Usia Rasul SAW benar-benar produktif
hingga usia terakhir. Apalagi ketika diukur dengan imej sebagian orang hari
ini. Kosa kata pensiun terlanjur lekat di benak mereka. Pensiun bagi sebagian
orang bukan saja berhenti bekerja, tetapi berhenti juga produktifitasnya.
Seakan tidak lagi menjadi orang penting di masyarakatnya setelah sebelumnya
begitu sentral posisinya. Seakan hanya tinggal menunggu dua hal: kedatangan
cucu dan kedatangan kematian. Tentu ini tidak benar.
Penelitian yang dilakukan di Amerika
oleh para pakar dari The University of Maryland mengatakan bahwa mereka yang
tetap beraktifitas setelah usia pensiun, menikmati kesehatan yang lebih baik
daripada yang tidak beraktifitas lagi setelah usia pensiun. Demikian juga
keadaan psikologinya, lebih stabil.
Penelitian yang dilakukan di Inggris
mendukung hal di atas. Dan menambahkan tentang hubungan antara penyakit pikun
dan pensiun. Pikun yang masih dikategorikan sebagai penyakit yang belum
diketahui penyebabnya itu diteliti untuk dicari hubungannya dengan berhentinya
aktifitas produktif setelah usia pensiun. Hasil penelitian pada 1320 orang yang
sudah pikun dan 382 orang yang berpotensi pikun itu adalah: ada hubungan antara
terlambatnya seseorang pensiun dengan terlambat datangnya penyakit pikun.
Karena otak masih terus aktif. (sumber: aljazeerah.net dan kaheel7.com).
Subhanallah. Islam memang tidak
pernah mengenal usia pensiun. Lihatlah dua ayat berikut ini,
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang
kepadamu yang diyakini.” (QS. Al-Hijr [15] : 99)
(Yang diyakini) adalah kematian.
Seperti yang dijelaskan oleh Salim bin Abdullah bin Umar, Abdurrahman bin Zaid
bin Aslam, Qatadah, al-Hasan al-Bashri, Mujahid. Sebagaimana yang dipilih oleh
Ibnu Jarir dan Bukhari. (lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/553, MS).
Beribadah kepada Allah batasnya
adalah ajal yang datang. Sebelum mati, seseorang harus terus beribadah. Ibadah
sendiri adalah aktifitas yang menuntut kesehatan akal. Karena bagi yang sudah
tidak sehat akalnya termasuk pikun sudah tidak mendapatkan beban beribadah. Itu
artinya, pikun seharusnya jauh dari mereka yang menjaga ibadahnya, biidznillah. Juga ayat berikut
ini,
“Dan Katakanlah, ’Bekerjalah kamu,
maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu,
dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan
yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakann.”
(QS. At-Taubah [9] : 105).
Ayat ini, menjelaskan bahwa bekerja
atau beraktifitas kebaikan terus dilakukan hingga kembali kepada Allah yang
Maha Mengetahui yang ghoib dan yang nyata.
Untuk itulah, Islam tidak pernah
mengenal kata pensiun. Hal itu bisa kita lihat dari dalil-dalil di atas. Adapun
penelitian hanya menguatkan ayat-ayat Allah yang tertulis. Untuk itulah, kita
bisa jumpai orang-orang besar dalam sejarah Islam, mereka tetap beraktifitas
seperti biasa hingga di penghujung usia.
Petunjuk utamanya berasal dari
Rasulullah SAW. Usia beliau jelas menggambarkan hal ini. Mari kita lihat di
akhir-akhir usia beliau.
Pada usia 53 tahun yang hari ini
dianggap sebagai MPP (Masa Persiapan Pensiun), Rasulullah harus melakukan
perjalanan menempuh padang pasir di tengah ancaman kematian. Yaitu perjalanan
mulia: Hijrah ke Kota Madinah. Kepala beliau dihargai 100 ekor unta bagi
siapapun yang bisa menangkapnya hidup atau mati. Perjalanan itu beliau tempuh
selama kurang lebih 15 hari. Beliau meninggalkan Kota Mekah pada malam 27
Shafar 14 Kenabian dan sampai di Kota Madinah tanggal 12 Rabi’ul Awwal 1 H,
setelah menetap di Quba’ selama 4 hari. Sebuah aktifitas yang terlalu
melelahkan dan berisiko untuk orang seusia itu.
Pada usia 55 tahun di mana dianggap
telah pensiun pada hari ini, Rasulullah SAW justru mendapatkan perintah baru
yang belum ada sebelumnya dan memerlukan kekuatan fisik, otak berikut tekad.
Yaitu jihad (perang). Perintah jihad baru diturunkan pada tahun 2 H. Jihad
jelas memerlukan kekuatan fisik yang terkadang perlu berhari-hari untuk sampai
di kamp musuh, dalam keadaan cuaca apapun. Juga kekuatan otak dalam mengatur
strategi perang, menganalisa kekuatan dan kelemahan serta informasi. Kekuatan
tekad sangat diperlukan dalam jihad. Tekad yang hadir dari iman yang menggelora
dan tidak padam hanya oleh ketakutan atau kesenangan, kekalahan atau
kemenangan. Kalau dirata-rata, beliau harus keluar untuk perang setiap 4 bulan
sekali. Jumlah peperangan yang diikuti langsung oleh Rasul ada 28 kali dari
tahun 2H – 9H (lihat: al-Athlas al-Tarikhi li Sirah al-Rasul, Sami Abdullah
al-Maghluts, h. 151, Maktabah al-‘Ubaikan, 1435H).
Fisik,
otak, tekad untuk perang, sungguh tidak mudah di usia 55 tahun.
Pada usia 60 tahun -madzhab pensiun
di barat dan perpanjangan 5 tahun terakhir bagi jabatan tinggi di Indonesia-,
Rasulullah SAW masih harus menjalani perjalanan jauh untuk melanjutkan dakwah
beliau. Di usia itu beliau masih harus menjalan 3 peperangan; Fath Makkah,
Hunain dan Thaif. Tanyakan hari ini, di mana ada panglima yang masih siap
memimpin di lapangan hingga usia 60 tahun. Shallallahu alaika ya Rasulallah...
Hingga pada detik-detik terakhir
beliau wafat, usia masih produktif untuk kebaikan. Dari 14 hari beliau sakit
kepala dan demam tinggi hingga beberapa kali pingsan, beliau masih mampu
memimpin para shahabatnya shalat berjamaah selama 11 hari. Pada Hari Sabtu
(beliau wafat hari senin), Rasul SAW merasakan sakitnya mereda, maka beliau pun
keluar untuk shalat di masjid walaupun harus dipapah oleh dua orang. Pada hari
Ahad, beliau masih melakukan kebaikan; membebaskan beberapa budak, shadaqah
sebesar 7 dinar (mata uang emas) dan menghibahkan senjata-senjata beliau untuk
muslimin.
Di sela-sela sakitnya itu beliau SAW
masih memberikan nasehat dan perintah kepada para shahabatnya. Di antaranya
beliau memberi kesempatan bagi siapapun yang mau membalas semua kesalahan
beliau selama ini. Menyampaikan agar tidak sama dengan Yahudi dan Nasrani yang
menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid. Menasehati agar berbuat
baik kepada seluruh masyarakat Anshar. Memerintahkan agar tidak boleh ada dua
agama di Jazirah Arab. Pada Shubuh terakhir untuk Rasulullah SAW (senin pagi),
beliau masih bangun pagi dan membuka sitar rumahnya untuk menyaksikan para
shahabatnya melakukan Shubuh berjamaah dan untuk melemparkan senyum manis
beliau; senyum perpisahan. Dan inilah kalimat terakhir yang dibisikkan di
telinga istri tercinta Aisyah radhiallahu anha,
“...bersama-sama dengan orang-orang
yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin,
orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman
yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisa’ [4] : 69)
“Ya Allah ampunilah dan rahmatilah
aku, dan pertemukan aku dengan ar-Rafiq al-a’la, allahuma ar-rafiq al-a’la.”
(Lihat: ar-Rahiq al-Makhtum h. 370-374, Dar Ibn al-Khaldun)
Sungguh inilah produktifitas usia
yang tak pernah mengenal pensiun. Benar-benar hingga hembusan nafas terakhir.
Hingga kekuatan terakhir, saat tangan terkulai. Dan beliau SAW pun menghadap
Allah yang Maha Tinggi pada Hari Senin waktu Dhuha, 12 Rabi’ul Awwal 11 H.
Bukankah kita sering berbicara
tentang prestasi hidup dan produktifitas usia. Kini kita tahu, Rasulullah SAW
sang teladan itu. Capaian usia maksimal dan ideal. Karena beliau tidak pernah
mengenal pensiun.
https://www.eramuslim.com/peradaban/sirah-tematik/rasulullah-tak-pernah-pensiun.htm#.XFK2l1wzbIU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar