Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan salah
satu dari kekayaan hutan Indonesia. Indonesia memiliki hamparan hutan sagu
seluas lebih 1 juta hektar. Indonesia termasuk satu dari 2 negara yang memiliki
areal sagu terbesar di dunia selain Papua Nugini. Dari total area hutan sagu di
dunia, Indonesia memiliki satu juta hektar hutan sagu yang tersebar di beberapa
provinsi atau menguasai 51.3% hutan sagu di dunia. Diyakini bahwa pusat asal
sagu adalah sekitar Danau Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Di tempat
tersebut dijumpai keragaman plasma nutfah sagu yang paling tinggi. Tanaman sagu
tersebar di wilayah tropika basah Asia Tenggara dan Oseania, terutama tumbuh di
lahan rawa, payau atau yang sering tergenang air. Sebaran lahan pohon sagu
terbesar di Indonesia terdapat di beberapa wilayah yaitu Irian Jaya, Maluku
(terutama Seram dan Halmahera), Sulawesi, Kalimantan (terutama Kalimantan
Barat) dan Sumatera (terutama Riau). Hutan sagu alam yang luas terdapat
di sepanjang dataran rendah pantai dan muara sungai Irian Jaya, Seram,
Halmahera dan Riau. Di daerah lain hutan sagu yang ada sekarang
kebanyakan merupakan kebun sagu yang meliar menjadi hutan karena tidak ada
pemeliharaan di Jawa sagu tidak terdapat umum dan ditemukan secara terbatas di
Banten dan di beberapa tempat sepanjang pantai utara Jawa Tengah.
Biasanya, sagu tumbuh di daerah rawa yang berair tawar
atau daerah rawa yang bergambut dan di daerah sepanjang aliran sungai, sekitar
sumber air, atau di hutan rawa yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi dan
tanah mineral di rawa-rawa air tawar dengan kandungan tanah liat lebih dari 70%
dan bahan organik 30%. Pertumbuhan sagu yang paling baik adalah pada tanah liat
kuning coklat atau hitam dengan kadar bahan organik tinggi.
Potensi dan Pemanfaatan
Sagu
Potensi
Berdasarkan kajian Forum Kerjasama Agribisnis,
Indonesia memiliki potensi alam bagi pengembangan sagu yang tidak dimiliki oleh
benyak negara di dunia. Logika pemanfaatannya, jika pemerintah menginvestasi
dana senilai 1,3 trilyun rupiah dengan grace period 12 tahun pada luas
lahan 68.180 hektar, dengan pendapatan kotor pada tahun pertama sebesar 4
trilyun rupiah, sebenarnya layak untuk diwujudkan dan sangat menguntungkan.
Apabila upaya ini dilakukan, sebenarnya kita dapat sangat berkontribusi bagi pemenuhan
pangan dunia. Untuk pangan nasional, tentu pemanfaatan sagu sebagai komoditi
pangan berkarbohidrat juga ikut mengurangi ketergantungan masyarakat pada beras
yang saat ini diserap hampir 80% oleh masyarakat Indonesia.
Pemanfaatan
Sagu mempunyai banyak kegunaan, di mana hampir semua
bagian tanaman mempunyai manfaat tersendiri.
Beberapa pemanfaatan sagu secara tradisional, yakni:
Pertama, batang sagu dapat digunakan
sebagai saluran air untuk irigasi persawahan atau ladang, batang sagu dapat
dibelah lebih tipis untuk dijadikan papan alas saung di perkebunan, dan
menjadikan batang sagu sebagai pagar area perkebunan.
Kedua, pati sagu dalam batang dapat
dikelola menjadi makanan tradisional sagu, tepung sagu, dan aneka makanan
seperti mie dan beragam jenis kue.
Ketiga, daun pohon sagu dapat digunakan
sebagai atap rumah. Daun-daun disulam dengan cara khusus, dikeringkan, kemudian
dijadikan atap rumah.
Pemanfaatan modernnya, selain sebagai bahan campuran
bagi soun, mie dan kerupuk yang terdapat di restoran khas Maluku, sagu juga
dibutuhkan bagi industri tekstil, kertas, dan juga industri kosmetika.
Berdasarkan data Perhimpunan Pendayagunaan Sagu Indonesia (PPSI), produksi sagu
nasional saat ini mencapai 200.000 ton per tahun atau baru mencapai sekitar 5 persen
dari potensi sagu nasional.
Selain sebagai komoditi pangan, menurut pakar Sagu
dari Institute Pertanian Bogor (IPB) Bogor, Dr. Fredy Rumawas, bahan tepung
Sagu dapat menghasilkan polimer terbaik guna membuat plastik yang bisa terurai
atau plastik yang mudah hancur di alam. Sedangkan di pasaran internasional,
tepung sagu digunakan sebagai bahan substitusi tepung terigu untuk pembuatan
biskuit, mie, sirup berkadar fruktosa tinggi, industri perekat, dan industri
farmasi. Jadi, dengan satu juta lahan sagu di Indonesia, sejatinya Indonesia
mampu menjelma menjadi makmur.
Daun dari tanaman sagu dapat dimanfaatkan sebagai atap
rumah, tangkainya sebagai bahan bangunan, kulit batang sebagai bahan bakar dan
industri kertas, dari empular dapat di proses untuk berbagai kebutuhan, bahan
pangan, bahan baku industri makanan, ethanol, pakan ternak berprotein tinggi,
industri kertas, industri tekstil, board, plastik biodegradable. Sedangkan
derivat pati dapat dimanfaatkan sebagai lapisan kertas, bahan adhesive,
dealdehide untuk industi kertas, eter dan ester sebagai bahan baku obatan. Saat
ini pati sagu telah dimanfaatkan lebih luas lagi yaitu sebagai bahan pembuat
roti, biskuit, Bagea, mie, sirup berkadar fruktuosa tinggi, dan penyedap
makanan.
Hasil studi kelayakan di Di Papua New Guinea,
menunjukan bahwa produksi etanol dari pati sagu adalah layak, diperkirakan dari
pengolahan 1 Kg pati kering menghasilkan etanol sebanyak 0,56 liter (Flach,
1993). Hasil penelitian menunjukan, perlakuan ampas sagu dengan takaran 12,5-25%
untuk ransum ayam pedaging dan petelur tidak memberikan pengaruh yang buruk
(Bintoro, 2007), selain itu dengan pemanfaatan ini dapat mengurangi pencemaran
lingkungan di sekitar pengolahan sagu.
Sebagai sumber pangan, sagu sangat potensial untuk
dikembangkan sebagai bahan pangan alternative pengganti beras.. Sagu
mampu menghasilkan pati kering hingga 25 ton per hektar, jauh melebihi produksi
pati beras atau jagung yang masing-masing hanya 6 ton dan 5.5 ton per
hektar. Sagu tidak hanya menghasilkan pati terbesar, tetapi juga
menghasilkan pati sepanjang tahun. Setaip batang menghasilkan sekitar 200
kg tepung sagu basah per tahun. (Rauf A. Wahid dan Lestari M. Sri, 2009;59)
Kendala Pemanfaatan
Potensi sagu
di tingkat petani saat ini belum optimal pemanfaatannya, hal ini ditandai
dengan:
1) Banyak tanaman sagu yang layak panen tetapi
tidak dipanen dan akhirnya rusak.
2) Pemanfaatan potensi sagu masih rendah,
diperkira- kan 15 – 20%.
3) Pemanfaatan
potensi sagu hanya terbatas pada skala petani/industri kecil dengan cara pengolahan manual karena tidak tersedia alat
pengolahan sagu yang memadai secara lokal dan
4) Masalah
pemasaran. Sebaliknya eksploitasi sagu yang dilakukan industri skala menengah
besar, kurang mempehatikan keseimbangan produksi, akibatnya terjadi
degradasi pertumbuhan sagu, yang pemulihannya membutuhkan waktu cukup lama
sekitar 5 – 7 tahun. Jika kerusakan ini dibiarkan berlangsung terus, maka
secara langsung akan meng ganggu ketersediaan sumber pangan karbohidrat bagi
masyarakat sekitar areal sagu yang dieksploitasi. (Novarianto
Hengky dan Hosang Meldy, 2008;4-5)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar