Diantara
kejujuran rasa dan kebenaran kata bias ada yang perlu kita renungi. Ini semacam bibir tipis yang membedakan dua
jenis cinta: cinta misi dan cinta jiwa. Sebegitu tipisnya sampai hanya sedikit orang yang bisa melihatnya.
Bias itu ada
disini: bahwa karena cinta adalah sumber energi maka ia selalu berujung
tindakan, dan setiap tindakan selalu punya motif. Bias itu adalah motif: antara
motif memberi dan motif mengabdi. Secara keseluruhan ubudiyah harus menjadi motif pada cinta misi dan cinta
jiwa. Sementara memberi adalah
penampakannya. Tapi penampakan dalam bentuk memberi lebih merata dalam varian-varian
cinta jiwa ketimbang cinta misi. Pada sebagian varian cinta misi penampakannya
bahkan juga berbentuk penghambatan.
Sampai disini
biasnya mungkin belum terlalu jelas. Sebab bias terjadi ketika muncul penyimpangan dimana motif ubudiyah kepada
Allah berubah menjadi ubudiyah kepada objek-objek cinta jiwa dan sebagian objek
cinta misi. Yang terakhir
ini misalnya terlihat pada lagu-lagu cinta tanah air. Misalnya, lagu Padamu Negeri.
Contoh itu pada
cinta jiwa lebih banyak lagi. Misalnya pada lagu-lagu pemujaan pada sang kekasih. Atau pada ratapan atas
kematian atau kepergian sang kekasih. “Tiada guna aku hidup begini, tanpa
dirimu kekasih yang aku sayangi,” kata Tommy J Pisa dulu.
Bias begini
biasanya terjadi dipuncak gelora cinta yang mulai tidak terkendali. Semacam
orgasme emosional yang meledak seketika dimana realitas untuk sesaat lenyap. Tapi begitu kita sadar dan kembali menatap
realitas, seketika kita sadar kalau kita baru saja mabuk.
Ada cinta yang
bisa membunuh, kata pepatah arab. Tapi disini ada cinta yang bikin kita jadi
syirik. Ini tidak selalu karena kita kehilangan kendali akal sehat. Tapi
terutama karena kita kehilangan kendali prinsip dan nilai.
Di saat itu hanya
ada kenikmatan imajiner. Tidak ada pemaknaan spritual. Selalu ada pemisahan yang miris antara imaji dan realita; setiap satu teguk
air disini hanya menimbulkan satu dahaga baru. Inilah sejatinya derita para
pecinta yang menelan bias ini. Tegukan khamar pertama adalah kenikmatan. Tapi
tegukan kedua dan ketiga adalah obat, kata penyair Arab. Tidak ada lagi
kenikmatan. Yang ada hanya obat. Ya, hanya obat. Karena tegukan-tegukan itu
telah berubah menjadi ketergantungan. Lalu penghambaan.
Maka menarilah mereka
di atas luka. Bukan karena tariannya indah. Tapi itu jeritan dari luka yang
membuat mereka melompat dan menari. Lalu melompat dan menari lagi. Menyanyikan
lagu tentang jiwa yang lelah dan harus mengakhiri riwayat cintanya dengan
kesia-siaan. Miris. Menyakitkan. Dan selalu begitu; mulanya hanya bias kecil,
tetapi diujung sana ada luka besar yang sudah menganga lebar dalam kehidupan para
pecinta.
Miris. Semiris
ratapann Ebiet G Ade; “Adakah angin gunung mendengar keluhanku.”.
(Anis Matta)
(Anis Matta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar