Halaman

Minggu, 16 Maret 2014

Antara Pencitraan dan Kerja Nyata

Saya tidak mengira, ternyata ada kemiripan antara penerbitan dan politik. Sekalipun keduanya merupakan bidang yang berbeda, tapi cara mencapai puncak kurang lebih sama.
Ada pepatah yang bilang "Don't Judge a book from its cover" atau intinya jangan melihat buku dari penampilan luar, tapi lihat isinya.
Nasihat ini sampai sekarang masih akurat kebenarannya, menjadi acuan saya setelah membangun penerbitan sendiri di tahun 2009. Sayangnya tak semua penerbit, juga pembaca memerhatikan. Ada yang membeli buku karena cover-nya bagus, setelah beli baru tahu bahwa isinya mengecewakan. Ada juga buku yang judulnya menggoda, ternyata selesai dibaca, isinya tidak sebagus judulnya. Tidak sedikit buku yang begitu populer, namun isinya sebenarnya biasa saja.

Buku bagus itu tergantung pada isi, dan idealnya masyarakat membeli buku yang bagus. Akan tetapi kenyataannya banyak buku yang tidak bagus tapi laris di pasaran. Sebaliknya banyak buku bagus yang tidak laku di pasaran.
Saya sering ke toko buku dan membeli buku yang didiskon hingga 70%. Aktivitas ini sering saya lakukan untuk membeli buku-buku yang akan dikirim ke RumahBaca Asma nadia, 123 perpustakaan dhuafa, sebagian memiliki sekolah dan kelas komputer gratis bahkan tempat bernaung bagi anak-anak yatim yang tak mampu. Dari aktivitas ini saya menemukan kenyataan, sekalipun buku-buku tersebut harganya murah dan mendapat diskon besar, ternyata sebagian besar adalah buku bagus.
Lalu kenapa diobral? Kenapa tidak laku?
Ternyata sekalipun bagus, tetapi buku-buku tersebut tidak berhasil membangun pencitraan sebagai buku bagus. Buku bagus yang gagal membangun pencitraan kemungkinan besar akan gagal di pasaran. Buku bagus bukan jaminan laris manis di pasar jika tidak terbangun brandingyang meluas.
Prinsip yang sama ternyata juga berlaku di dunia politik.
Saya mengenal beberapa politisi yang baik, jujur dan berdedikasi, tapi mereka gagal menjadi pilihan rakyat. Tidak semua politisi bagus mendapat kepercayaan rakyat. Sebaliknya banyak politisi yang mengajukan diri hanya untuk kepentingan pribadi, justru terpilih. Kenapa? Sekalipun tidak spesial mereka sukses memasarkan dirinya, sukses dalam pencitraan dan branding.
Pencitraaan atau branding adalah kuncinya.
Ada politisi yang begitu populer sehingga dengan mudah bisa meraih jabatan penting. Akan tetapi setelah menjabat tidak banyak perubahan berarti yang dicapainya. Ternyata sang politisi punya segudang perlengkapan untuk membangun pencitraan dirinya, sehingga setiap hal kecil yang dilakukannya terlihat besar dan kelalaian besar yang dilakukannya terlihat kecil. Ibarat buku, cover bagus judul memukau, tapi isinya kurang memuaskan.
Di sisi lain, ada juga politisi yang berdedikasi tinggi. Bahkan sebelum menjabat pun sudah berkontribusi banyak untuk rakyat. Akan tetapi karena dengan berbagai alasan, termasuk kekhawatiran tidak ikhlas, tidak melakukan pencitraan, hingga malah tidak terpilih.
Ada juga politisi baik yang berhasil menjabat. Karena begitu besar dedikasinya untuk rakyat ia sibuk pergi ke sana kemari, menyelesaikan masalah di sana dan di sini. Ia tidak sempat memikirkan pencitraan dan tak meminta wartawan meliput kegiatannya. Akhirnya rakyat tidak menyadari kiprah sang pemimpin tersebut dan di episode berikutnya dia tidak terpilih lagi.
Ini tipe politisi bagus dan hebat tapi gagal dalam pencitraan.
Lalu bagaimana solusinya?
Harapan saya untuk para politisi yang jujur, baik dan berdedikasi,jangan lupa membangun pencitraan. Pencitraan bukan bermaksud mengumbar kebaikan, atau didasari ketakutan melakukan sesuatu secara tidak ikhlas, tapi itu penting untuk memenangkan hati rakyat. Kalau pencitraan adalah salah satu kunci kemenangan, maka jangan lupa selain kerja juga membangun dan menjaga pencitraan.
Bagaimana jika politisi bagus tersebut tetap mengabaikan pencitraan?
Sama seperti kita mempromosikan buku. Saya sendiri setiap membaca buku bagus, akan menyampaikan kepada orang lain tentang betapa bagusnya buku tersebut, sehingga kalaupun pencitraan buku atau dana promosi buku tersebut tidak maksimal, orang tetap mendengarnya dengan harapan mau membeli dan puas karena membaca buku bagus.
Kalau kita kenal politisi baik yang bisa diandalkan tapi melupakan pencitraan, maka sebagai masyarakat yang peduli perubahan, kita harus membantu meningkatkan citra mereka demi masa depan rakyat dan bangsa ini.
Jika kita berdiam diri, bisa-bisa medan pertempuran politik dimenangkan oleh para politisi busuk. Sesuatu yang tentu sama-sama tidak kita harapkan.

(Oleh: Asma Nadia/Republika.co.id).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar