Halaman

Senin, 29 Januari 2018

SEAKAN KULIHAT AISYAH

Ketika engkau bertanya kepadaku tentang pendamping hidup yang sempurna, seakan-akan kulihat Aisyah radhiyallahu 'anha. Dialah istri Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam yang banyak menimbulkan takjub pada hati yang merindukan kemesraan. Dia pula istri Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam yang kecerdasannya membuat para shahabat berdatangan kepadanya untuk belajar. Bila orang membicarakannya, kita selalu teringat akan peristiwa bagaimana ia berkejar-kejaran mesra dengan suaminya, Muhammad shallaLlahu 'alaihi wa sallam. Bila orang mendengar julukannya, Humaira’ (yang pipinya merah jambu), terbayang rumah tangga yang romantis menggemaskan. Itu sebabnya, para penceramah sering menceritakannya pada khutbah-khutbah pernikahan.

Kisah kemesraan Aisyah radhiyallahu 'anha membangkitkan kerinduan kita kepada rumah tangga yang penuh cinta. Orang yang baru menikah—apalagi belum—akan segera diliputi impian tentang istri yang manja dan menggemaskan. Bayang-bayang tentang suasana romantis itu sayangnya—kadang-kadang—tidak diimbangi dengan membayangkan kecemburuannya yang sangat besar. Sehingga di saat kita bermimpi tentang pernikahan yang penuh canda, istri kita menelungkupkan wajah karena duka, sementara dada suami penuh dengan gejolak amarah. Sebabnya sederhana, kita siap dengan romantisnya, tetapi tidak siap dengan rasa cemburu dan kecurigaannya—meski kadang memang tidak berdasar.
Terkadang, yang menyebabkan kita merasa kecewa bukanlah karena pasangan kita begitu menjengkelkan, melainkan harapan yang tidak berimbang. Kita berharap mendapat istri seperti Aisyah radhiyallahu 'anha, tetapi tidak siap dengan cemburunya yang begitu besar. Kita sangat berhasrat mempunyai istri yang cerdas dan hebat seperti beliau, tetapi kita tidak siap membimbingnya dari keadaan tidak tahu apa-apa. Sesungguhnya, di balik kebesaran Aisyah radhiyallahu 'anha, ada suami yang dengan sabar mendidiknya. Di balik kemesraan-kemesraannya, ada kelembutan suami untuk senantiasa memahami. Tanpa itu, impian tinggal impian. Atau lebih buruk dari itu, impian kita tentang rumah tangga yang penuh cinta, justru menjadi awal duka yang tak kunjung berkesudahan.
Bagaimana bisa demikian? Impian tentang pendamping hidup yang penuh perhatian, justru menyebabkan kita senantiasa merasa kurang terhadap apa yang kita terima. Ini memudahkan kita mengalami kekecewaan. Jika kekecewaan itu mencapai titik kulminasi yang tak terbendung lagi, akhirnya dapat menjadi pemicu pertengkaran. Ada ledakan emosi pada diri kita sehingga menyebabkan terucapnya kata-kata yang buruk ketika tak kuat menahan gejolak kemarahan. Begitu ada yang mengganjal, kita ungkapkan rasa tidak suka secara terang-terangan. Kalau ini terjadi, yang muncul kemudian adalah suasana saling serang.
Allah Ta’ala berfirman, "Allah tidak menyukai perkataan buruk (yang diucapkan) secara terang-terangan, kecuali oleh orang yang dianiaya, Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Jika Kamu menyatakan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maha sesungguhnya Allah Maha Pemaaf Iagi Mahakuasa. (Q.S. An-Nisaa` [4]: 148-149).
Apa yang bisa kita petik dari sini? Ketidaksukaan yang kita sembunyikan atau kita kemukakan dengan cara yang paling lembut, akan membuahkan kebaikan. Sangat mungkin terjadi, kita membenci sesuatu pada suami kita, padahal ternyata ia merupakan kebaikan. Bila ketidaksukaan telanjur kita nyatakan secara terang-terangan, sulit untuk menghapus kerenggangan antara kita dan dirinya. Ini karena kita lebih mudah mengingat pengalaman pahit dan menyakitkan. Tanpa kita ingat-ingat pun, kita akan ingat.
Nah, kita sulit untuk menahan diri bila kekecewaan kita sudah memuncak. Jika emosi kita selalu dalam keadaan tertekan—oleh rasa kecewa, misalnya—kendali emosi kita akan menurun. Kita mudah tersinggung. Sehingga, apa pun yang terjadi dalam rumah tangga, rasanya selalu membangkitkan kekecewaan. Sementara itu, apa yang mengecewakan kita, terkadang bukan karena istri kita yang tidak beres, melainkan karena—sekali lagi—pengharapan kita yang tidak seimbang. Kita hanya menabung harapan tanpa berusaha menyelaraskan dengan kewajaran. Kita menginginkan yang terbaik darinya, tetapi tidak menilai diri sendiri apakah kita sudah pantas meraih yang terbaik atau belum.
Perlunya menyeimbangkan harapan ini juga perlu dimiliki oleh para istri. Tak ada salahnya kita berdoa memohon suami yang sempurna, tetapi pada saat yang sama kita harus melapangkan dada untuk menerima kekurangan-kekurangannya. Kita boleh memancangkan harapan, tetapi kita juga perlu bertanya apa yang sudah kita persiapkan agar layak mendampingi suami idaman. Wallahu a’lam bish shawwab.
(Mohammad Fauzil Adhim)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar