Saya tidak mengira,
ternyata ada kemiripan antara penerbitan dan politik. Sekalipun keduanya
merupakan bidang yang berbeda, tapi cara mencapai puncak kurang lebih sama.
Ada pepatah yang bilang
"Don't Judge a book from its cover" atau intinya jangan melihat buku
dari penampilan luar, tapi lihat isinya.
Nasihat ini sampai
sekarang masih akurat kebenarannya, menjadi acuan saya setelah membangun
penerbitan sendiri di tahun 2009. Sayangnya tak semua penerbit, juga pembaca
memerhatikan. Ada yang membeli buku karena cover-nya bagus, setelah beli baru
tahu bahwa isinya mengecewakan. Ada juga buku yang judulnya menggoda, ternyata
selesai dibaca, isinya tidak sebagus judulnya. Tidak sedikit buku yang begitu
populer, namun isinya sebenarnya biasa saja.
Buku bagus itu
tergantung pada isi, dan idealnya masyarakat membeli buku yang bagus. Akan
tetapi kenyataannya banyak buku yang tidak bagus tapi laris di pasaran.
Sebaliknya banyak buku bagus yang tidak laku di pasaran.
Saya sering ke toko buku
dan membeli buku yang didiskon hingga 70%. Aktivitas ini sering saya lakukan
untuk membeli buku-buku yang akan dikirim ke RumahBaca Asma nadia, 123
perpustakaan dhuafa, sebagian memiliki sekolah dan kelas komputer gratis bahkan
tempat bernaung bagi anak-anak yatim yang tak mampu. Dari aktivitas ini saya
menemukan kenyataan, sekalipun buku-buku tersebut harganya murah dan mendapat
diskon besar, ternyata sebagian besar adalah buku bagus.
Lalu kenapa diobral? Kenapa tidak laku?
Ternyata sekalipun
bagus, tetapi buku-buku tersebut tidak berhasil membangun pencitraan sebagai
buku bagus. Buku bagus yang gagal membangun pencitraan kemungkinan besar akan
gagal di pasaran. Buku bagus bukan jaminan laris manis di pasar jika tidak
terbangun brandingyang meluas.
Prinsip yang sama ternyata juga berlaku di dunia politik.
Saya mengenal beberapa
politisi yang baik, jujur dan berdedikasi, tapi mereka gagal menjadi pilihan
rakyat. Tidak semua politisi bagus mendapat kepercayaan rakyat. Sebaliknya
banyak politisi yang mengajukan diri hanya untuk kepentingan pribadi, justru
terpilih. Kenapa? Sekalipun tidak spesial mereka sukses memasarkan dirinya,
sukses dalam pencitraan dan branding.
Pencitraaan atau branding adalah kuncinya.
Ada politisi yang begitu
populer sehingga dengan mudah bisa meraih jabatan penting. Akan tetapi setelah
menjabat tidak banyak perubahan berarti yang dicapainya. Ternyata sang politisi
punya segudang perlengkapan untuk membangun pencitraan dirinya, sehingga setiap
hal kecil yang dilakukannya terlihat besar dan kelalaian besar yang
dilakukannya terlihat kecil. Ibarat buku, cover bagus judul memukau, tapi
isinya kurang memuaskan.
Di sisi lain, ada juga
politisi yang berdedikasi tinggi. Bahkan sebelum menjabat pun sudah
berkontribusi banyak untuk rakyat. Akan tetapi karena dengan berbagai alasan,
termasuk kekhawatiran tidak ikhlas, tidak melakukan pencitraan, hingga malah
tidak terpilih.
Ada juga politisi baik
yang berhasil menjabat. Karena begitu besar dedikasinya untuk rakyat ia sibuk pergi
ke sana kemari, menyelesaikan masalah di sana dan di sini. Ia tidak sempat
memikirkan pencitraan dan tak meminta wartawan meliput kegiatannya. Akhirnya
rakyat tidak menyadari kiprah sang pemimpin tersebut dan di episode berikutnya
dia tidak terpilih lagi.
Ini tipe politisi bagus dan hebat tapi gagal dalam pencitraan.
Lalu bagaimana solusinya?
Lalu bagaimana solusinya?
Harapan saya untuk para
politisi yang jujur, baik dan berdedikasi,jangan lupa membangun pencitraan.
Pencitraan bukan bermaksud mengumbar kebaikan, atau didasari ketakutan
melakukan sesuatu secara tidak ikhlas, tapi itu penting untuk memenangkan hati
rakyat. Kalau pencitraan adalah salah satu kunci kemenangan, maka jangan lupa
selain kerja juga membangun dan menjaga pencitraan.
Bagaimana jika politisi bagus tersebut tetap mengabaikan pencitraan?
Sama seperti kita
mempromosikan buku. Saya sendiri setiap membaca buku bagus, akan menyampaikan
kepada orang lain tentang betapa bagusnya buku tersebut, sehingga kalaupun
pencitraan buku atau dana promosi buku tersebut tidak maksimal, orang tetap
mendengarnya dengan harapan mau membeli dan puas karena membaca buku bagus.
Kalau kita kenal
politisi baik yang bisa diandalkan tapi melupakan pencitraan, maka sebagai
masyarakat yang peduli perubahan, kita harus membantu meningkatkan citra mereka
demi masa depan rakyat dan bangsa ini.
Jika kita berdiam diri,
bisa-bisa medan pertempuran politik dimenangkan oleh para politisi busuk.
Sesuatu yang tentu sama-sama tidak kita harapkan.
(Oleh: Asma Nadia/Republika.co.id).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar