Bismillahirrohmanirrohim.
Ketika kita ‘melabeli’ diri kita dengan sebutan Aktivis Dakwah Kampus (ADK),
tentu akan banyak pasang mata akan menyoroti setiap pergerakan kita baik di
dalam maupun di luar kampus. Tetapi, saya tidak akan membahas pandangan
orang lain (baca : bukan ADK) terhadap kinerja ADK. Pada kesempatan kali ini
saya akan membahas hasil pengamatan saya sebagai sesama ADK.
Aktivis Dakwah
Kampus (ADK), secara struktural dan sistematis memiliki wadah pergerakannya
masing-masing. Wadah (wajiha) tersebut biasanya dijadikan penanda mesin
pergerakan dan ideologi para ADK. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Dewan
Perwakilan Mahasiswa (DPM), Lembaga Dakwah (LD), dan organisasi-organisasi
bidang keilmuan yang ada di kampus baik di tingkat fakultas maupun universitas;
merupakan wadah penting yang harus ditiupkan napas-napas dakwah. Beberapa wadah
tersebut adalah organisasi-organisasi yang mencakup ranah siyasi, ‘ilmiy, dan
tentunya ranah dakwi. Namun, ADK dalam pergerakannya membawa misi-misi
dakwah tidak selalu berjalan mulus. Seringkali mereka menemui masalah-masalah
yang dapat menjegal pergerakan dakwahnya. Masalah atau kendala yang biasa
ditemui dalam pergerakan dakwah diataranya :
Pertama, budaya
“One Man Show”.
Budaya “One
Man Show” melekat pada setiap wajiha yang ada. Hal ini ditandai dengan
adanya satu individu saja yang dominan dalam kegiatan atau rapat rutin yang ada
di departemen, divisi, dan/atau dinas yang ada di wajihanya masing-masing. Pada
waktu acara si fulan yang dominan, pada waktu rapat (syuro’) si fulan lagi yang
dominan. Ketua pelaksana si fulan juga, pimpinan rapat si fulan lagi. Jika
dibiarkan terus-menerus hal ini dapat menyebabkan mengeroposnya sistem
pengkaderan. Sehingga, seolah-olah yang ada di wajiha tersebut hanya ada si
fulan saja. Budaya “Super Team” yang selama ini dibangun bisa berubah
menjadi budaya “Super Man”. Mari kita mengingat kembali bahwa islam ini
kokoh karena budaya ramai-ramainya (jama’ah).
Kedua, pudarnya
ketsiqohan jundiyah terhadap qiyadah.
Amirul Mukminin
Khalifah Umar Bin Khattab radhiyallahu’anhu pernah
berkata, “Tiada islam tanpa jamaah. Tiada jamaah tanpa qiyadah. Tiada
qiyadah tanpa ketaatan”. Perkataan tersebut tersebut menandakan
pentingnya ketsiqohan anggota terhadap pemimpin. Jika sudah terasa
gejala-gejala pudarnya ketsiqohan kita terhadap qiyadah, maka hal yang pertama
harus kita lakukan adalah mengingat dan meluruskan niat, bahwasanya niat kita
adalah lillahita’ala. Niat kita adalah mencari ridho dan mengharapkan
rahmat-Nya dengan wasilah (jalan) melalui pergerakan dakwah kampus.
Cukuplah perang uhud sebagai cerminan betapa pentingnya ketsiqohan itu. Misi
dakwah yang terkalahkan oleh tergiurnya dengan ghonimah. Mari kita tata
dan bersihkan kembali hati kita dari perkara “ghonimah-ghonimah” yang
dapat membengkokkan tujuan dan misi dakwah ini.
Ketiga,
munculnya paradigma “yang penting jalan” dalam menampilkan dakwah.
Dalam
menjalankan agenda-agenda dakwah, seringkali terdapat oknum-oknum yang
mengerucutkan definisi dakwah itu sendiri. Sangat disayangkan jika
agenda-agenda dakwah yang telah dirancang sedemikian rupa tetapi ditampilkan
secara parsial. Para kader dakwah dituntut militansinya dalam menampilkan
dakwah, karena menampilkan dakwah secara profesional akan lebih besar
pengaruhnya dibandingkan menampilkan dakwah dengan prinsip “yang penting
jalan”. Memperlihatkan dakwah secara profesional, energic, dan kuat itu
sangatlah penting.
Dalam ajaran
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada suatu ibadah yang suci
yaitu thawwaf di ka’bah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
membimbing para sahabat untuk menutupkan kain ihromnya ke pundak kiri dan pundak
kanan tidak boleh ditutup pada saat mengelilingi ka’bah dalam umroh (satu tahun
setelah perjuangan hudaibiyah) terutama ketika melewati ka’bah dari
rukun yamani sampai hajar aswad agar terlihat ummat muslim itu gagah dan kuat
(pada saat itu musyrikin ‘ubaish menonton kaum muslim dari jabal ’ubaish),
bahkan diperintahkan mengubah jalan para sahabat menjadi setengah lari supaya
terlihat seperti pasukan yang siap siaga. Begitupun kita, seharusnya dalam
perjuangan dalam berdakwah ini jangan “yang penting jalan” karena
sesungguhnya Allah menilai proses kita. Sudah semestinya kita tampil energic,
tampil totalitas kita, dan tampil kekuatan kita dalam mensyiarkan agama Allah.
Keempat,
minimnya kualitas kader.
Sekarang ini,
untuk mendapatkan gelar ADK itu sangatlah mudah. Orang yang berkecimpung dalam
ranah siyasi,’ilmiy, atau dakwi, rajin sholat di masjid lima
waktu dan berprilaku baik, bertudung labuh, dan sering terlihat dalam kegiatan
pendidikan dan pembinaan agama Islam dalam bentuk pengajian kelompok kecil
(mentoring) sudah bisa dikatakan ADK. Dari sana kita melihat minimnya standar
alim di lingkungan kita. Padahal hal semacam itu adalah kewajiban seorang
muslim. Sejatinya manusia memang tidak ada yang sempurna. Kita juga tidak bisa
menunggu sempurna baru mulai bergerak untuk berdakwah karena dakwah bukan
karena kita yang terbaik tapi bagaimana caranya kita menggiring umat untuk
sama-sama berproses menjadi baik. Namun, sudah sepantasnya bahwa ADK harus
memiliki kapasitas yang lebih dari masyarakat kebanyakan, baik dari segi
pengetahuan maupun kualitas dan kuantitas ibadah. Tapi apabila kita tinjau
menggunakan lembar mutaba’ah yaumiyah, maka akan terlihat minimnya kualitas dan
kuantitas ibadah ADK tersebut.
Selanjutnya,
ujub.
Permasalahan
ADK semakin kompleks dengan munculnya oknum-oknum yang kemudian memisahkan diri
dari kelompok masyarakat ammah dan menatap aneh kepada mereka yang tidak
berpenampilan dan berperilaku seperti dirinya. Padahal dakwah yang sebenarnya
adalah apabila kita mampu membawa mereka yang ammah itu untuk kenal dan
paham dengan syariat-syariat islam untuk kemudian secara besama-sama dapat
menjalani kehidupan islam secara kaffah, bukan meninggalkannya dengan
mencelanya. Karena hakikatnya kita adalah sama dengan mereka, hanya saja Allah subhanahu
wa ta’ala menyelamatkan kita lebih dahulu. Sesungguhnya ilmu itu bukan
seberapa banyaknya hafalan kita, bukan seberapa maksimalnya kualitas dan
kuantitas ibadah kita, tapi ilmu itu adalah yang mampu menimbulkan rasa takut
di hati kita terhadap Allah subhanahu wa ta’ala.
Permasalahan-permasalahan
diatas adalah permasalahan yang harus kita tumpas bersama dalam rangka
sampainya syiar-syiar Islam yang diridhoi ini. Mari kembali meluruskan niat dan
merapatkan barisan. Eksistensi ADK harus mampu membawa atmosfer baik
dilingkungannya.
Wallahu’alam.
(Ferry Yansah)
https://www.islamedia.id/2014/12/aktivis-dakwah-kampus-yuk-move-on.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar