“Wahai Abdullah, bukankah aku telah diberitahu
bahwa engkau selalu puasa siang hari, dan qiyamullail malam harinya? Aku menjawab : Benar Ya Rasulullah. Lalu Beliau bersabda : jangan kau lakukan itu
terus menerus tapi puasalah dan berbukalah, tahajudlah dan tidurlah karena
sesungguhnya jasadmu punya hak atas kamu, kedua matamu juga punya hak atasmu,
istrimu punya hak atasmu, dan tetanggamu punya hak atasmu. Sesungguhnya cukup bagimu puasa sebulan 3
hari (puasa ayyamul biidh) karena setiap kebaikan itu dibalas sepuluh kali
lipat, berarti kamu seakan puasa satu tahu”.
Maka Akupun minta ditambah berat amalannya sera berkata : Ya Rasulullah,
aku masih memiliki kekuatan untuk itu.
Beliau bersabda : kalau begitu, Puasalah seperti puasanya Nabi Daud as.
dan jangan lebih dari itu. (HR.
Bukhari).
Itulah sebuah contoh dialog indah antara
Rasulullah saw. dengan seorang sahabat yang ingin menghabiskan kekuatan dan
waktunya untuk puasa. Dalam petikan
dialog ini kita bisa menarik beberapa point penting :
1.
Betapa hebatnya semangat para sahabat terdahulu untuk menghabiskan waktunya
dalam beribadah kepada Allah SWT.
Sungguh berbeda dengan jaman sekarang yang sebagian umatnya sudah
terseret ke dalam dunia materialistis dan individualis.
2.
Rasulullah saw. melarang berlebih dalam ibadah mahdhah sebab akan berakibat
mengesampingkan atau minimal akan menggeser kewajiban lainnya. Bagaiman dengan berlebihan dalam bidang
materia yang menguasai seluruh jiwa manusia.
3.
Keharusan untuk melakukan keseimbangan dalam seluruh aspek kehidupan.
Demikianlah Allah menghendaki umat Islam
hidup bahagia dunia dan akhirat. Untuk
itu Al Qur’an dan As Sunnah meletakkan berbagai aturan untuk mencapai tujuan
itu. Keseimbangan dalam semua aspek
kehidupan merupakan asas kebahagiaan utuh di dunia karena manusia telah
diciptakan dalam keseimbangan. Ia
terdiri dari ruh dan jasad, sesuai dengan ukuran yang ditetapkan Allah. Allah berfirman : “Sesungguhnya Kami
menciptakan sesgala sesuatu menurut ukuran”.
(QS. Al Qomar [54] : 49). Lain
daripada itu, kita sebagai muslim selalu
berada di antara dua kutub yang saling menarik yaitu individu dan sosial, dunia
dan akhirat, material dan spiritual, dan seterusnya. Semuanya harus kita padukan secara
seimbang. Ketika seseorang menanyakan
sesuatu tentang takdir melalui surat yang dilayangkan kepada Umar bin Abdil
Aziz beliau membalas : ….. Aku menasihatimu agar senantiasa bertakwa kepada
Allah dan tidak berlebihan dalam melaksanakan perintah-Nya dan selalu mengikuti
sunnah Nabi-Nya saw. dan meninggalkan hal bid’ah yang dimunculkan orang-orang
terkemudian setelah jelas berlakunya aturan-aturan hukum-Nya …… (Kitab Shohih
Muslim).
Berlebihan dalam ketaatan akan menyulitkan
diri sendiri. Bagaimana kita bisa
melakukan semua perintah Allah kalau kita tenggelam terus dalam ibadah mahdhah
tanpa memperhatikan ibadah ghair mahdhah.
Ibadah bukan hanya sholat dan puasa saja. Tapi di sana masih banyak lapangan ibadah
yang harus kita lakukan sesuai dengan kemampuan dan asas keseimbangan. Bukankah bekerja dengan baik untuk mencari
nafkah itu ibadah. Bukankah menikah
dengan tujuan agar tidak terjerumus dalam perzinahan adalah ibadah. Bukankah menorong orang kain juga
ibadah? Di sinilah rahasianya mengapa
Rasulullah marah ketika diceritakan kepadanya tentang seorang wanita yang amat
banyak sholatnya tanpa mengesampingkan ibadah sosial. seraya berkata, “Hindairilah berlebihan seperti
itu. Kamu haris melakukan sesuatu sesuai
dengan kemampuanmu. Demi Allah,
sesungguhnya Allah SWT tidak akan bosan sampai kamu benar-benar”. Sesungguhya ketaatan beragama yang disenangi
oleh Allah SWT adalah ibadah yang dilakukan secara rutin” (Muttafad a’allaih).
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr ra. ia
berkata : Diceritakanlah kepada Rasulullah saw. tentang orang-orang yang sangat
rajin beribadah sehingga berlebihan, maka beliau bersabda : “Itulah kobaran
semangat islam dan puncaknya. Setiap
kobaran semangat ada puncaknya. Setiap
puncak memiliki kekenduran. Maka barang
siapa yang kekendurannya menuju kepada kesederhanaan dan kesudahan maka sungguh
lestari dia, tapi bila kekendurannya menuju kepada maksiat menuju kepada
maksiat maka celakalah (Sunan Ibni Majah).
Kesederhanaan dan hemat dalam ketaatan
adalah ajaran Islam yang sesungguhnya.
Istilah hemat dalam ketaqwaan itu bukan berarti kita bermalas-malasan
dalam ibadah, tapi kita harus menerjuni dunia ibadah seperti akan mati besok
dan harus rajin menerjuni urusan dunia seperti akan selamanya hidup
didunia. Bila kita ingin maju memimpin
dunia, kita harus seimbang dalam semua aspek kehidupan kita. Dan kita harus paling berkualitas dalam semua
urusan tapi syaratnya tetap harus memperhatikan aspek keseimbangan. Ketika beribadah kita khusyuk dan berkualitas
serta ketika kita bekerja, mengajar, berdakwah, bertani, berdagang, memimpin,
dan seterusnya harus dilakukan semuanya dengan kualitas tinggi. Apalagi di era globaisasi sekarang ini, kita
tidak boleh tenggelam terus dalam ibadah mahdhah tanpa mengarungi suatu
perjuangan di bidang keduniaan, pendidikan, pertanian, perdagangan, dan
seterusnya.
Agama adalah aturan untuk manusia agar
bahagia. Maka agama pun tidak
menyulitkan manusia dan tidak memberikan beban di atas kemampuannya,
sebagaimana difirmankan Allah : “Sesungguhnya Allah menginginkan kemudahan
untuk kamu dan tidak menginginkan kesulitan” (QS Al Baqarah [2] : 185). Rasulullah pun menegaskan hal ini dengan
sabdanya : “Agama adalah mudah maka tidak adalah seorang yang mempersulit agama
kecuali ia akan kalah. Sebab itu
sedang-sedanglah kamu dan berdekat-dekatlah dan buka harapanmu dan pergunakan
waktu pagi dan sore dan sedikit waktu malam”.
Dalam riwayat lain : “Sedang-sedanglah kamu dan hampirkan dirimu dan
gunakan waktu pagi dan sore dan sedikit waktu malam. Bersenang-senanglah kamu agar bisa sampai
(HR. Bukhari).
Wallahu
a’alam bish shawab
(Prof.
Dr. Achmad Satori Ismail)
Disalin
dari : Buletin Jumat AL-BINA, Edisi 9, 4 Maret 2011 M / 29 Robiul Awal 1432 H
https://abuanjeli.wordpress.com/2011/06/07/bina032/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar