Kota merupakan habitat penting bagi
kehidupan manusia. Lebih dari lima puluh persen penduduk dunia saat ini berada
di perkotaan. Tahun 2050, diperkirakan peningkatan urbanisasi global akan
mencapai 70 persen. Di Indonesia, penduduk perkotaan tahun 2010 telah mencapai
58 persen.
Diperkirakan, pada 2025 akan mencapai 68
persen. Dengan pertumbuhan populasi yang sedemikian pesat, kota akan menghadapi
permasalahan transportasi, lapangan kerja, permukiman, dan perubahan iklim.
Kota telah memberi pengaruh besar terhadap
perubahan iklim. Berdasarkan laporan UN Habitat 2011 Global Report on Human
Settlements, kota telah menyumbang 70 persen polusi dunia melalui emisi gas
rumah kaca. Sumbernya berasal dari konsumsi bahan bakar fosil untuk listrik,
transportasi, industri, dan sampah.
Perubahan kota memang tidak dapat
dihindari. Bukan hanya manusia yang harus beradaptasi dengan perubahan
tersebut, burung pun demikian. Agar dapat bertahan, burung harus beradaptasi
yang tentu saja membutuhkan waktu dan korban. Burung harus merubah pola
perilakunya mulai dari perilaku sarang, mencari makan, hingga mengenali
jenis-jenis ancaman baru yang sebelumnya tidak pernah ditemui.
Tidak semua jenis burung dapat mengadopsi
perkotaan sebagai rumah keduanya. Sekitar empat persen saja burung hutan yang
dapat beradaptasi, selebihnya sangat sulit. Bahkan jenis-jenis seperti
rangkong, ayam-ayaman, dan kelompok burung pelanduk tidak dapat beradaptasi
sama sekali dengan lingkungan yang dipenuhi rimba beton kota.
Kajian Jared M. Diamond mengenai adaptasi
burung terhadap perkembangan kota di Papua Niugini (1986) dapat menjelaskan.
Menurut Diamond, kacamata laut (Zosterops chloris) memerlukan waktu 50 tahun
untuk memperluas wilayah jelajahnya hingga ke Kota Wau. Artinya, sang burung
membutuhkan waktu lima dasawarsa untuk beradaptasi sejak dibentuknya kota
tersebut.
Begitu juga dengan elang bondol (Haliastur
indus), yang tahun 1983 mulai makan bangkai hewan pengerat yang mati tertabrak
kendaraan bermotor. Sebelumnya elang bondol, harus belajar untuk tidak menjadi
korban dengan cara beradaptasi dengan kendaraan bermotor. Jika mereka tetap
ngotot menyantap ikan lezat yang menjadi makanan favoritnya, tak ada pilihan
lain, elang bondol harus menyingkir ke tempat di mana masih tersedia ikan di
perairan yang cukup bersih. Tidak mengherankan, burung yang menjadi maskot DKI
Jakarta ini justru tidak bisa bertahan hidup di belantara kota Jakarta. Mereka
kini hanya bisa bertahan hidup beberapa pulau kecil di Kepulauan Seribu.
Keberadaan gedung pencakar langit pun
memakan korban (burung). Menurut NYC Audubon, lembaga pemerhati burung liar dan
habitatnya di New York, lampu yang terlalu terang membuat burung disorientasi
saat terbang sehingga mengganggu sistem navigasi. NYC Audubon memperkirakan,
sebanyak 90 ribu burung mati setiap tahunnya akibat menabrak dinding kaca
gedung.
Perubahan iklim yang berlangsung sangat
cepat juga membuat burung kesulitan menyesuaikan diri. Ada burung yang
bergantung pada rentang suhu tertentu. Dengan hutan kota yang sehat, yang
menyediakan relung hidup yang lebih beragam, burung-burung akan mampu bertahan di
antara belantara beton.
Jakarta perlu terus berjuang mengembangkan
ekosistem kota yang lebih baik, antara lain dengan meningkatkan Ruang Terbuka
Hijau (RTH) yang saat ini belum mencapai sepuluh persen dari luas wilayahnya.
RTH privat serta pekarangan rumah menjadi benteng terakhir bagi Jakarta dalam
mempertahankan kawasan hijaunya. Kehijauan di area terbuka ini berfungsi tidak
hanya mengurangi emisi, namun juga memungkinkan hidupan liar, seperti burung
dan kupu-kupu, dapat hadir kembali.
Sumber
: Burung Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar