminta izin suami untuk berjualan nugget pisang. Awalnya suami tidak setuju,
khawatir aku kelelahan. Tapi setelah berdiskusi dan demi mengangkat
perekonomian keluarga, dia pun mengiyakan rencanaku.
Maka, mulai hari itu, tiap malam
membuat adonan nugget, mengukus dan memotong-motong adonan sesuai ukuran. Lalu
pada subuh harinya aku masak dan setelah jadi aku titip-titipkan di kantin
beberapa sekolah. Terkadang laku habis, tapi di hari lain masih sisa banyak.
Kegiatan berjualan ini benar-benar menguras tenaga, aku menjadi kurang
istirahat dan sering kelelahan.
Suatu malam, setelah membuat nugget
pisang untuk digoreng dan dijual esok hari, seperti biasa aku menidurkan si
kecil. Niat hati, aku juga ingin segera istirahat, namun saat itu kulihat suami
sedang memandang foto kedua orang tuanya yang tertempel di tembok dengan
tatapan kosong.
“Ada apa, Mas?” ucapku.
Suami sedikit tersentak, “Eh, tidak
ada apa-apa, Dek.”
“Kok ngelamun?”
Suami tersenyum, lantas menggeleng
lemah. “Gimana jualannya, Dek? Laris?”
“Alhamdulillah ada untung. Meskipun
masih ada beberapa sisa tadi,” ucapku.
“Alhamdulillah,” timpal suami. “Oh,
iya Dek. Kemarin Mas ketemu Ridho. Dia teman sekantor Mas waktu di perusahaan
dulu. Kita ngobrol lama, ternyata dia sekarang jadi pelatih anjing.”
“Pelatih anjing?” keningku terlipat.
Bingung.
“Iya.”
Suami memastikan. “Dia kerja di rumah orang kaya. Orang itu punya
beberapa anjing piaraan, jadi butuh dirawat dan dilatih. Biar nurut gitulah
intinya. Nah, Ridho diajak temannya ikut jagain dan ngelatih anjing itu. Kata
Ridho gajinya lumayan. Tiga setengah juta sebulan.”
“Wah, gede juga ya, Yah. Lebih gede
daripada gaji guru tahfidz, hehe,” aku benar-benar bercanda saat itu. Suami
juga tersenyum.
Tapi nantinya aku tahu, bahwa di balik
senyumnya, ternyata suami sedang menyimpan pikiran yang kusut di kepalanya.
Tengah malam itu aku terbangun karena
ingin buang air kecil. Tapi aku tidak melihat suami di tempat biasa ia tidur.
Saat kulihat keluar rumah, ternyata ia sedang duduk sendirian di kursi panjang
kosan di luar pintu. Di sampingnya, teronggok secangkir kopi yang isinya
tinggal ampas. Tak biasanya dia ngopi.
“Eh, kok belum bobo, Dek?” tanyanya.
“Mas yang kenapa belum bobo? Ayo
masuk.”
Suami menurut. Ia berjalan masuk kamar
kos sambil menenteng gelas kopi. Duduk selonjor di kasur tipis tempat ia biasa
tidur. Aku melihat jam di dinding, pukul setengah 12 malam.
“Mas kenapa?” tanyaku sambil memijat
kakinya. “Kalau bilang tidak apa-apa lagi, tak jewer kupingnya. Tadi ngelamun
sambil ngeliatin foto ibu bapak. Sekarang malah gak bobo sampai larut malam
gini. Gak biasanya. Ada apa?”
Dia sudah tidak bisa mengelak lagi.
Makin berusaha bersikap baik-baik saja, semakin terlihat bahwa ia tidak sedang
baik-baik saja.
“Ada apa?” tanyaku lagi.
Akhirnya suami mengaku…
“Tadi pagi, waktu Mas lagi nyimak
setoran hafalan anak-anak sekolah, Bapak di desa telepon,” tutur suami dengan
nada sendu. “Bapak ngasih kabar kalau Ibu sering sakit-sakitan. Badannya makin
kurus. Beliau tanya apakah lebaran tahun ini kita bisa pulang kampung?”
Terjawab sudah alasan mengapa hari ini
suami tampak sedih. Memang benar, sudah dua lebaran ini kami tidak pulang
kampung. Jarak kami dengan orang tua terpisah oleh pulau yang berbeda. Tiga jam
perjalanan laut ditambah dua hari perjalanan darat. Tiket bus tidak murah,
apalagi saat lebaran harga tiket naik. Seperti yang kusampaikan pada kalian
tadi, selama suami bekerja jadi guru tahfidz, ia hanya berpenghasilan kurang
dari satu juta sebulan. Maka, jangankan untuk pulang kampung, kadang untuk
kebutuhan makan sehari-hari pun kami harus meminjam uang tetangga. Jadi bukan
kami tak mau pulang, tapi sungguh tidak ada biayanya. Dua kali lebaran ini kami
hanya bisa bertatap muka dengan orang tua lewat video call. Bulan Ramadhan
tinggal satu setengah bulan lagi. Dan bila kami tidak pulang lebaran tahun ini,
artinya kami telah melewati tiga kali lebaran tanpa pulang kampung.
“Ternyata seperti ini rasanya menjadi
dewasa,” tampak ada genangan di pelupuk suami.
Kusejajari suami, lalu mengusap-usap
bahunya. Mencoba untuk membesarkan hatinya.
“Mas khawatir tidak sempat lihat ibu
lagi…”
Dan kini genangan itu telah meluncur
jatuh membasahi pipi.
Aku tak bisa berkata-kata. Ternyata
seperti ini laki-laki yang jiwanya sedang rapuh itu.
***
Beberapa hari lagi bulan Ramadhan akan
tiba. Di saat para pemuda masjid sedang bergotong-royong membersihkan karpet
dan sajadah, orang-orang mengecet tembok rumah, pedagang mulai merencanakan
menu ta’jil yang akan dijual menjelang buka puasa nanti, serta mall-mall
bersolek dengan berbagai aksesoris bernuansa Islami, sore itu juga suami pulang
dengan ekspresi yang sulit kutebak, lalu ia berkata,
“Dek, hari ini Mas berhenti jadi
pengajar tahfidz di sekolah dan di musholla. Karena mulai besok, Mas ikut kerja
bareng Ridho jadi pelatih anjing.”
(Fitrah Ilhami)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar