Sebentar lagi kita akan menutup tahun yang
penting dalam perjalanan bangsa dan dunia.
Ini adalah akhir dari dekade kedua abad ke dua puluh satu. Ada juga yang
menetapkan akhir dekade pada tahun berakhiran 0 dan awal dekade pada tahun
berakhiran 1. Apa pun pendekatannya, menarik untuk melihat fenomena selama 10
tahun terakhir ini.
Perlambatan ekonomi, ketimpangan sosial
ekonomi, krisis lingkungan, perlombaan senjata, dan krisis kemanusiaan di
berbagai hotspot konflik adlh catatan penting dalam dasawarsa ini.
Kita harus jeli membaca, bahwa apa yang
terjadi antara AS dan China bukan lagi sekadar perang dagang, melainkan perang
supremasi, untuk membuktikan siapa yang paling unggul di Bumi ini.
Perang dagang AS-China hanyalah tindakan
paling kasat mata, di balik itu ada perang intelijen, perang informasi dan
disinformasi, serta proksi konflik di berbagai tempat.
Apa yang terjadi di Hong Kong, misalnya,
tidak bisa kita lepaskan dari konstelasi perang supremasi ini.
Sebaliknya, kita melihat pemilihan umum di
berbagai belahan dunia telah menjadi ajang intervensi negara lain. Kepentingan
China di berbagai negara, khususnya yang tengah mengalami pemilu, diganggu
dengan berbagai isu baik lokal maupun internasional.
Masyarakat internasional masih menunggu
bagaimana resolusi konflik Uyghur, bagaimana China akan menyelesaikannya di
tengah sorotan mata dunia.
Anti-globalisasi dan bangkitnya pemimpin
kanan jauh di berbagai negara, khususnya di Eropa, merupakan satu fenomena
tersendiri dalam dekade ini.
Dulu globalisasi ingin meminimalkan peran
negara dalam lalu lintas modal, barang, uang, orang sehingga individu
dibayangkan seperti tinggal di dalam “global village” tanpa sekat-sekat negara.
Yang terjadi adalah individu hidup di dalam
“global market” yang harus bersaing sendiri-sendiri tanpa perlindungan negara.
Kontrak sosial dengan negara dipertanyakan ketika pengurangan hambatan dlm
skema-skema perdagangan bebas menghasilkan serbuan persaingan.
Namanya persaingan, ada yang menang dan ada
yang kalah. Kaum Globalis hingga sementara waktu menguasai dunia dengan jargon
perdagangan bebas, global government, dan global democracy. Termasuk juga kaum
finansial yang mengatur dunia lewat Wall Street dan pusat-pusat keuangan dunia
lainnya.
Individu yang kalah akhirnya marah dan
mencari pemimpin yang bisa mengembalikan tameng-tameng perlindungan negara
untuk berlindung dari serbuan persaingan global.
Apalagi setelah krisis pengungsi yang
sampai menggoyah APBN negara-negara Eropa. Warga negara di Eropa marah, “Saya
capek2 bayar pajak, yang menikmati orang dari Arab, Afrika yang tidak saya
kenal.”
Di Amerika, dalam konteks yang berbeda,
rakyat AS mencari perlindungan dari relokasi industri, serbuan barang impor,
dan tenaga kerja murah. Di Amerika yang marah bukan lagi kaum kulit hitam dan
berwarna, tapi kaum kulit putih yang merasa terancam.
Inilah yang menjadi pemicu menangnya Trump
di Amerika dan pemimpin kanan jauh di Eropa. Walau belum menjadi pemenang,
sejumlah partai kanan mendulang suara cukup signifikan di Jerman dan Italia.
Salah satu puncak dari anti-globalisasi
adalah Brexit di Inggris yang semakin terang jalannya setelah kubu Boris Jhonson
kembali memenangkan pemilu.
Kita harus siap dengan eskalasi perlombaan
senjata, khususnya nuklir, karena pihak yang dulu mengikat perjanjian, kini
mengundurkan diri.
Yang paling serius tentu AS yang menarik
diri dari kesepakatan senjata nuklir jarak menengah (Intermediate-Range Nuclear
Forces/INF) dengan Rusia, yang melarang pembuatan rudal jarak antara 500 s/d
5.000 km.
INF adlh perjanjian yang ditandangani
Presiden AS Ronald Reagan dan pemimpin Soviet Mikhail Gorbachecv pada 1987.
Selain itu, perkembangan persenjataan membuat dunia makin “panas”.
Rusia telah mengembangkan hypersonic
missile system yang dinamai Avangard yang mampu keluar dan masuk kembali ke
atmosfer sehingga tak terlacak oleh sistem pertahanan anti-rudal. Peledak
nuklir ini mampu “melesat” lebih dari 24.000 km/jam.
Kehadiran Avangarde membuat aircraft
carrier atau yang kita kenal “kapal induk” menjadi tidak relevan karena
kecepatan, daya jelajah, dan manuvernya.
Bicara kapal induk, China tengah membangun
kapal induk terbesar Type 002, setelah sebelumnya sukses membangun Type 001A
yang bisa didarati 36 jet tempur. China telah merintis pembuatan kapal induk
sejak 1985.
Kini China memiliki 2 kapal induk aktif dan
1 sedang dalam produksi. Diperkirakan China memiliki 6 kapal induk pada 2030.
AS kini mengoperasikan 11 kapal induk. Di seluruh dunia hari ini ada 44 kapal
induk milik 13 negara.
Belum lagi pengembangan nuklir di Iran dan
Korea Utara dan negara-negara lain yang meningkatkan ketegangan kawasan dan
global.
Tiga isu tersebut hanyalah highlight dari
sejumlah isu-isu global yang akan berlanjut pada dasawarsa berikutnya.
Indonesia harus menjdi negara yang kuat agar mampu ikut mempegaruhi arah dunia.
Kita harus mempunya navigasi yang jeli agar
tidak terombang-ambing dalam konstelasi global. Kita juga harus punya neraca
kepentingan RI dengan negara atau kawasan yang jelas, sehingga kepentingan
nasional kita juga terpenuhi.
Itulah sekilas catatan isu-isu global pada
dasawarsa ini. Nanti kita akan lanjutkan dengan isu-isu nasional.
Gelorakan semangat Indonesia!!
(Anis
Matta)
https://web.facebook.com/AnisMatta/posts/10157338722577659?__tn__=K-R
Tidak ada komentar:
Posting Komentar