Halaman

Kamis, 31 Juli 2014

Menjaga, Menata, lalu Bercahaya


SALMAN Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.
Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’. ”Subhanallaah.. wal hamdulillaah..”, girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.

”Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni. ”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.”
Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati. ”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.” Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis.
Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara. ”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
Tak mudah menjadi lelaki sejantan Salman. Tak mudah menjadi sahabat setulus Abud Darda’. Dan tak mudah menjadi wanita sejujur shahabiyah yang kelak kita kenal sebagai Ummud Darda’. Belajar menjadi mereka adalah proses belajar untuk menjadi orang yang benar dalam menata dan mengelola hati. Lalu merekapun bercahaya dalam pentas sejarah.
Bagaimanakah kiranya? Ijinkan saya mengenang seorang ulama yang berhasil mengintisarikan Ihya’ ‘Ulumiddin karya Imam Al Ghazali. Ustadz Sa’id Hawa namanya.
Dalam buku Tazkiyatun Nafs, beliau menggambarkan pada kita proses untuk menjadi orang yang shadiq, orang yang benar. Prosesnya ada empat, ialah sebagai berikut, Shidqun Niyah Artinya benar dalam niat. Benar dalam semburat pertama hasrat hati. Benar dalam mengikhlaskan diri. Benar dalam menepis syak dan riya’. Benar dalam menghapus sum’ah dan ‘ujub.
Benar dalam menatap lurus ke depan tanpa mempedulikan pujian kanan dan celaan kiri. Benar dalam kejujuran pada Allah. Benar dalam persangkaan pada Allah. Benar dalam meneguhkan hati. hidqul ‘Azm Artinya benar dalam tekad. Benar dalam keberanian-keberanian. Benar dalam janji-janji pada Allah dan dirinya. Benar dalam memancang target-target diri. Benar dalam pekik semangat. Benar dalam menemukan motivasi setiap kali. Benar dalam mengaktivasi potensi diri. Benar dalam memikirkan langkah-langkah pasti. Benar dalam memantapkan jiwa.
Shidqul Iltizam
Artinya benar dalam komitmen. Benar dalam menetapi rencana-rencana. Benar dalam melanggengkan semangat dan tekad. Benar dalam memegang teguh nilai-nilai. Benar dalam memaksa diri. Benar dalam bersabar atas ujian dan gangguan. Benar dalam menghadapi tantangan dan ancaman. Benar dalam mengistiqamahkan dzikir, fikir, dan ikhtiyar.
Shidqul ‘Amaal
Artinya benar dalam proses kerja. Benar dalam melakukan segalanya tanpa menabrak pagar-pagar Ilahi. Benar dalam cara. Benar dalam metode. Benar dalam langkah-langkah yang ditempuh. Benar dalam profesionalisme dan ihsannya amal. Benar dalam tiap gerak anggota badan. Nah, mari coba kita refleksikan proses menjadi orang benar ini dalam proses menuju pernikahan.
Seperti Salman. Ia kuat memelihara aturan-aturan syar’i. Dan mengharukan caranya mengelola hasrat hati. Insyaallah dengan demikian keberkahan itu semakin mendekat. Jikalau Ash Shidq berarti kebenaran dan bermakna kejujuran, maka yang pertama akan tampak sebagai gejala keberkahan adalah di saat kita jujur dan benar dalam bersikap pada Allah dan manusia.
Apa kiat sederhana untuk menjaga hati menyambut sang kawan sejati? Dari pengalaman, ini jawabnya: memfokuskan diri pada persiapan. Mereka yang berbakat gagal dalam pernikahan biasanya adalah mereka yang berfokus pada “Who”. Dengan siapa. Mereka yang insyaallah bisa melalui kehidupan pernikahan yang penuh tantangan adalah mereka yang berfokus pada “Why” dan “How”.
Mengapa dia menikah, dan bagaimana dia meraihnya dalam kerangka ridha Allah. Maka jika kau ingin tahu, inilah persiapan-persiapan itu:
Persiapan Ruhiyah (Spiritual)
Ini meliputi kesiapan kita untuk mengubah sikap mental menjadi lebih bertanggung jawab, sedia berbagi, meluntur ego, dan berlapang dada. Ada penekanan juga untuk siap menggunakan dua hal dalam hidup yang nyata, yakni sabar dan syukur. Ada kesiapan untuk tunduk dan menerima segala ketentuan Allah yang mengatur hidup kita seutuhnya, lebih-lebih dalam rumahtangga.
Persiapan ‘Ilmiyah-Fikriyah (Ilmu-Intelektual)
Bersiaplah menata rumahtangga dengan pengetahuan, ilmu, dan pemahaman. Ada ilmu tentang Ad Diin. Ada ilmu tentang berkomunikasi yang ma’ruf kepada pasangan. Ada ilmu untuk menjadi orangtua yang baik (parenting). Ada ilmu tentang penataan ekonomi. Dan banyak ilmu yang lain.
Persiapan Jasadiyah (Fisik)
Jika memiliki penyakit-penyakit, apalagi berkait dengan kesehatan reproduksi, harus segera diikhtiyarkan penyembuhannya. Keputihan pada akhwat misalnya. Atau gondongan (parotitis) bagi ikhwan. Karena virus yang menyerang kelenjar parotid ini, jika tak segera diblok, bisa menyerang testis. Panu juga harus disembuhkan, he he.
Perhatikan kebersihan.
Yang lain, perhatikan makanan. Pokoknya harus halal, thayyib, dan teratur. Hapus kebiasaan jajan sembarangan. Tentang pakaian juga, apalagi pada bagian yang paling pribadi. Kebiasaan memakai dalaman yang terlalu ketat misalnya, berefek sangat buruk bagi kualitas sperma. Nah.
Persiapan Maaliyah (Material)
Konsep awal; tugas suami adalah menafkahi, bukan mencari nafkah. Nah, bekerja itu keutamaan & penegasan kepemimpinan suami. Persiapan finansial nikah sama sekali tidak bicara tentang berapa banyak uang, rumah kendaraan yang harus kita punya. Persiapan finansial bicara tentang kapabilitas menghasilkan nafkah, wujudnya upaya untuk itu dan kemampuan mengelola sejumlah apapun ia. Maka memulai per nikahan, bukan soal apa kita sudah punya tabungan, rumah dan kendaraan. Ia soal kompetensi dan  kehendak baik menafkahi.
Adalah ‘Ali ibn Abi Thalib memulai pernikahannya bukan dari nol, melainkan minus: rumah, perabot, dan lain-lain dari sumbangan kawan dihitung hutang oleh Nabi. Tetapi ‘Ali menunjukkan diri sebagai calon suami kompeten; dia mandiri, siap bekerja jadi kuli air dengan upah segenggam kurma. Maka sesudah kompetensi & kehendak menafkahi yang wujud dalam aksi bekerja -apapun ia-, iman menuntun: pernikahan itu jalan Allah membuka kekayaan (QS 24: 32).
Buatlah proyeksi nafkah rumahtangga secara ilmiah dan executable. Jangan dan ukkan pertolongan Allah dalam hitungan, tapi siaplah dengan kejutanNya. Kemapanan itu tidak abadi. Saat belum mapan masing-masing pasangan bisa belajar untuk menghadapi lapang maupun sempitnya kehidupan. Bahkan ketidakmapanan yang disikapi positif menurut penelitian Linda J. Waite, signifikan memperkuat ikatan cinta. Ketidakmapanan yang dinamis menurut penelitian Karolinska Institute Swedia, menguatkan jantung dan meningkatkan angka harapan hidup.
Persiapan Ijtima’iyyah (Sosial)
Artinya, siap untuk bermasyarakat, faham bagaimana bertetangga, mengerti bagaimana bersosialisasi dan mengambil peran di tengah masyarakat. Juga tak kalah penting, memiliki visi dan misi da’wah di lingkungannya.
Nah, ini semua adalah persiapan. Artinya sesuatu yang kita kerjakan dalam proses yang tak berhenti. Seberapa banyak dari persiapan di atas yang harus dicapai sebelum menikah? Ukurannya menjadi sangat relatif. Karena, bahkan proses persiapan hakikatnya adalah juga proses perbaikan diri yang kita lakukan sepanjang waktu.
Setelah menikah pun, kita tetap harus terus mengasah apa-apa yang kita sebut sebagai persiapan menikah itu. Lalu, kapan kita menikah? Ya. Memang harus ada parameter yang jelas.
Apa? Rasulullah ternyata hanya menyebut satu parameter di dalam hadits berikut ini. Satu saja. Coba perhatikan. “Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian telah bermampu BA’AH, maka hendaklah ia menikah, karena pernikahan lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan farj. Dan barangsiapa belum mampu, hendaklah ia berpuasa, sungguh puasa itu benteng baginya.” (HR Al Bukhari dan Muslim) Hanya ada satu parameter saja. Apa itu? Ya, ba’ah. Apa itu ba’ah?
Sebagian ‘ulama berbeda pendapat tetapi menyepakati satu hal. Makna ba’ah yang utama adalah kemampuan biologis, kemampuan berjima’. Adapun makna tambahannya, menurut Imam Asy Syaukani adalah al mahru wan nafaqah, mahar dan nafkah. Sedang menurut ‘ulama lain adalh penyediaan tempat tinggal. Tetapi, makna utamalah yang ditekankan yakni kemampuan jima’. Maka, kita dapati generasi awal ummat ini menikahkan putra-putri mereka di usia muda. Bahkan sejak mengalami ihtilam (mimpi basah) pertama kali.
Sehingga, kata Ustadz Darlis Fajar, di masa Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, tidak ada kenakalan remaja. Lihatlah sekarang, kata beliau, ulama-ulama besar dan tokoh-tokoh menyejarah menikah di usia belasan. Yusuf Al Qaradlawi menikah di usia belasan, ‘Ali Ath Thanthawi juga begitu. Beliau lalu mengutip hasil sebuah riset baru di Timur Tengah, bahwa penyebab banyaknya kerusakan moral di tengah masyarakat adalah banyaknya bujangan dan lajang di tengah masyarakat itu. Nah. Selesai sudah.
Seberapa pun persiapan, sesedikit apapun bekal, anda sudah dituntut menikah kalau sudah ba’ah. Maka persiapan utama adalah komitmen. Komitmen untuk menjadikan pernikahan sebagai perbaikan diri terus menerus. Saya ingin menegaskan, sesudah kebenaran dan kejujuran, gejala awal dari barakah adalah mempermudah proses dan tidak mempersulit diri, apalagi mempersulit orang lain. Sudah berani melangkah sekarang? Apakah anda masih perlu sebuah jaminan lagi?
Baik, Allah akan memberikannya, Allah akan menggaransinya: “Ada tiga golongan yang wajib bagi Allah menolong mereka. Pertama, budak mukatab yang ingin melunasi dirinya agar bisa merdeka. Dua, orang yang menikah demi menjaga kesucian dirinya dari ma’shiat. Dan ketiga, para mujahid di jalan Allah.” (HR At Tirmidzi, An Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Pernah di sebuah milis, saya juga menyentil sebuah logika kecil yang pernah disampaikan seorang kawan lalu saya modifikasi sedikit. Apa itu? Tentang bahwa menikah itu membuka pintu rizqi. Jadi logikanya begini. Jatah rizqi kita itu sudah ada, sudah pasti sekian-sekian. Kita diberi pilihan-pilihan oleh Allah untuk mengambilnya dari jalan manapun.
Tetapi, ia bisa terhalang oleh beberapa hal semisal malas, gengsi, dan ma’shiat. Kata ‘Umar ibn Al Khaththab, pemuda yang tidak berkeinginan segera menikah itu kemungkinannya dua. Kalau tidak banyak ma’shiatnya, pasti diragukan kejantanannya. Nah, kebanyakan insyaallah jantan. Cuma ada ma’shiat. Ini saja sudah menghalangi rizqi.
Belum lagi gengsi dan pilih-pilih pekerjaan yang kita alami sebelum menikah. Malu, gengsi, pilih-pilih. Tapi begitu menikah, anda mendapat tuntutan tanggungjawab untuk menafkahi. Bagi yang berakal sehat, tanggungjawab ini akan menghapus gengsi dan pilih-pilih itu. Ada kenekatan yang bertanggungjwab ditambah berkurangnya ma’shiat karena di sisi sudah ada isteri yang Allah halalkan.
Apalagi, kalau memperbanyak istighfar. Rizqi akan datang bertubi-tubi. Seperti kata Nabi Nuh ini, “Maka aku katakan kepada mereka: “Beristighfarlah kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (Nuh 10-12)
Pernah membayangkan punya perkebunan yang dialiri sungai-sungai pribadi? Banyaklah beristighfar, dan segeralah menikah, insyaallah barakah. Nah, saya sudah menyampaikan. Sekali lagi, gejala awal dari barakahnya sebuah pernikahan adalah kejujuran ruh, terjaganya proses dalam bingkai syaria’t, dan memudahkan diri. Ingat kata kuncinya; jujur, syar’i, mudah. Saya sudah menyampaikan, Allaahummasyhad! Ya Allah saksikanlah! Jika masih ada ragu menyisa, pertanyaan Nabi Nuh di ayat selanjutnya amat relevan ditelunjukkan ke arah wajah kita. “Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?” (Nuh 13) Begitulah. Selamat menyambut kawan sejati, sepenuh cinta.*
( Salim A Fillah/Hidayatullah.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar