SALMAN Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang
wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah
mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai
sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan
pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.
Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah
bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah
memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia
berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik
bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah
berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu
kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’. ”Subhanallaah..
wal hamdulillaah..”, girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum
bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah
kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah
dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.