Pada hari-hari pertama pernikahan
kami, suami bertanya, “Ke mana saja uangmu selama ini?” Pertanyaan itu sungguh
menggedor dadaku. Ya, ke mana saja uangku selama ini? Buku tabunganku tak
pernah berisi angka belasan hingga puluhan juta. Selalu hanya satu digit. Itu
pun biasanya selalu habis lagi untuk kepentingan yang agak besar seperti untuk
bayar kuliah (ketika aku kuliah) dan untuk kepentingan keluarga besarku di
kampung. Padahal, kalau dihitung-hitung, gajiku tidaklah terlalu kecil-kecil
amat. Belum lagi pendapatan lain-lain yang kudapat sebagai penulis, instruktur
pelatihan menulis, pembicara di berbagai acara, guru privat, honor anggota tim
audit ataupun tim studi. Lalu, ke mana saja uangku selama
ini? Kepada suamiku, waktu itu aku membeberkan bahwa biaya operasional untuk
keaktifanku cukup besar. Ongkos jalan, pulsa telepon, nombok biaya kegiatan,
makan dan traktiran. Intinya, aku mencari apologi atas aliran uangku yang tidak
jelas.
Namun diam-diam aku malu padanya.
Sesaat sebelum pernikahan kami, dia berkata, “Gajiku jauh di bawah gajimu...”.
Kata-kata suamiku -ketika masih calon- itu membuatku terperangah. “Yang benar
saja?” sambutku heran. Dengan panjang kali lebar kemudian dia menjelaskan
kondisi perusahaan plat merah tempatnya bekerja serta bagaimana tingkat
numerasinya. Yang membuatku lebih malu lagi adalah karena dengan gajinya yang
kecil itu, setelah empat tahun hidup di Jakarta, ia telah mampu membeli sebuah
sepeda motor baru dan sebuah rumah –walaupun bertipe RSS- di dalam kota
Jakarta. Padahal, ia tidak memiliki sumber penghasilan lain, dan dikantornya
dikenal sebagai seorang yang bersih, bahkan “tak kenal kompromi untuk urusan
uang tak jelas.” Fakta bahwa gajinya kecil membuatku tahu bahwa suamiku adalah
seorang yang hemat dan pandai mengatur penghasilan. Sedang aku?
***
Hari-hari pertama kami
pindahan. Aku menata baju-baju kami di
lemari. “Mana lagi baju, Mas?” tanyaku pada suami yang tengah berbenah. “Udah,
itu aja!” Aku mengernyit. “Itu aja? Katanya kemarin baju Mas banyak?” tanyaku
lebih lanjut. “Iya, banyak kan?” tegasnya lagi tanpa menoleh. Aku kemudian
menghitung dengan suara keras. Tiga kemeja lengan pendek, satu baju koko, satu
celana panjang baru, tiga pasang baju seragam. Itu untuk baju yang dipakai
keluar rumah. Sedang untuk baju rumah, tiga potong kaos oblong dengan gambar
sablon sebuah pesantren, dua celana pendek sedengkul dan tiga pasang pakaian
dalam. Ketika kuletakkan dalam lemari, semua itu tak sampai memenuhi satu sisi
pintu sebuah lemari. Namun dua lemari besar itu penuh. Itu artinya pakaianku
lebih dari tiga kali lipat lebih banyak dibanding jumlah baju suamiku. Kata
orang, kaum wanita biasanya memang memiliki baju lebih banyak dibanding kaum
laki-laki. Tapi isi lemari baju itu memberikan jawaban atas banyak hal padaku.
Terutama, pertanyaannya di hari-hari pertama pernikahan kami tentang ke mana
saja uangku. Isi lemari itu memberi petunjuk bahwa selain untuk
keluarga dan organisasi, ternyata aku menghabiskan cukup banyak uang untuk
belanja pakaian. Oo!
Pekan-pekan pertama aku hidup
bersamanya. Aku mencoba mencatat semua
pengeluaran kami. Dan aku sudah mulai memasak untuk makan sehari-hari. Cukup
pusing memang. Apalagi jika melihat harga-harga yang terus melonjak. Tapi coba
lihat...! Untuk makan seminggu, pengeluaran belanjaku tak pernah lebih dari
seratus ribu. Padahal menu makanan kami tidaklah terlalu sederhana: dalam
seminggu selalu terselip ikan, daging atau ayam meski tidak tiap hari.
Buah–makanan -kesukaanku- dan susu –minuman favorit suamiku- selalu tersedia di
kulkas. Itu artinya, dalam sebulan kami berdua hanya menghabiskan kurang dari
lima ratus ribu untuk makan dan belanja bulanan. Aku jadi
berhitung, berapa besar uang yang kuhabiskan untuk makan ketika melajang? Aku
tak ingat, karena dulu aku tak pernah mencatat pengeluaranku dan aku tidak
memasak. Tapi yang pasti, makan siang dan malamku rata-rata seharga sepuluh
hingga belasan ribu. Belum lagi jika aku jalan-jalan atau makan di luar bersama
teman. Bisa dipastikan puluhan ribu melayang. Itu artinya, dulu aku menghabiskan
lebih dari 500ribu sebulan hanya untuk makan? Ups!
Baru sebulan menikah. “De, kulihat pembelian pulsamu cukup banyak?
Bisa lebih diatur lagi?” “Mas, untuk
pulsa, sepertinya aku tidak bisa menekan. Karena itu adalah saranaku mengerjakan
amanah di organisasi.” Si mas pun mengangguk. Tapi ternyata, kuhitung dalam
sebulan ini, pengeluaran pulsaku hanya 300 ribu, itu pun sudah termasuk pulsa
untuk hp si Mas, lumayan berkurang dibanding dulu yang nyaris selalu di atas
500 ribu rupiah.
Masih bulan awal perkawinan
kami. Seminggu pertama, aku diantar
jemput untuk berangkat ke kantor. Tapi
berikutnya, untuk berangkat aku nebeng motor suamiku hingga ke jalan raya dan
meneruskan perjalanan dengan angkutan umum sekali jalan. Dua ribu rupiah saja.
Pulangnya, aku naik angkutan umum. Dua kali, masing-masing dua ribu rupiah.
Sebelum menikah, tempat tinggalku hanya berjarak tiga kiloan dari kantor. Bisa
ditempuh dengan sekali naik angkot plus jalan kaki lima belas menit. Ongkosnya
dua ribu rupiah saja sekali jalan. Tapi dulu aku malas jalan kaki.
Kuingat-ingat, karena waktu mepet, aku sering naik bajaj. Sekali naik enam ribu
rupiah. Kadang-kadang aku naik dua
kali angkot, tujuh ribu rupiah pulang pergi. Hei, besar juga ya ternyata ongkos
jalanku dulu? Belum lagi jika hari Sabtu Ahad. Kegiatanku yang banyak membuat
pengeluaran ongkos dan makan Sabtu Ahadku berlipat.
Belum lagi tiga bulan menikah. “Ke ITC, yuk, Mas?” Kataku suatu hari. Sejak
menikah, rasanya aku belum lagi menginjak ITC, mall, dan sejenisnya. Paling
pasar tradisional. “Oke, tapi buat daftar belanja, ya?” kata Masku. Aku
mengangguk. Di ITC, aku melihat ke sana ke mari. Dan tiap kali melihat
yang menarik, aku berhenti. Tapi si Mas selalu langsung menarik tanganku dan
berkata,”Kita selesaikan yang ada dalam daftar dulu?” Aku mengangguk malu. Dan
aku kembali teringat, dulu nyaris setiap ada kesempatan atau pas lewat, aku
mampir ke ITC, mall dan sejenisnya. Sekalipun tanpa rencana, pasti ada sesuatu
yang kubeli. Berapa ya dulu kuhabiskan untuk belanja tak terduga itu?
Masih tiga bulan pernikahan “Kita
beli oleh-oleh sebentar ya, untuk Bude?” Masku meminggirkan motor. Kios-kios
buah berjejer di pinggir jalan. Kami dalam perjalanan silaturahmi ke rumah
salah satu kerabat. Dan membawakan oleh-oleh adalah bagian dari tradisi
itu. “Sekalian, Mas. Ambil uang ke ATM
itu...” Aku ingat, tadi pagi seorang tetangga ke rumah untuk meminjam uang. Ini
adalah kesekian kali, ada tetangga meminjam kepada kami dengan berbagai alasan.
Dan selama masih
ada si Mas selalu mengizinkanku untuk memberi
pinzaman(meski tidak langsung saat itu juga). Semua itu membuatku tahu,
meskipun hemat, si Mas tidaklah pelit. Bersikaplah pertengahan, begitu katanya.
Jangan menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas, tapi jangan
lantas menjadi pelit!
***
Semester pertama pernikahan.
Mengkilat. Elegan. Kokoh. Masih baru. Gress. Begitu sedap dipandang mata. Benda
itu, sudah sekian lama kuinginkan. Sebuah laptop baru kelas menengah (meski
masih termasuk kategori low end). Namun selama ini, setiap kali melihatnya di
pameran atau di toko-toko komputer, aku hanya bisa memandanginya dan bermimpi.
Tak pernah berani merencanakan, mengingat duitku yang tak pernah cukup. Tapi
rasanya, dalam waktu dekat benda di
etalase itu akan kumiliki. Rasanya sungguh indah, memiliki sebuah benda
berharga yang kubeli dengan uangku sendiri, uang yang kukumpulkan dari gajiku.
Sejak menikah, aku tak pernah lagi
membeli baju untuk diriku sendiri. Pakaian dan jilbabku masih dapat di-rolling
untuk sebulan. Sejak menikah, aku memilih membawa makan siang dari rumah ke
kantor. Aku juga jarang ke mall lagi. Dan kini, setiap kali akan membeli
sesuatu, aku selalu bertanya: perlukah aku membeli barang itu? Indahnya, aku
menikmati semua itu. Dan kini, aku bisa menggunakan tabunganku untuk sesuatu
yang lebih berharga dan tentu saja bermanfaat bagi aktifitasku saat ini, lingkunganku
dan masa depanku nanti.
Aku bersyukur kepada Allah. Semua
ini, bisa dikatakan sebagai berkah pernikahan. Bukan berkah yang datang
tiba-tiba begitu saja dari langit. Tapi berkah yang dikaruniakan Allah melalui
pelajaran berhemat yang dicontohkan oleh suamiku. Rabb, terima kasih atas berkahMu...
DIKUTIP DARI
www.eramuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar