Konvensi dan
Konsensus Internasional dalam Bidang Kehutanan
Mengingat jasa ekologis hutan dan dampak
negatif akibat kerusakan hutan yang berada dalam wilayah kekuasaan suatu negara
dapat dirasakan pula oleh negara-negara lain, terutama yang berbatasana
langsung, maka pengurusan hutan dalam suatu negara harus pula memperhatikan
kepentingan negara-negara lain terhadap hutan.
Untuk dapat terakomodasinya kepentingan negara-negara di dunia terhadap berbagai
barang dan jasa dari hutan yang terdapat di suatu negara tertentu, maka di antara
negara-negara tersebut biasanya membuat berbagai kesepakatan atau
konsensus. Sesuai dengan banyaknya
negara yang ikut serta dalam membuat kesepakatan, kesepakatan ini dapat
dikelompokkan ke dalam:
a.
Kesepakatan
bilateral: kesepakatan antara dua negara
b.
Kesepakatan
multilateral: kesepakatan antara lebih dari dua negara
c.
Kesepakatan
regional: kesepakatan antara beberapa negara yang berada dalam suatu wilayah
tertentu, misalnya antara beberapa negara anggota ASEAN, atau seluruh
negara-negara ASEAN
d.
Kesepakatan
internasional: kesepakatan antara sebagian besar atau seluruh negara di dunia
yang biasanya dikoordinasikan oleh PBB
Sedangkan berdasarkan bentuk ikatannya,
kesepakatan yang dibuat dapat dikelompokkan ke dalam:
1.
Perjanjian
(convention): perjanjian yang
bersifat mengikat bagi negara-negara yang menyepakati.
2.
Konsensus
yang tidak mengikat (non-legally binding):
konsensus antara beberapa negara yang tidak mengikat tetapi disepakati untuk
diperhatikan.
Beberapa konvensi dan konsensus
internasional dalam bidang kehutanan atau berhubungan dengan pengurusan hutan
yang penting sebagai berikut.
1.
Declaration of
the United Nations Conference on the Human Environment (Deklarasi
Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup manusia)
2.
Convention on
International Trade in Endangered species (CITES) of wild Fauna and Flora (Konvensi tentang perdagangan internasional
species langka (Terancam punah) untuk satwa dan tumbuhan Liar)
3.
Convention on
Wetlands of International Importance Especially as Waterfowl Habitat (Konvensi
tentang lahan basah dipandang dari kepentingan internasional khususnya sebagai
habitat burung air)
4.
Deklarasi
dan Konvensi-konvensi hasil konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan
(United Nation Conference on Environemt and development, UNCED), Rio de
Janeiro-brazil, 3-4 Juni 1992
a.
Deklarasi
Rio (Rio Declaration)
b.
Konvensi
tentang perubahan iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change,
UNFCCC)
c.
Konvensi
tentang keanekaragaman hayati (Convention on Biodiversity)
d.
Agenda
abad 21 atau agenda 21
e.
Prinsip-prinsip
tentang hutan (Principles on Forest)
5.
Konvensi
PBB untuk memerangi proses Penggurunan atau disertifikasi (United Nations
Convention to Combat Desertification, UNCCD)
Skema Pengurusan
Hutan Melalui Pola Kerjasama Internasional
Salah satu konvensi yang dihasilkan
dalam UNCED (1992) atau dikenal pula dengan istilah Konfrensi tingkat tinggi
bumi atau KTT Bumi (Earth summit) di
Rio de Janeiro (Brazil) adalah konvensi perubahan ikllim (United Nation
Framework Convention on Climate Change, UNFCCC). Setelah UNCED selesai, beberapa negara
penandatangan konvensi tersebut meratifikasinya dengan undang-undang di negara
masing-masing. Selanjutnya konvensi
tersebut diatur lebih rinci dalam Kyoto Protocol yang dihasilkan dalam
konferensi para pihak yang ketiga (The Third Session of the Conference of
Parties, COP3) mengenai perubahan iklim yang diadakan di Kyoto pada bulan Desember
1998 (Murdyarso, 1999).
Dalam
Kyoto Protokol, antara lain diatur instrumen proyek mekanisme pembangunan
bersih (Clean Development Mechanism atau CDM) yang dibuat untuk memfasilitasi
mekanisme hubungan antara negara maju dengan negara berkembang dalam menyelenggarakan
program pembangunan bersih. Salah satu
pasal dalam Kyoto Protocol yang berkenaan dengan sektor kehutanan dan tataguna
lahan menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan: penghutanan kembali (reforestation), pengkonversian hutan (afforestation) dan perusakan hutan (deforestation), termasuk ke dalam
kegiatan manusia yang dapat meningkatkan penyerapan karbon dari udara (reforestation) dan emisi (melepaskan ke
udara) karbon (afforestation dan deforestation).
Pola penukaran utang
dengan kegiatan konservasi Alam (debt for nature Swaps, DNS)
Debt
for Nature Swaps
(DNS) dapat diartikan sebagai pembatalan utang luar negeri suatu negara dengan
cara menukarkannya dengan suatu komitmen dari negara pengutang (debitor) untuk
memobilisasi sumber keuangan domestik (dalam negeri) yang dipergunakan untuk
melaksanakan kegiatan konservasi alam. Pada
saat ini terdapat dua skema pendanaan untuk kegiatan konservasi alam melalui pola DNS, yaitu:
1.
Pola
Tiga Pihak (Triparties), terdiri
dari:
a.
Three Party
Public Swap:
investor, kreditor, debitur pemerintah (a.l dilaksanakan di Filipina)
b.
Three Private
Debt Swap:
investor, kreditur,debitur swasta (a.l dilaksanakan di Ghana).
2.
Pola
dua pihak (Bilateral)
Bilateral
Public Debt Swap:
kreditur pemerintah dan debitur pemerintah (al. Di laksanakan di Peru)
Beberapa
negara kreditor yang pada saat ini menyelengarakan program DNS adalah:
1.
Belgia : Debt for aid, debt buy-backs
2. Kanada : Debt for Conservation Initiative for the Environment in latin America
3.
Jerman : Debt for environment
4.
Belanda : Debt for development and environment
5.
Swis : Debt reduction facility
6.
Amerika
serikat : Tropical forest conservation
Pola kerjasama
Teknis
Pola ini merupakan kerjasama teknis
dalam bidang kehutanan antar dua atau lebih negara yang memiliki kepentingan
dan perhatian yang sama terhadap satu atau beberapa kegiatan dalam pengurusan
hutan, mencakup: pembangunan hutan, pengelolaan hutan, industri kehutanan, dll.
Dalam pola ini, setiap negara biasanya
menyepakati suatu kegiatan tertentu dan dikerjakan bersama-sama. Setiap negara memberikan konstribusinya
sesuai dengan kemampuan dan kesepakatan yang dibuat.
Instrumen
Pengurusan Hutan pada Era Globalisasi Kehutanan
Nasional Forest
Accord, NFA (Kesepahaman Tentang Hutan Nasional, KHN)
Pengurusan hutan dalam suatu negara pada
era ini terikat oleh nilai-nilai dan norma-norma universal (umum) yang
dihasilkan dari berbagai konvensi internasional yang bersifat mengikat dan
berbagai konsensus yang walaupun bersifat tidak mengikat, tetapi untuk
menjunjung etika hubungan internasional tetap harus dipatuhi. Dilain pihak, pengurusan hutan suatu negara
menuntut adanya kekhususan sejalan dengan karakteristik biofisik hutan dan
keadaan sosial budaya masyarakat di setiap negara yang berbeda dengan negara
lainnya. Menghadapi dua keadaan seperti ini,
maka dalam rangka menyelenggarakan pengurusan hutannya, setiap negara dituntut
untuk menetapkan ketegasannya mengenai cara pandang terhadap hutan, harapan ke
depan (visi) terhadap hutan, peran-peran yang ditetapkan untuk dipikul oleh
hutan (misi) dalam menyangga sistem kehidupan dan mendukung pembangunan nasional
dalam negaranya, tujuan yang diharapkan dari pengurusan hutan dalam wilayah
negaranya; serta komitmen-komitmen bersama yang akan dilaksanakan dalam rangka
melaksanakan visi dan misi hutan serta dalam mencapai tujuan pengurusan hutan
yang telah ditetapkan, dengan memperhatikan norma-norma universal dan keadaan
khusus negaranya.
Keseluruhan komponen tersebut (cara pandang,
visi, misi, tujuan dan komitmen) ditetapkan bersama oleh seluruh pihak yang
terlibat dan berkepentingan (stakeholder) dalam pengurusan hutan setiap negara,
melalui proses yang demokratis, transparan dan akomodatif, sehingga hasilnya
akan menjadi milik bersama. Berbagai
komitmen tersebut selanjutnya dipegang secara konsisten sebagai pedoman bersama
dalam melaksanakan pengurusan hutan di negara tersebut.
Rumusan mengenai cara pandang, visi,
misi dan tujuan pengurusan hutan serta komitmen-komitmen dalam melaksanakannya,
setelah disepakati, selanjutnya dibuat dalam bentuk dokumen dan ditandatangani
oleh wakil-wakil stakeholder pengurusan hutan yang terdapat di negara tersebut. Dokumen ini dinamakan kesepahaman tantang
hutan nasional (National Forest Accord,
NFA), yang biasanya diberi nama khsusus dinegaranya untuk Indonesia, misalnya,
dokumen tersebut dapat diberi nama Indonesia
Forest Accord atau IFA (kesepahaman tentang hutan indonesia)
Kesepahaman
Hutan Indonesia
Kesepahaman tentang hutan Indonesia atau
(KHI), merupakan pernyataan kesamaan pemahaman dan kehendak bersama dari para
penandatangan berikut pihak-pihak yang diwakilinya tentang hal-hal yang
dinyatakan dalam naskah yang ditandatangani.
Untuk KHI, naskah tersebut akan memuat hal-hal mengenai: persepsi
tentang hutan serta falsafah, visi, tujuan dan komitmen bersama dalam upaya
mewujudkan Pengelolaan Hutan Secara Lestari di Indonesia. KHI selanjutnya berfungsi sebagai komitmen
moral bangsa Indoensia dan diharapkan akan menjadi landasan yang dipegang teguh
secara konsisten dan konsekuen dalam melaksanakan pengelolaan hutan di
Indonesia.
(Sumber:
Endang Suhendang 2002)
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapus