Dulu kita
sulit memublikasikan karya tulis. Jangankan
dimuat di rubrik opini koran nasional, sekadar nongol di rubrik surat pembaca
pun sulit. Dulu kebanyakan kita
hanyalah pembaca, bukan penulis. Kita penerima informasi, bukan pembuat
informasi. Tapi itu dulu. Kini, setiap
orang bisa menjadi penulis sekaligus memublikasikan karyanya. Bahkan, bukan
sekadar karya tulis, tapi juga karya foto dan video. Semua itu dimungkinkan
karena Allah SWT telah menganugerahkan teknologi internet kepada kita.
Teknologi yang mulai banyak menyebar sejak awal 2000 ini telah membuka luas
sekat-sekat yang dulu membatasi kita. Hebatnya
lagi, teknologi ini mampu memberi wadah berinteraksi dengan pembaca secara
langsung. Kita bisa paham bagaimana
reaksi pembaca, siapa yang sepakat dan siapa yang tidak, bahkan debat kusir pun
bisa berlangsung lama di sini.
Lewat media ini seorang dai tak perlu khawatir tak memiliki podium untuk berceramah. Sebab, ia bisa dengan mudah mengunjungi publik lewat media social yang disediakan teknologi ini. la bisa menggunakan blog, email, faeebook, twitter, whatsapp, dan BBM. Pendek kata, ia bisa berceramah kapan saja. Tak bisa kita pungkiri, media "tak berkabel" ini begitu banyak membuka kesempatan kepada kita untuk berbuat baik. Lewat media ini, kita bisa membangun izzul Islam wal Muslimin. Tetapi, kita tak boleh lupa, terknologi ini juga memberi kesempatan kepada setan untuk berbuat jahat.
Bukankah
terbukanya kesempatan menjadi titik lemah manusia yang tak mampu mengendalikan
hawa nafsu? Seseorang bisa dengan mudah masuk perangkap setan dan
sekutu-sekutunya. Seorang perempuan,
misalnya, tanpa sadar "berkhalwat" dengan seorang laki-Iaki lewat
fasilitas chatting. Memang, mereka tidak duduk berdekatan, tidak saling
melihat, tidak pula saling mendengar. Namun,
materi obrolan dalam wujud untaian huruf cukuplah menjadi bukti bahwa mereka
sedang intirn. Contoh lain, seseorang bisa menyebar ghibah
dan fitnah hanya lewat satu ketukan enter. Atau, seseorang juga bisa membuat dan
menyebarluaskan cerita-cerita yang tak perlu, atau kisah-kisah yang bisa mencederai
iman, bahkan melukai akidah.
Lewat internet,
berita-berita yang tak jelas sumbernya dan tak pasti juga kebenarannya sangat
mudah dikonsumsi. Jangankan sekadar mengetahui
apakah berita-berita itu bersumber dari orang-orang fasik, identitas pembuat
berita pun kita tak tahu dan sulit melakukan verifikasi (tabayun). Padahal, tabayun adalah perintah Allah SWT. Belum
lagi bila kita bicara asal usul suatu berita. Kita tidak tahu lagi siapa orang pertama yang
membuat berita tersebut. Kita tidak tahu
apakah berita tersebut sudah bias ketika dipublikasikan kembali oleh orang kedua,
ketiga, dan seterusnya.
Ya. Kita benar-benar berada dalam belantara
informasi yang lebat lagi gelap. Jika kita tidak betul-betul menguasai
"belantara" itu, sudah pasti kita akan tersesat, bahkan ikut
menyesatkan orang lain. Agaknya, jika kita tidak benar-benar siap, diam jauh
lebih baik ketimbang ikut-ikutan berceloteh atau sekadar membagi-bagi
informasi. Bukankah Rasulullah SAW
berpesan bahwa jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaknya ia
berkata baik atau diam? Wallahu a'lam.
Sumber: Majalah Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar