Jika
rumah menjadi sebaik-baik tempat menenangkan fisik, meneduhkan hati, maka
sejauh apa pun kaki melangkah, rumah juga yang menjadi tempat paling
dirindukan. Jika rumah bukanlah soal bangunannya yang kokoh, tetapi tempat
kebaikan bersemi dan ketenteraman hati diraih, maka hiburan terbaik bagi jiwa
yang penat adalah rumahnya sendiri. Ini rumah dalam makna maskan yang shalih.
Ada
banyak paradoks. Betapa sering kita menjumpai orang yang sangat jarang di
rumah, sebelum Subuh sudah ia tinggalkan untuk kerja dan malam baru tiba,
tetapi saat libur tiba justru ia tinggalkan untuk mencari ketenangan,
memperoleh hiburan. Demi meraih ketenangan itu, ia rela berpayah-payah menempuh
kemacetan yang menegangkan. Hanya sesaat istirahat, esok atau lusa harus segera
kembali bergulat dengan kemacetan agar dapat segera tiba di rumah. Kenapa? Esok
Subuh harus kembali berangkat kerja.
Lalu
mengapa ia tak tertarik untuk meneduhkan hati di rumah yang jarang ia nikmati
suasananya itu? Saya tak tahu apa jawabnya. Saya khawatir karena rumahnya tidak
shalih. Padahal inilah satu dari tiga kunci kebahagiaan
Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
مِنْ سَعَـادَةِ ابْنُ آدَمَ ثَلاَثَةٌ: اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْـكَنُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الصَّالِحُ، وَمِنْ شَقَاوَةِ ابْنُ آدَمَ: اَلْمَرْأَةُ السُّوْءُ، وَالْمَسْكَنُ السُّوْءُ، وَالْمَرْكَبُ السُّوْءُ. .
“Kebahagiaan manusia ada tiga: wanita
shalihah, tempat tinggal yang shalih, dan kendaraan yang shalih. Sedangkan
kesengsaraan manusia ialah: Wanita yang buruk (perangainya), tempat tinggal
yang buruk, dan kendaraan yang buruk.” (HR. Ahmad).
Istri
shalihah, tempat tinggal yang shalih dan kendaraan yang shalih. Bukan soal
kemegahan dan kemewahan fisik. Apa itu shalih? Ringkasnya, terhimpun dua hal,
yakni: 1. terhindar dari kerusakan, keburukan serta bahaya; 2. bermanfaat dan
mendatangkan kebaikan
Nah,
bagaimana dengan rumah kita? Bagaimana pula kendaraan kita? Ataukah rumah dan
kendaraan kita menjadi jalan keburukan? Megahnya membuat lalai dan
menyombongkan diri; sementara kerusakan dan kurangnya membuat kufur nikmat?
Na’udzubiLlahi min dzaalik.
Bagaimana pula dengan istri kita?
Adakah ia qana’ah, menjadi penggugah motivasi saat berada di samping kita,
mendorong teraihnya sebab barakahnya harta? Apa itu, harta barakah itu بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ ([diperoleh] dengan jiwa yang sederhana dalam berharap). Ia
sederhana dalam mengharap dan bersungguh-sungguh dalam menetapi amanah maupun
ikhtiar. Bukan بِإِشْرَافِ نَفْسٍ (dikejar dengan jiwa yang serakah, sangat haus harta, dan
mengharap seringan-ringan usaha). Bentuknya bisa berupa mengharapkan harta yang
sangat banyak berupa pemberian atau mengharapkan pendapatan lebih banyak
daripada kepatutan kinerjanya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
(Mohammad Fauzil Adhim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar