Hujan di bulan Januari benar-benar telah menjadi hujan sehari-hari. Seperti hari itu, sebuah ahad dengan langit yang pekat. Mendung menggantung di setiap ujung langit, menghias segala lintas cakrawala. Sepanjang waktu ia menumpahkan bebannya. Beberapa saat merintik, kemudian menderas dan kadang mengguyur. Namun laki-laki itu tetap tak jeri. Tenang dan mantap dia mengendarai motornya, dengan kecepatan rata-rata, meski sesekali digebernya juga. Sesosok perempuan yang menggelendot di punggungnya tak sekalipun membuatnya mengeluh pegal dan sejenisnya. Istrinya. Ini adalah perjalanan berikutnya, setelah sebelumnya mereka menyusuri jalanan Jakarta nyaris 1,5 jam lamanya. Ini adalah perjalanan ke tujuan selanjutnya, setelah sebelumnya bercengkerama selama hampir dua jam bersama sebuah keluarga salah satu kerabatnya.
Hujan di bulan Januari sungguh memang
berarti hujan sehari-hari. Seperti siang itu, sebuah siang dengan mendung
gelap. Genangan air meriak di sepanjang jalan. Angin basah berkesiur,
menebarkan hawa dingin menggigilkan. Suasana yang membuat nyaris semua orang
enggan meninggalkan rumah. Namun laki-laki itu tak merasa perlu untuk
membatalkan perjalanan selanjutnya. Sejak matahari belum lagi sepenggalah,
mereka telah meninggalkan rumah. Di rumah keluarga pertama, mereka telah
sekalian beristirahat sejenak sambil mengeringkan badan serta shalat dzuhur dan
makan siang. Maka kini tiba saatnya mereka menuju tempat berikutnya, 45 menit
lamanya naik motor dengan kecepatan rata-rata.
Perempuan di boncengan motor itu termenung.
Betapa adil Allah yang mempertemukan dirinya dengan laki-laki ini. Di masa
lajangnya, ia amat jarang bertandang ke kaum kerabatnya. Bukan, bukan karena ia
tak punya kerabat di Jakarta, namun aktifitasnya yang sangat padat telah
membuatnya nyaris tak punya waktu untuk bersilaturahmi, bahkan untuk dirinya
sendiri. “Kapan terakhir kali kau berkunjung ke rumah bude-mu (sepupu ibunya)
di Tebet?” pernah suaminya bertanya. “Hmm, mungkin dua atau tiga tahun lalu,”
jawab perempuan itu ragu. “Kalau begitu, bude-mu mendapat jatah giliran
silaturahmi pertama, oke?” saran sang suami.
Air kembali tumpah saat mereka tiba di
sebuah komplek perumahan yang cukup elit. Sepasang anak kembar berceloteh riang
menyambut mereka, bahkan kemudian menantang sang suami bermain catur. Seluruh
keluarga berkumpul di ruang tamu, bercengkerama dan bercanda gembira.
Kadang-kadang, cengkerama itu diselingi diskusi seru tentang pekerjaan dan
kondisi Indonesia kontemporer. Selesai shalat ‘asar, mereka kembali memacu
kendaraan ke tujuan ketiga. Lagi-lagi, rintik hujan kembali menghalangi
pandangan mata. Kali ini, tak sampai tiga puluh menit mereka telah sampai di
tujuan. Sayang, sang tuan rumah sedang jalan-jalan ke mall. “Kita tunggu saja,
paling sebentar lagi pulang!” demikian simpul si laki-laki. Sang istri tak
terkejut. Ini bukan yang pertama kali. Beberapa pekan sebelumnya mereka pernah
mengunjungi seorang kerabat di Pasar Rebo yang jauhnya lebih dari dua puluh
kilo meter dari rumah mereka. Sayang sekali, rumah yang mereka kunjungi tak
berpenghuni. Mereka kembali pulang dalam gerimis, setelah menitip pesan ke
tetangga. Pekan depannya, laki-laki itu kembali mengajak sang istri untuk
mengunjungi keluarga itu. ‘Kemarin kan kita belum ketemu mereka?” demikian
alasannya. Meski merasa aneh, sang istri hanya mengangguk saja. Ini adalah
pelajaran untuk sebuah ketulusan, demikian batinnya.
Air bagai dicurahkan dari langit ketika
keluarga yang dikunjungi tiba di rumah. Sesosok balita laki-laki menghambur ke
pelukan istri pria itu dan berceloteh riang, ”Tante, tadi aku ke Ramayana!”
Hingga setelah shalat magrib dan hujan tak lagi mengguyur, mereka kembali
menyusuri jalanan, menempuh jarak nyaris 40km. Pulang. Namun belum jauh mereka
meninggalkan rumah yang dikunjungi, laki-laki itu membelokkan motornya ke jalan
yang berlawanan arah dengan jalan menuju rumah. “Kita mampir sebentar ke
kost-an temenku. Sudah lama dia tak berkabar dan belum juga memenuhi janjinya
berkunjung ke rumah kita,” tanpa ditanya, dia menjelaskan kepada istrinya.
Malam telah cukup jauh beranjak saat mereka
tiba kembali di istana mungil mereka. Masih dengan kostum lengkap, sang istri
langsung merebahkan diri di pembaringan. “Aku meluruskan badan sebentar, ya.
Punggungku pegal sekali dan pantatku panas,” seringainya lucu. Dia
bertanya-tanya jika ia yang hanya membonceng di belakang saja secapek itu,
seperti apa lelah suaminya yang menyetir di depan dengan beban dirinya di
punggung, plus terpaan angin dan hujan dari depan? Tapi laki-laki itu hanya
tersenyum, mengusap keningnya dan berkata,”Pekan depan kita ke rumah Bulik Nur
di Tambun, yuk, Dek?”
Dalam deraan penat dan dengan mata
tertutup, perempuan itu mengangguk mantap. Di benaknya terbayang sambutan
hangat kaum kerabat dan sahabat-sahabat suaminya saat ia dan suaminya mengunjungi
mereka. Di telinganya terngiang kembali komentar beberapa kerabat lain, ”Suamimu
itu dari dulu terkenal kenceng silaturahminya, makanya dia disayang oleh
saudara-saudaranya.” Dia membuka mata saat sang suami menyentuh lengannya.
“Kita sudah seminggu lebih nggak main ke rumah Mbak Nik, ya Dek?” tanya
suaminya retoris. “Besok malam, insyaAllah,” jawabnya pendek. Padatnya
pekerjaan telah melewatkan jadwal mingguan mereka berkunjung ke salah satu
kerabat yang rumahnya hanya terpisah jarak dua gang dari rumah mereka itu.
Perempuan itu kembali mengatupkan kelopak matanya. Di benaknya kini terlintas
kata bijak para ulama, silaturahmi itu memanjangkan umur dan melapangkan rizki.
Di benaknya kini terlintas sabda rasul agar setiap anak menjaga silaturahmi
dengan kerabat dan sahabat orang tuanya. (@Azimah Rahayu)
Sumber:
Eramuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar