Islam datang dengan dua pesona;
pesona kebenaran yang abadi dan pesona manusia muslim yang temporal. Dan pada
setiap momentum sejarah dimana kedua pesona itu bertemu, Islam selalu berada di
puncak kekuatan dan kejayannya. Akan tetapi, itulah masalah Islam saat ini. Ia
memang tidak akan pernah kehilangan pesona kebenarannya, karena kebenarannya
bersifat abadi. Namun, ia kini masih kehilangan pesona manusianya. Untuk menjadikan muslim sebagai pesona Islam,
maka kita harus mempertemukan manusia-manusia muslim itu dengan mata air
kecemerlangannya.
Mata
Air Pertama: Konsep Diri
Konsep diri adalah suatu kesadaran
pribadi yang utuh, kuat, jelas, dan mendalam tentang visi dan misi hidup;
pilihan jalan hidup beserta prinsip dan nilai yang membentuknya; peta potensi;
kapasitas dan kompetensi diri; peran yang menjadi wilayah aktualisasi dan
kontribusi; serta rencana amal dan karya unggulan. Konsep Diri menciptakan
perasaan terarah dalam struktur kesadaran pribadi kita. Keterarahan adalah
salah satu mata air kecemerlangan.
Konsep Diri manusia Muslim adalah
kesadaran yang mempertemukan antara kehendak-kehendaknya sebagai manusia;
antara model manusia Muslim yang ideal dan universal dengan kapasitas dirinya
yang nyata dan unik, antara nilai-nilai Islam yang komprehensif dan integral
dengan keunikan-keunikan pribadinya sebagai individu; antara ruang aksi dan
kreasi yang disediakan Islam dengan kemampuan pribadinya untuk beraksi dan
berkreasi; dan antara idealisme Islam dengan realitas pribadinya.
Mata
Air Kedua: Cahaya Pikiran.
Perubahan, perbaikan, dan
pengembangan kepribadian harus selalu dimulai dari pikiran kita. Sebab,
tindakan, perilaku, sikap, dan kebiasaan kita sesungguhnya ditentukan oleh
pikiran-pikiran yang memenuhi benak kita. Bukan hanya itu, semua emosi atau
perasaan yang kita rasakan dalam jiwa kita seperti kegembiraan dan kesedihan,
kemarahan dan ketenangan, juga ditentukan oleh pikiran-pikiran kita. Kita
adalah apa yang kita pikirkan.
Maka, kekuatan kepribadian kita akan
terbangun saat kita mulai memikirkan pikiran-pikiran kita sendiri, memikirkan
cara kita berpikir, memikirkan kemampuan berpikir kita, dan memikirkan
bagaimana seharusnya kita berpikir. Benih dari setiap karya-karya besar yang
kita saksikan dalam sejarah, selalu terlahir pertama kali di sana: di alam
pikiran kita. Itulah ruang pertama dari semua kenyataan hidup yang telah kita
saksikan.
Mata
Air Ketiga: Kekuatan Tekad
Tekad adalah jembatan di mana
pikiran-pikiran masuk dalam wilayah fisik dan menjelma menjadi tindakan. Tekad
adalah energi jiwa yang memberikan kekuatan kepada pikiran untuk merubahnya
menjadi tindakan.
Pikiran tidak akan pernah berujung
dengan tindakan, jika ia tidak turun dalam wilayah hati, dan berubah menjadi
keyakinan dan kemauan, serta kemudian membulat menjadi tekad. Begitu ia
menjelma jadi tekad, maka ia memperoleh energi yang akan merangsang dan
menggerakkan tubuh untuk melakukan perintah-perintah pikiran.
Bila tekad itu kuat dan membaja,
maka tubuh tidak dapat, atau tidak sanggup menolak perintah-perintah pikiran
tersebut. Akan tetapi, bila tekad itu tidak terlalu kuat, maka daya rangsang
dan geraknya terhadap tubuh tidak akan terlalu kuat, sehingga perintah-perintah
pikiran itu tidak terlalu berwibawa bagi tubuh kita.
Maka, kekuatan dan kelemahan
kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh sebesar apa tekadnya, yang
merupakan energi jiwa dalam dirinya. Tekad yang membaja akan meloloskan setiap
pikiran di sleuruh prosedur kejiwaan, dan segera merubahnya menjadi tindakan.
Mata
Air Keempat: Keluhuran Sifat
Pada akhirnya semua kekuatan
internal –kosep diri, pikiran dan tekad- yang telah kita bangun dalam diri
kita, haruslah bermuara pada munculnya sifat-sifat keluhuran. Kecemerlangan
seseorang di dalam hidup sesungguhnya berasal –salah satunya- dari mata air
keluhuran budi pekertinya. Dari mata air keluhuran itu, semua nilai-nilai
kemanusiaan yang mulia terjalin menjadi satu kesatuan, dan menampakkan diri
dalam bentuk sifat-sifat terpuji.
Sifat-sifat itulah yang akan tampak
di permukaan kepribadian kita, mewakili keseluruhan pesona kekuatan kepribadian
yang kita miliki, yang sebagiannya terpendam di kedalaman dasar kepribadian
kita. Kekuatan pesona sifat-sifat keluhuran itu seperti sihir, yang akan
menaklukkan akal dan hati orang-orang yang ada di sekitarnya, atau yang
bersentuhan dengannya secara langsung.
Setiap sifat memiliki akar
tersendiri yang terhunjam dalam di kedalaman pikiran dan emosi kita. Seperti
juga pohon, sifat-sifat itu tersusun sedemikian rupa di mana sebagian mereka
melahirkan sebagian yang lain. Ada sejumlah sifat-sifat tertentu yang berfungsi
seperti akar pada pohon, yang kemudian tumbuh berkembang menjadi batang, dahan
dan ranting, daun dan buah. Demikianlah kita tahu bahwa semua sifat keluhuran
berakar pada lima sifat: cinta kebenaran, kesabaran, kasih sayang,
kedermawanan, dan keberanian.
Mata
Air Kelima: Manajemen Aset Fundamental
Obsesi-obsesi besar, pikiran-pikiran
besar, dan kemauan-kemauan besar selalu membutuhkan daya dukung yang juga
sarana besarnya. Salah satunya dalam bentuk pengelolaan dua aset fundamental
secara baik, yaitu kesehatan dan waktu.
Fisik adalah kendaraan jiwa dan
pikiran. Perintah-perintah pikiran dan kehendak-kehendak jiwa tidak akan
terlaksana dengan baik, bila fisik tidak berada dalam kondisi kesehatan yang
prima. Kadang-kadang, jumlah “penumpang” yang mengendarai fisik kita melebihi
kapasitasnya dan membuatnya jadi oleng. Akan tetapi, perawatan yang baik akan
menciptakan keseimbangan yang rasional antara muatan dan kapasitas kendaraan.
Waktu adalah kehidupan. Setiap
manusia diberikan kehidupan sebagai batas masa kerja dalam jumlah yang
berbeda-beda, yang kemudian kita sebut dengan umur yang terbentang dari kelahiran
hingga kematian. Tidak ada manusia yang mengetahui akhir dari batas masa kerja
itu, yang kemudian kita sebut ajal. Hal itu menciptakan suasana ketidakpastian,
tetapi itulah aset paling berharga yang kita miliki.
Ibarat menempuh sebuah perjalanan
yang panjang, fisik kita berfungsi sebagai kereta, dan waktu yang terbentang
jauh atau dekat, seperti rel kereta. Seorang masinis boleh menentukan stasiun
terakhir yang kita tuju, tetapi dia harus menjamin bahwa kereta yang
dikemudikannya dan rel yang akan dilewatinya benar-benar berada dalam keadaan
baik.
Kesehatan dan waktu adalah dua
perangkat keras kehidupan yang sangat terbatas. Akan tetapi, manusia-manusia
cemerlang selalu dapat meraih sesuatu secara maksimal dari semua keterbatasan
yang melingkupinya.
Mata
Air Keenam: Integrasi Sosial
Kemampuan beradaptasi dengan
lingkungan masyarakat di mana kita berada bukan saja merupakan ukuran
kematangan pribadi seseorang, tetapi lebih dari itu. Sebab, lingkungan sosial
kita harus dipandang sebagai wadah kita untuk menyemai semua kebaikan yang
telah kita kembangkan dalam diri.
Dengan cara pandang ini, maka setiap
diri kita akan membangun hubungan sosialnya dengan semangat partisipasi:
menyebarkan bunga-bunga kebaikan di taman kehidupan masyarakat kita.
Dengan semangat ini, maka semua
usaha kita untuk menciptakan keharmonisan sosial menjadi niscaya. Bukan saja
karena dengannya kita dapat menyebarkan kebaikan yang tersimpan dalam diri
kita, tetapi juga karena kita menciptakan landasan yang kokoh untuk meraih
kesuksesan, berkah kehidupan, dan kebahagiaan dalam hidup.
Jika kematangan pribadi merupakan
landasan bagi kesuksesan sosial, maka kesuksesan sosial merupakan landasan bagi
kesuksesan lain dalam hidup, seperti kesuksesan profesi.
Mata
Air Ketujuh: Kontribusi
Kehadiran sosial kita tidak boleh
berhenti pada tahap partisipasi. Harus ada langkah yang lebih jauh dari sekadar
itu. Harus ada karya besar yang kita kontribusikan kepada masyarakat, yang
berguna bagi kehidupan mereka; sesuatu yang akan dicatat sebagai jejak sejarah
kita, dan sebagai amal unggulan yang membuat kita cukup layak mendapatkan ridha
Allah SAW dan sebuah tempat terhormat dalam surga-Nya.
Kontribusi itu dapat kita berikan
pada wilayah pemikiran, atau wilayah profesionalisme, atau wilayah
kepemimpinan, atau wilayah finansial, atau wilayah lainnya. Namun, kontribusi
apa pun yang hendak kita berikan, sebaiknya memenuhi dua syarat: memenuhi
kebutuhan masyarakat kita dan dibangun dari kompetensi inti kita.
Masyarakat adalah pengguna
karya-karya kita, maka yang terbaik yang kita berikan kepada mereka adalah apa
yang paling mereka butuhkan, dan apa yang tidak dapat dipenuhi oleh orang lain.
Akan tetapi, kita tidak dapat berkarya secara maksimal di luar dari kompetensi
inti kita. Karena itu, kita harus mencari titik temu diantara keudanya.
Caranya adalah sebagai berikut:
buatlah peta kebutuhan kondisional masyarakat kita, dan kemudian buatlah peta
potensi kita, untuk menemukan kompetensi inti diri kita. Apabila titik temu itu
telah kita temukan, maka masih ada satu lagi yang harus kita lakukan; menjemput
momentum sejarah untuk meledakkan potensi kita menjadi karya-karya besar yang
monumental. Ini semua mengharuskan kita memiliki kesadaran yang mendalam akan
tugas sejarah kita sebagai pribadi, sekaligus firasat yang tajam tentang
momentum-momentum sejarah kita.
Mata
Air Kedelapan: Konsistensi
Sebagai manusia beriman, kita
meyakini sebuah prinsip, bahwa bagian yang paling menentukan dari seseorang
adalah akhir hidupnya. Maka, persoalan paling berat yang kita hadapi sesungguhnya
bukanlah mendaki gunung, tetapi bagaimana bertahan di puncak gunung itu hingga
akhir hayat.
Mengukir sebuah prestasi besar dalam
hidup dan mempertahankannya hingga akhir hayat, adalah dua misi dan tugas hidup
yang berbeda; berbeda pada kapasitas energi jiwa yang diperlukannya, berbeda
pada proses-proses psikologisnya, berbeda pula pada ukuran kesuksesannya.
Untuk dapat bertahan di puncak, kita
harus menghindari jebakan-jebakan kesuksesan, seperti rasa puas yang berlebihan
atau perasaan menjadi besar dengan kesuksesab yang telah kita raih. kita harus
mempertahankan obsesi pada kesempurnaan pribadi, melakukan perbaikan
berkesinambungan, melakukan perbaikan berkesinambungan, melakukan pertumbuhan
tanpa batas akhir, dan mempertahankan semangat kerja dengan menghadirkan
kerinduan abadi kepada surga dan kecemasan abadi dari neraka, serta
menyempurnakan semua usaha-usaha manusiawi kita dengan berdoa kepada Allah
untuk mendapatkan husnul khatimah. Semua itu agar kita menjemput takdir sejarah
kita yang terhormat di bawah naungan ridha Allah SWT, dan agar kita kelak
menceritakan episode panjang kepahlawanan ini kepada saudara-saudara kita di
surga (Anis Matta).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar