Minggu, 23 Maret 2025

STATUS BURUNG

Dalam dunia perburungan, seringkali muncul empat istilah penting yang kerap disalahartikan atau tertukar maknanya, yaitu status penyebaran, status perlindungan, status perdagangan dan status konservasi burung. Ketiganya memiliki makna dan fungsi yang berbeda dalam memahami keberadaan serta upaya pelestarian burung di alam. Status penyebaran berkaitan dengan pola distribusi geografis burung, apakah burung tersebut endemik, penetap, atau migran. Sementara itu, status perlindungan mengacu pada peraturan hukum yang melindungi spesies burung tertentu dari perburuan atau perdagangan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Adapun status konservasi merujuk pada kondisi populasi burung di alam berdasarkan penilaian ilmiah, seperti yang ditetapkan oleh IUCN Red List, yang menilai apakah suatu spesies tergolong rentan, terancam, atau hampir punah. Sedangkan status perdagangan merujuk pada Apendiks CITES. Melalui tulisan ini, penjelasan mengenai ketiga istilah tersebut akan diuraikan secara jelas agar tidak lagi terjadi kekeliruan dalam pemahaman maupun penggunaannya, terutama bagi pemerhati burung, akademisi, maupun pegiat konservasi.

A. Status Penyebaran

Berdasarkan penyebarannya, status burung dibagi menjadi tiga golongan utama, yaitu:

1. Burung Endemik

Burung endemik adalah spesies burung yang secara alami hanya ditemukan di wilayah geografis tertentu, seperti pulau, negara, atau ekoregion, dan tidak terdapat di tempat lain di dunia.

2. Burung Penetap (Resident Birds)

Burung penetap adalah burung yang menetap dan hidup permanen di suatu daerah sepanjang tahun. Mereka tidak melakukan migrasi jarak jauh dan umumnya setia pada habitat tertentu.

3. Burung Migran (Migratory Birds)

Burung migran adalah burung yang berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain secara periodik, biasanya mengikuti siklus musim untuk mencari makanan, tempat berkembang biak, atau kondisi iklim yang lebih mendukung.

B. Status Perlindungan

Burung dilindungi adalah jenis burung yang populasinya terancam atau memiliki status konservasi tertentu, sehingga perlu mendapatkan perlindungan dari berbagai aktivitas yang dapat mengancam kelestariannya, seperti penangkapan, pembunuhan, atau perdagangan ilegal. Beberapa regulasi utama yang mengatur perlindungan ini antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis-Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2018 yang merupakan perubahan dari Permen LHK Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Dalam peraturan tersebut tercatat sebanyak 557 jenis burung yang dilindungi, di mana 140 jenis di antaranya merupakan burung kicau (songbird).

C. Status Konservasi

Status konservasi burung merujuk pada Daftar Merah IUCN. Daftar Merah IUCN (bahasa Inggris: IUCN Red List, juga dikenal sebagai Red Data List) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1964 sebagai standar global dalam pencatatan spesies dan penilaian status konservasinya. Tujuan utama IUCN Red List adalah menyediakan informasi dan analisis mengenai status, tren, serta ancaman terhadap spesies, guna mendorong kesadaran dan mempercepat aksi konservasi keanekaragaman hayati.  IUCN mengolongkan Status konservasi burung sebagai berikut:

Punah (Extinct/EX). Suatu takson dinyatakan "punah" jika tidak ada keraguan bahwa individu terakhir telah mati. Pernyataan ini dibuat setelah survei menyeluruh di seluruh habitat dan wilayah historisnya, pada waktu yang tepat sesuai siklus hidup takson tersebut, gagal menemukan satu pun individu yang masih hidup.

Punah di Alam Liar (Extinct in the Wild/EW). Takson dinyatakan "punah di alam liar" jika hanya bertahan dalam penangkaran, pembiakan terkontrol, atau populasi yang naturalisasi di luar wilayah aslinya. Status ini ditetapkan setelah survei menyeluruh di habitat alami dan wilayah historisnya tidak menemukan populasi liar.

Terancam Kritis (Critically Endangered/CR). Takson masuk kategori "terancam kritis" jika memenuhi kriteria A–E untuk status ini, misalnya populasi diperkirakan kurang dari 50 individu dewasa (kriteria D), sehingga berisiko sangat tinggi mengalami kepunahan dalam waktu dekat.

Genting (Endangered/EN). Takson dikategorikan "genting" jika memenuhi kriteria A–E untuk status ini, salah satunya populasi kurang dari 250 individu dewasa (kriteria D), sehingga menghadapi risiko kepunahan yang sangat tinggi di alam.

Rentan (Vulnerable/VU). Takson dinyatakan "rentan" bila memenuhi kriteria A–E, seperti populasi kurang dari 1.000 individu dewasa atau memiliki habitat sangat sempit (kurang dari 20 km²), sehingga rentan terhadap gangguan manusia atau peristiwa acak.

Hampir Terancam (Near Threatened/NT). Takson dikategorikan "hampir terancam" jika tidak memenuhi syarat sebagai kritis, genting, atau rentan, namun mendekati ambang batas kategori terancam dalam waktu dekat.

Risiko Rendah (Least Concern/LC). Takson masuk kategori "risiko rendah" jika telah dievaluasi dan tidak memenuhi kriteria untuk kategori terancam. Umumnya terdiri dari spesies yang populasinya luas dan stabil.

Kekurangan Data (Data Deficient/DD). Takson dinyatakan "kekurangan data" jika informasi mengenai distribusi atau populasi tidak mencukupi untuk menilai status kepunahannya. Kategori ini tidak termasuk dalam kategori terancam.

Tidak Dievaluasi (Not Evaluated/NE). Takson dikategorikan "tidak dievaluasi" jika belum pernah dinilai berdasarkan kriteria yang ada.

D. Status perdagangan

CITES singkatan dari Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, dalam bahasa Indonesia: Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Satwa dan Tumbuhan Liar Terancam Punah adalah perjanjian internasional yang disusun berdasarkan resolusi sidang anggota Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) pada tahun 1963. Konvensi ini bertujuan melindungi spesies tumbuhan dan satwa liar dari ancaman perdagangan internasional yang dapat mengakibatkan kepunahan.

CITES mengatur kerja sama antar negara anggota untuk memastikan perdagangan tumbuhan dan satwa liar berlangsung sesuai dengan ketentuan yang disepakati. Setiap ekspor, impor, re-ekspor, maupun introduksi spesies yang tercantum dalam daftar CITES wajib disertai izin dari otoritas pengelola dan rekomendasi dari otoritas keilmuan di masing-masing negara.

CITES mengklasifikasikan spesies dalam tiga apendiks:

Apendiks I: Daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilarang diperdagangkan secara internasional dalam bentuk apa pun.

Apendiks II: Spesies yang belum terancam punah, tetapi dapat menjadi terancam jika perdagangan tidak diatur.

Apendiks III: Spesies yang dilindungi di negara tertentu, yang populasinya berpotensi naik ke Apendiks II atau I bila diperlukan.

(Moh. Ihsan Nur Mallo) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar