Sepasang aktivis itu datang menemui saya
dengan mata berbinar. Binar-binar yang
bersemi di mushalla kampus dan di bangku kuliah dan di arak-arakan jalanan
demonstrasi untuk reformasi. Di tengah
badai politik itu cinta mereka bersemi.
Tapi cinta gadis keturunan Arab dengan
pemuda Jawa itu kandas. Kasih mereka tak
sampai di pelaminan. Restu orang tua
sang gadis tak berkenan meneruskan riwayat asmara putih mereka. Tragis. Tragis
sekali. Karena di hati siapapun cinta
yang suci dan tulus seperti itu singgah, kita seharusnya mengasihi pemilik hati
itu. Sebab itu perasaan yang luhur. Sebab perasaan yang luhur begitu adalah
gejolak kemanusiaan yang direstui di sisi Allah. Sebab karena direstui itulah Rasulullah SAW
lantas bersabda,” Tidak ada yang lebih baik bagi mereka yang sudah saling jatuh
cinta kecuali pernikahan”.
Islam memang begitu. Sebab ia agama kemanusiaan. Sebab itu pula nilai-nilainya selalu ramah
dan apresiatif terhadap semua gejolak jiwa manusia. Dan sebab cinta adalah perasaan kemanusiaan
yang paling luhur, mengertilah kita mengapa ia mendapat ruang sangat luas dalam
tata nilai Islam.
Itu karena Islam memahami betapa
dahsyatnya goncangan jiwa yang dirasakan orang-orang yang sedang jatuh
cinta. Tak ada tidur. Tak ada lelah. Tak ada takut. Tak ada jarak. Tak ada aral.
Yang ada hanya hasrat hanya tekad hanya rindu hanya puisi hanya
keindahan. Puisi adalah busur yang
mengirimkan panah-panah asmara ke jantung hati sang kekasih. Rembulan adalah utusan hati yang membawa
pesan kerinduan yang tak pernah lelah melawan waktu.
Dua jiwa yang sudah terpaut cinta akan tampak
menyatu bagaikan api dengan panasnya, salju dengan dinginnya, laut dengan
pantainya, rembulan dengan cahaya. Mungkin
berlebihan atau mungkin memang begitu, tapi siapa pun yang melantunkan bait ini
agaknya ia memang mewakili perasaan banyak arjuna yang sedang jatuh cinta:
separoh nafasku terbang/ bersama dirimu.
Bisakah kita membayangkan betapa
sakitnya sepasang jiwa yang dipautkan cinta lantas dipisah tradisi atau apa
saja? Tragedi Zaenuddin dan Hayati dalam
Tenggelamnya Kapal Vanderwijck, atau Qais dan Laila dalam Majnunu Laila,
terlalu miris. Sakit. Terlalu sakit. Karena di alam jiwa seharusnya itu tidak
mustahil. Tragedi cinta selamanya
merupakan tragedi kemanusiaan. Sebab itu
memisahkan pasangan suami istri yang saling mencintai adalah misi terbesar
syetan. Sebab itu menjodohkan sepasang
kekasih yang saling mencintai adalah tradisi kenabian.
Suatu saat, khalifah Al Mahdi singgah
beristirahat dalam perjalanan haji ke Makkah. Tiba-tiba seorang pemuda berteriak,”Aku sedang
jatuh cinta.” Maka Al Mahdi pun
memanggilnya,”Apa masalahmu?””Aku mencintai puteri pamanku dan ingin
menikahinya. Tapi ia menolak karena
ibuku bukan Arab. Sebab itu aib dalam
tradisi kami.”
Al Mahdi pun memanggil pamannya dan
berkata padanya,” Kamu lihat putera-puteri Bani Abbasiyah? Ibu-ibu mereka juga
banyak yang bukan Arab. Lantas apa salah
mereka? Sekarang nikahkanlah lelaki ini dengan puterimu dan terimalah 20 ribu
dirham ini; 10 ribu untuk aib dan 10 ribu untuk mahar. (Anis Matta).