Yacouba Sawadogo hidup di tengah sabuk gurun
pasir Sahel, Sahara, Burkina Fasso, Afrika. Tahun 1970-an, daerah ini adalah
neraka dunia. Suhu panas menjerang tulang, badai pasir menggulung desa-desa
menjemput maut. Ternak mati, tanaman
enggan hidup, ribuan orang tewas kelaparan. Hanya ada satu dua jenis tanaman
yang tahan, dan hanya ada semut-semut dan rayap gurun yang betah di situ. Hujan
datang hanya setahun sekali. Begitu turun, airnya pergi dan menguap lagi dengan
cepat. Air pun tak mau berakrab ria dengan manusia-manusia di situ. Dataran segera
menjadi panas lagi. Angin pun memuai dan menjadi badai.
Yacouba tak ingin menyerah. Dia yakin bahwa
tanah, air dan matahari seharusnya menjadi kawan bagi manusia. Dia memikirkan
bagaimana menghentikan badai, menabung air, dan menghadirkan lagi hutan. Berbekal
cangkul dia menggali ratusan lubang, kira-kira seukuran 60x60 cm. Ke dalam
lubang, dia masukkan daun-daun tetanaman.
Kemudian, dia bongkar gunung-gunung kecil
sarang semut dan rayap, dan memindahkan semut itu ke lubang-lubang itu. Maka
semut dan rayap memakan daun itu. Kemudian, semut dan rayap itu menggali lebih
dalam lagi lubang-lubang itu. Mereka membentuk semacam terowongan-terowongan
kecil yang menghubungkan ratusan lubang itu satu sama lain.
Ketika hujan turun, maka air mengisi lubang
dan urat-urat buatan rayap-rayap ini. Air terperangkap di situ lebih lama, dan
menjadikan tanah basah dan lembab. Kemudian mulailah Yacouba menebar bibit
pohon keras maupun tanaman pangan jewawut (barley).
Sistem pengelolaan alam seperti ini dalam
bahasa lokal disebut zai. Dari saat menggali lubang hingga menanam bibit,
penduduk setempat menyebut dia orang sinting. Bagaimana mungkin tumbuhan bisa
hidup di padang pasir. Tapi Yacouba bergeming. Dia tetap yakin dengan
tindakannya.
Betul...Perubahan kelembaban tanah itu
berbuah. Bibit yang ditanam tumbuh! Pohon keras tumbuh! jewawut tumbuh. Dari tahun 1975 saat dia gali lubang, hingga
2005, sudah 25 hektar padang pasir terhijaukan. Sekarang mungkin lebih.
Hutan tumbuh mengundang datangnya burung. Di
kaki burung menempel berbagai biji yang dia bawa dari belahan lain Afrika. Maka
tumbuh pulalah bibit itu menjadi pohon. Makin luaslah daerah hijau. Dataran
Sahel hijau lagi, penduduk tak lagi sulit mencari air. Tak ada lagi kelaparan
karena setiap saat mereka panen jewawut. Kendaraan bermotor roda tiga
bulak-balik memanen jewawut.
Daerah itu menjadi hijau, tanah menjadi
subur dan lembab. Suhu di situ tak terlalu panas sehingga tak terbentuk angin
panas yang mengamuk dan menebar badai. Orang gila itu ternyata mampu membangun
surga kecil di tengah Sahara.
Yacouba adalah contoh bagaimana
memperlakukan air, tanah dan matahari sesuai dengan tepat. Zai adalah kearifan
lokal dalam mengelola alam. Yacouba menjadi inspirasi Afrika dan dunia. Dia
begitu dihargai dan dihormati. Metoda zai-nya dipraktikkan di beberapa bagian
Afrika, dan berhasil.
Dua atau tiga puluh tahun lagi padang pasir
Afrika mungkin akan jadi hutan lagi. Sementara hutan-hutan kita hilang, dan
kita takut tanah air kita menjadi padang pasir... Janganlah...
*Sumber:
Sahabat Petani Madrasah Al-Filaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar