Empat
tahun lamanya Ibnu Khaldun (732-808 H/1332-1406) mengurung diri di pedalaman
Afrika Utara untuk menuntaskan buku sejarah monumentalnya, Al ‘Ibar. Lima
bulan diantaranya digunakan khusus untuk menulis kata pengantarnya, yang kelak
dikenal dengan sebagai Al Muqaddimah. Empat tahun lagi sesudahnya ia
gunakan untuk membaca ulang, mengedit dan memperbaiki buku itu hingga terbit.
Di antara tahun 776-784 H, Ibnu Khaldun ‘menempatkan’ maqomnya dalam sejarah
literatur Islam dan dunia sebagai filosof sejarah dan sosial, bahkan disebut
sebagai pendiri ilmu sosiologi modern.
Seperti
dalam dunia pengembaraan dan penulisan geografi, ilmu sejarah merupakan salah
satu cabang ilmu yang paling banyak
berkembang dalam sejarah pemikiran Islam.
Ia juga merupakan buah dari perintah Qur’an untuk mengenal ruang dan waktu yang
menjadi konteks di mana teks-teksnya akan diturunkan menjadi realitas.
“Ketahuilah”, kata Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya, “bahwa sejarah adalah ilmu
sangat berharga, sangat bermanfaat dan sangat mulia dalam tujuannya. Ia
menjelaskan kepada kita tentang perilaku-perilaku umat terdahulu, jalan hidup
nabi-nabi serta cara raja-raja mengatur negara-negara mereka. Dengan itu kita dapat
meneladani mereka dalam urusan agama dan dunia.” Belajar sejarah adalah belajar
tentang kehidupan dan seluruh aspeknya. “Sejarah”, lanjut Ibnu Khaldun,
“membutuhkan banyak sudut pandang dan beragam pengetahuan serta kemampuan
analisa untuk sampai pada kebenaran dan terbebas dari kesalahan.”
Sejarah
menyadarkan kita akan efek akumulasi dari makna waktu. Kebahagiaan dan
keruntuhan dalam sejarah perdaban manusia sebenarnya merupakan efek akumulasi
dari perilaku dan budaya tertentu yang berkembang dalam masyarakat. Efek dari
perilaku tidak akan tampak sekaligus. Ia muncul secara bertahap melalui deret
waktu tertentu hingga mencapai limitnya lalu meledakkan efeknya. Sehingga di
tahap-tahap awal efek dan gejalanya tidak terlihat. Itu yang membuat masyarakat
terlena dan tidak menyadari bahwa mereka sedang berada di ambang bahaya besar.
Itu terjadi saat sebuah peradaban menuju keruntuhannya. Begitu juga sebaliknya
ketika ia merangkak naik menuju kejayaannya. Semua terjadi secara sekuensial
melalui time series sebagai efek akumulasi.
Efek
akumulasi dari waktu itulah yang membuahkan kemampuan berpikir
sekuensial (sequential mind) yang
juga merupakan faktor penting yang membentuk kemampuan berpikir strategis
seseorang. Karena itu, sebagaimana geografi, sejaran dari dulu selalu melekat
di dalam struktur pengetahuan raja-raja dan para pemimpin politik. Para Khulafa
Rasyidi, khususnya Abu Bakar dan Utsman bin Affan, dikenal luas di kalangan
masyarakat jazirah Arab sebagai orang yang paling tahu tentang sejarah nasab suku-suku
di masanya.
Setiap
kali Nabi Muhammad SAW menghadapi masalah besar dan bersedih, Allah selalu
menghiburnya dengan sejaran Nabi-nabi sebelumnya. Itu seperti pesan, bahwa
beliau tidak sendiri perjuangannya. Ini adalah mata rantai kenabian yang
panjang yang menghadapi tantangan yang sama (Anis Matta).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar