Ibadah merupakan suatu bentuk ketundukan dan ketaatan terhadap pencipta alam semesta Allah SWT. Namun, ada dua macam bentuk ibadah yang penting untuk diketahui, yaitu ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Kedua istilah ini kadang masih disalahpahami oleh umat. Secara umum, Syekh Mahmud Syaltut dalam tafsirnya telah menjelaskan bentuk ibadah secara singkat, yaitu "Ketundukan yang tidak terbatas bagi pemilik yang tidak terbatas (pula)," begitu dia menjelaskan. Definisi ini, menurut almarhum mantan pemimpin tertinggi lembaga-lembaga Al-Azhar tersebut, menunjukkan puncak tertinggi dari kerendahan hati, kecintaan batin, serta peleburan diri kepada keagungan Allah. Namun, di samping pengertian umum tersebut, ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah mempunyai pengertian yang lebih khusus. Hal ini karena ibadah tersebut ternyata mengalami penyempitan makna saat para ulama menguraikan hukum Islam, yang dapat menimbulkan kerancuan tentang makna ibadah yang sesungguhnya.
Menurut
seorang pembaru, Syekh Muhammad al-Ghazali, ibadah mahdhah adalah segala bentuk
aktivitas yang cara, waktu, atau kadarnya telah ditetapkan Allah SWT dan
Rasulullah SAW. Kita tidak mengetahui tentang ibadah ini kecuali melalui
penjelasan Allah dalam Alquran atau penjelasan Rasul-Nya. Hal ini sesuai dengan
kaidah yang berbunyi. "Dalam soal ibadah (mahdhah) segalanya tidak boleh,
kecuali yang diajarkan Allah dan atau Rasul-Nya." Pada awal kehadiran
Islam, istilah ini sebenarnya tidak dikenal. Istilah ini baru dikenal setelah
diperkenalkan oleh para ulama fikih untuk tujuan memilah-milah uraian hukum
atau pembagian teknis materi pembahasannya.
Pakar
filsafat hukum, Asy-Syathibi, dalam bukunya al-Muwafaqa menegaskan, pada
dasarnya dalam masalah ibadah mahdhah, seorang mukalaf harus mengindahkannya
tanpa meneliti makna dan sebabnya, sedangkan dalam hal muamalah, pada dasarnya
adalah meneliti maksud tujuannya. Hal
ini dapat dicontohkan seperti halnya puasa. Mengapa puasa harus sebulan penuh?
Mengapa tidak seminggu saja? Atau mengapa hanya sampai terbenamnya matahari?
Nah, jika pertanyaan tersebut sudah terjawab, pertanyaan-pertanyaan baru akan
tetap muncul dan tidak ada habisnya. Karena itu, peranan akal dalam masalah
ibadah mahdhah ini sangatlah terbatas.
Di
dalam masalah ibadah mahdhah ini tampak jelas kebutuhan manusia kepada Sang
Pencipta, yakni dalam hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal. Penjelasan
seorang filsuf Muslim, al-Farabi, mungkin cukup untuk memberikan gambaran
tentang ibadah mahdhah ini. "Lebih
wajar bila ia diserahkan saja kepada akal manusia. Namun, kenyataannya tidak
demikian. Kehadiran wahyu melalui para Nabi membuktikan bahwa ada hal-hal yang
tidak terjangkau oleh daya nalar," kata bapak filsafat Islam
tersebut. Kendati demikian, bukan
berarti ada larangan untuk membahasnya. Tentu kita boleh membahasnya. Jika
hasil bahasan tersebut memuaskan nalar, kita harus bersyukur karena itulah yang
menjadi tumpuan harapan. Namun, jika belum memuaskan, kita harus berusaha terus
merenungkannya dan tetap melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya sesuai
dengan aturan agama.
Sementara,
ibadah ghairu mahdhah merupakan semua bentuk amal kegiatan yang tujuannya untuk
mendekati Allah. Namun, tempat dan waktunya tidak diatur secara perinci oleh
Allah. Di antara ibadah yang termasuk ibadah ghairu mahdhah, yaitu seperti
sedekah, infak, belajar, mengajar, berzikir, dakwah, tolong-menolong, dan
gotong royong. Namun, berbeda dengan
ibadah mahdhah, dalam melaksanakan ibadah ghairu mahdhah tidak perlu berpola
kepada contoh Rasulullah sehingga perkara baru dalam ibadah ini diperbolehkan.
Inilah yang kadang sering disalahpahami. Sehingga, umat perlu memahami lebih
dalam lagi tentang hal ini.
Dalam
ibadah ghairu mahdhah terdapat empat prinsip yang bisa menjadi acuan. Pertama,
keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Kedua, tata
laksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasulullah SAW. Ketiga, bersifat
rasional. Dan terakhir, azasnya adalah manfaat. Dengan tidak adanya aturan baku
dari Rasulullah tersebut, maka dalam ibadah ghairu mahdhah ini Allah memberikan
ruang kepada hambanya untuk berijtihad.
Untuk
memberikan gambaran yang lebih jelas tentang dua istilah ibadah tersebut,
Rasulullah bersabda dalam sebuah hadis qudsi. "Allah berfirman, hamba-Ku
tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai
daripada yang telah Aku wajibkan (ibadah mahdhah), jika hamba-Ku terus-menerus
mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal kebaikan (ibadah ghairu mahdhah) maka
aku mencintai dia." (HR Bukhari 6021). Hafidz Muftisany
Sumber: https://republika.co.id/berita/o1qz4630/mengenal-ibadah-mahdhah-dan-ghairu-mahdhah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar