Diantara semua burung Sulawesi, Macrocephalon maleo paling menonjol
dalam budaya dan kehidupan masyarakat. Budaya yang terkenal adalah adat ”Tumpe”
di Luwuk dan Pulau Banggai. Adat Tumpe dilaksanakan masyarakat Kota Banggai (di
Kep. Banggai) dan Batui (dekat Luwuk), merupakan peninggalan adat istiadat
Kerajaan Banggai. Tumpe adalah upacara adat pengiriman telur Macrocephalon maleo dari Batui ke
Banggai yang bertelur pada musim pertama di Cagar Alam Bangkiriang dilakukan di
setiap bulan September. Pentingnya acara ini, sehingga prosesi upacara adat ini
dihadiri Bupati Banggai dan Raja Banggai. Masyarakat Desa Tuva juga mempunyai
adat berkaitan dengan Macrocephalon maleo,
yaitu ”Sampole Sangu”. Adat ini merupakan upacara dengan memberikan sesajian
pada yang ghaib untuk meningkatkan populasi Macrocephalon
maleo datang bertelur di tempat bertelur Macrocephalon maleo Saluki. Dalam
kepercayaan masyarakat Desa Tuva, Macrocephalon
maleo dipercaya merupakan hewan peliharaan mereka, yang didatangkan dari
Desa Sarudu.
Di beberapa tempat di Sulawesi, sejak dulu
terdapat sistem pengelolaan pemanenan telur antara kepala desa dan lembaga
adat, dalam sistem tersebut diatur telur yang dipanen dibagi tiga; satu bagian
untuk dana desa, pengelola dan sebagian dibiarkan menetas. Terbukti sistem
tersebut sangat efektif melestarikan Macrocephalon
maleo, karena mereka mengetahui kelestarian Maleo Senkawor. Mereka sadar bila jumlah telur dipanen dengan
memperhatikan kesimbangan terjaga, maka jumlah telur yang didapatkan akan
stabil. Sistem tersebut masih berjalan
di beberapa tempat, salah satunya di Desa Wosu (Morowali).
Selain Macrocephalon
maleo, Collocalia fuciphaga juga
dipelihara masyarakat di banyak tempat, baik di kota maupun pedesaan, dengan membuat bangunan-bangunan tempat
bersarang. Sarang-sarang tersebut dipanen dan dijual dengan harga sangat mahal,
untuk kebutuhan makanan mewah.
Masyarakat di Sulawesi Tengah sangat takut
pada Tyto rosenbergii dan Rhamphocococyx calyorhynchus, karena
dipercaya kehadiran kedua burung tersebut membawa kabar buruk dan merupakan
penjelmaan dari makhluk halus bersifat jahat. Di Lembah Palu, Rhamphocococyx calyorhynchus dipercaya
merupakan penjelmaan dari ”Tepeule”, manusia yang menjelma menjadi makhluk
jahat. Tapi kepercayaan tersebut saat ini berangsur-angsur mulai memudar.
Suku Ta’a yang hidup di rimba Cagar Alam
Morowali, sangat tergantung pada burung sebagai sumber pakan. Mereka menangkap
burung dengan cara menyumpitnya. Pola berburu demikian juga menjadi tradisi
pada suka terasing lain di Sulawesi Tengah; diantaranya Suku Tajio di Parigi
Moutong dan Suku Da’a di Pegunungan Gawalise. Sebenarnya berburu burung sudah
menjadi kebiasaan masyarakat di Sulawesi. Di Pedesaan maupun perkotaan sudah
menjadi pemandangan umum masyarakat berburu burung untuk dikonsumsi menggunakan
senjata angin (senjata burung), umumnya yang diburu adalah anggota Columbidae,
Rallidae dan Ardeidae berukuran besar.
Selain di konsumsi, sudah menjadi
pemandangan umum beberapa jenis burung ditangkap untuk dipelihara, terutama di
pedesaan, burung yang umum dipelihara adalah anggota Columbidae, Accipitridae, Rhyticeros cassidix, anggota
Psittaciformes, terutama Saxicola caprata,
Zosterops spp., anggota Strunidae, Oriolus
chinensis, Corvus enca dan Corvus typicus. Saat ini kebiasaan menangkap burung ini
bergeser menjadi sumber komoditi
menguntungkan. Maka tak heran di kota dan beberapa tempat terpencil
dijumpai banyak penjual burung. Hal ini menyebabkan Cacatua sulphurea hampir punah dari kawasan Sulawesi dan beberapa
jenis sangat jarang dijumpai seperti Eos
histrio di Kepulauan Sangihe-Talaud. Umumnya yang favorit diperdagangkan
selain kedua jenis burung tersebut adalah Gallus
gallus, Streptopelia tranquebarica,
Spilopelia chinensis, Prioniturus platurus,
Trichoglossus ornatus, Trichoglossus meyeri, Pycnonotus aurigaster, Saxicola caprata, Scissirostrum dubium, Acridotheres
cinereus, Basilornis celebensis
dan Oriolus chinensis.
Di lahan persawahan, para petani sangat
akrab dengan Lonchura spp., yang selalu membuat mereka stres karena hama utama
buah padi sudah berisi. Mereka sering
gagal panen atau mengalami kerugian, karena buah padi telah habis atau
berkurang banyak dimakan burung tersebut. Mereka melakukan berbagai upaya untuk
mengusir burung tersebut. Salah satunya
adalah membuat alat pengusir orang-orangan di lahan persawahan atau menjulurkan
tali memasang bahan pengusir seperti bunyi-bunyian, kain dan plastik. Alat-alat
ini merupakan pemandangan umum pada lahan persawahan di desa-desa Sulawesi.
Selain merugikan, beberapa jenis burung juga menguntungkan para petani, salah
satunya adalah Elanus caeuruleus dan Tyto rosenbergii. Kehadiran burung ini di lahan perkebunan,
terutama perkebunan sawit, lahan budidaya sekitar pemukiman, perkebunan kakao
sangat dirasakan manfaatnya mengendalikan populasi tikus. Begitu juga Zosterops chloris dan Zosterops atrifrons, berjasa
mengendalikan populasi serangga pada lahan perkebunan.
(Fachry
Nur Mallo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar