Kita seringkali menganggap pernikahan
itu adalah peristiwa hati. Padahal sesungguhnya pernikahan adalah peristiwa
peradaban.
Ini bukan cuma tentang dua manusia yang
saling mencinta lalu mengucap akad. Tetapi bahkan ini merupakan peristiwa
peradaban yang mengubah demografi manusia.
Pernikahan adalah sayap kehidupan. Rumah
adalah benteng jiwa. Jika di rumah kita mendapat energi memadai, di luar rumah
kita akan produktif.
'Sakinah' bukan cuma 'tenang'. Ia
berasal dari kata 'sakan' yang artinya 'diam/tetap/stabil'. Maka ia menjadikan
tenang karena stabil, bukan tenang yang melalaikan.
Sakinah adalah perasaan tenang yang
lahir dari kemantapan hati. Manusia menjadi tenang saat kebutuhan-kebutuhannya
terpenuhi secara komprehensif.
Al Quran menjelaskan: 'Kami jadikan air
sebagai sumber kehidupannya'. Air (mani) merupakan: sumber (simbol) stabilitas
(psikis saat diatur volumenya dalam tubuh) dan produktifitas (kualitas semangat
& kuantitas keturunan).
Hakikat pernikahan tidak bisa dipelajari
dari manapun. Learning by doing.
Islam mengarahkan menikah muda agar rasa penasaran itu cepat terjawab.
Agar setelah 'rasa penasaran' itu
terjawab, perhatian seseorang bisa lebih banyak tercurah dari urusan biologis
ke intelektualitas-spiritualitas.
Tidak perlu takut terhadap beban hidup,
yang perlu dilakukan hanya mengelolanya. Sebab pelaut ulung pun lahir setelah
melewati gelombang-gelombang samudera.
Yang bisa membuat kita melewati
gelombang itu adalah persepsi awal yang benar tentang cinta. Yaitu cinta
sebagai dorongan untuk terus memberi pada yang kita cintai.
Hubungan yang terbina dari sini bukan
hanya hubungan emosional, tapi juga spiritual-rasional. Karena keluarga ini
adalah basis sosial terkecil untuk membangun peradaban.
(Anis
Matta/Islamedia.co)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar