Suatu hari, Rasulullah SAW memegang
pundak Abdullah bin Umar. Beliau SAW kemudian berpesan, "Jadilah engkau di
dunia seperti orang asing atau pengembara."
Rupanya putra Umar bin Khattab itu
sangat terkesan dengan ucapan singkat Rasulullah hingga dia berkata, "Jaga
nikmat hidupmu sebelum ajal menjemputmu." Demikian pula seharusnya kita.
Bukankah setiap capaian dunia hanyalah halte demi halte untuk sampai pada
terminal akhir kehidupan, yaitu kematian?
Pada hakikatnya, manusia memang hanya
musafir. Hingga Ibnul Qayyim, ulama besar abad ke-12 M, berkata, "Manusia
sejak tercipta dilahirkan untuk menjadi pengembara."
Sifat pengembara dalam diri manusia
merupakan sebuah keniscayaan kehidupan sebagaimana diungkapkan Imam Syafii,
"Bahkan, seekor singa tidak akan pandai memangsa jika tidak hidup di
hamparan bumi yang luas dan anak panah tak akan menemui sasarannya bila tak
pernah dilepaskan dari busurnya."
Sayangnya, sifat pengembaraan manusia
sering membuatnya alpa dalam pengembaraannya di padang sabana kehidupan.
Manusia menjadi rakus dalam berburu rezeki. Manusia berpikir, rezeki adalah
uang. Padahal, sebuah cinta dari seorang istri pun adalah rezeki. Bukankah
Rasulullah SAW menyebut cinta Khadijah dengan berkata, "Aku telah diberi
rezeki dengan cintanya."
Sering kali manusia tak pandai bersyukur
atas karunia rezeki yang melimpah. Padahal, Allah berjanji untuk memberi lebih
jika seorang hamba pandai bersyukur. Karena itulah, Ibnul Qayyim berkata,
"Andai seorang hamba mendapat rezeki dunia dan seluruh isinya kemudian dia
berkata 'alhamdulillah', niscaya pemberian Allah padanya dengan ucapan hamdallah
itu akan lebih besar dari seluruh dunia dan seisinya. Mengapa? Sebab, segala
kenikmatan dunia akan berakhir, sementara pahala atas ucapan tahmid itu kekal
hingga hari akhir."
Manusia memang sering mengalami krisis
keyakinan soal rezeki. Krisis itulah yang mengantarkan manusia menjadi serakah,
korup, manipulatif, dan merampas hak-hak orang lain.
Ulama mengatakan, ada tiga konsep
rezeki. Rezki yang telah dijamin (rizqul makful), rezeki yang dibagikan
(rizkqul maqsum), dan rezeki yang dijanjikan (rizqul maw'ud). Konsep rezeki
pertama seperti udara yang kita hirup, angin yang berembus, dan kenikmatan
lainnya yang Allah berikan tanpa usaha manusia.
Pada dua konsep rezeki lainnya, manusia
harus berusaha, tentu dengan cara yang halal. Itulah sebabnya Rasulullah SAW
berkata, "Mencari rezeki yang halal adalah (bersifat) wajib setelah
kewajiban agama (seperti shalat dan puasa)."
Setelah segala kenikmatan rezeki
diperoleh, manusia seharusnya berbagi. Nasihat ringkas Ibnul Qayyim menarik
untuk dikutip. Ia berkata, "Boleh jadi saat kau tertidur lelap,
pintu-pintu langit tengah diketuk oleh puluhan doa: dari orang miskin yang kau
tolong, dari orang lapar yang kau beri makan, dari orang yang sedih dan telah
kau hidupi, dari orang yang berjumpa denganmu dan kau berikan senyum. Karena
itu, jangan pernah meremehkan amal-amal kebaikan." Wallahu a'lam.
(Inayatullah
Hasyim/ Republika.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar