Ketika
engkau bertanya kepadaku tentang pendamping hidup yang sempurna, seakan-akan
kulihat Aisyah radhiyallahu 'anha. Dialah istri Nabi shallaLlahu 'alaihi wa
sallam yang banyak menimbulkan takjub pada hati yang merindukan kemesraan. Dia
pula istri Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam yang kecerdasannya membuat para
shahabat berdatangan kepadanya untuk belajar. Bila orang membicarakannya, kita
selalu teringat akan peristiwa bagaimana ia berkejar-kejaran mesra dengan
suaminya, Muhammad shallaLlahu 'alaihi wa sallam. Bila orang mendengar
julukannya, Humaira’ (yang pipinya merah jambu), terbayang rumah tangga yang
romantis menggemaskan. Itu sebabnya, para penceramah sering menceritakannya
pada khutbah-khutbah pernikahan.
Kisah
kemesraan Aisyah radhiyallahu 'anha membangkitkan kerinduan kita kepada rumah
tangga yang penuh cinta. Orang yang baru menikah—apalagi belum—akan segera
diliputi impian tentang istri yang manja dan menggemaskan. Bayang-bayang
tentang suasana romantis itu sayangnya—kadang-kadang—tidak diimbangi dengan
membayangkan kecemburuannya yang sangat besar. Sehingga di saat kita bermimpi
tentang pernikahan yang penuh canda, istri kita menelungkupkan wajah karena
duka, sementara dada suami penuh dengan gejolak amarah. Sebabnya sederhana,
kita siap dengan romantisnya, tetapi tidak siap dengan rasa cemburu dan
kecurigaannya—meski kadang memang tidak berdasar.
Terkadang,
yang menyebabkan kita merasa kecewa bukanlah karena pasangan kita begitu
menjengkelkan, melainkan harapan yang tidak berimbang. Kita berharap mendapat
istri seperti Aisyah radhiyallahu 'anha, tetapi tidak siap dengan cemburunya
yang begitu besar. Kita sangat berhasrat mempunyai istri yang cerdas dan hebat
seperti beliau, tetapi kita tidak siap membimbingnya dari keadaan tidak tahu
apa-apa. Sesungguhnya, di balik kebesaran Aisyah radhiyallahu 'anha, ada suami
yang dengan sabar mendidiknya. Di balik kemesraan-kemesraannya, ada kelembutan
suami untuk senantiasa memahami. Tanpa itu, impian tinggal impian. Atau lebih
buruk dari itu, impian kita tentang rumah tangga yang penuh cinta, justru
menjadi awal duka yang tak kunjung berkesudahan.
Bagaimana
bisa demikian? Impian tentang pendamping hidup yang penuh perhatian, justru
menyebabkan kita senantiasa merasa kurang terhadap apa yang kita terima. Ini
memudahkan kita mengalami kekecewaan. Jika kekecewaan itu mencapai titik
kulminasi yang tak terbendung lagi, akhirnya dapat menjadi pemicu pertengkaran.
Ada ledakan emosi pada diri kita sehingga menyebabkan terucapnya kata-kata yang
buruk ketika tak kuat menahan gejolak kemarahan. Begitu ada yang mengganjal,
kita ungkapkan rasa tidak suka secara terang-terangan. Kalau ini terjadi, yang
muncul kemudian adalah suasana saling serang.
Allah
Ta’ala berfirman, "Allah tidak menyukai perkataan buruk (yang diucapkan)
secara terang-terangan, kecuali oleh orang yang dianiaya, Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui. Jika Kamu menyatakan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan
atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maha sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf Iagi Mahakuasa. (Q.S. An-Nisaa` [4]: 148-149).
Apa
yang bisa kita petik dari sini? Ketidaksukaan yang kita sembunyikan atau kita
kemukakan dengan cara yang paling lembut, akan membuahkan kebaikan. Sangat
mungkin terjadi, kita membenci sesuatu pada suami kita, padahal ternyata ia
merupakan kebaikan. Bila ketidaksukaan telanjur kita nyatakan secara
terang-terangan, sulit untuk menghapus kerenggangan antara kita dan dirinya.
Ini karena kita lebih mudah mengingat pengalaman pahit dan menyakitkan. Tanpa
kita ingat-ingat pun, kita akan ingat.
Nah,
kita sulit untuk menahan diri bila kekecewaan kita sudah memuncak. Jika emosi
kita selalu dalam keadaan tertekan—oleh rasa kecewa, misalnya—kendali emosi
kita akan menurun. Kita mudah tersinggung. Sehingga, apa pun yang terjadi dalam
rumah tangga, rasanya selalu membangkitkan kekecewaan. Sementara itu, apa yang
mengecewakan kita, terkadang bukan karena istri kita yang tidak beres,
melainkan karena—sekali lagi—pengharapan kita yang tidak seimbang. Kita hanya
menabung harapan tanpa berusaha menyelaraskan dengan kewajaran. Kita
menginginkan yang terbaik darinya, tetapi tidak menilai diri sendiri apakah
kita sudah pantas meraih yang terbaik atau belum.
Perlunya
menyeimbangkan harapan ini juga perlu dimiliki oleh para istri. Tak ada salahnya
kita berdoa memohon suami yang sempurna, tetapi pada saat yang sama kita harus
melapangkan dada untuk menerima kekurangan-kekurangannya. Kita boleh
memancangkan harapan, tetapi kita juga perlu bertanya apa yang sudah kita
persiapkan agar layak mendampingi suami idaman. Wallahu a’lam bish shawwab.
(Mohammad Fauzil Adhim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar